TIDAK membangun justru mendatangkan untung. Itulah "ilmu" baru
dari beberapa perusahaan real estate (RE), yang seharusnya
membangun tempat pemukiman. Bulan lalu Pemda DKI mngadakan
penelitian terhadap perusahaan KE di wilayah Jakarta Barat.
Hasilnya, dari 50 perusahaan RE ada enam yang ternyata tidak
sepenuhnya menjalankan aturan berusaha. Ada yang hanya
membebaskan sebagian tanah yang sebetulnya harus dibebaskan, ada
pula yang baru membangun sebagian perumahannya saja.
Itulah antara lain yang melatarbelakangi turunnya SK Mendagri
No. 268, 17 September 1982. SK tersebut mengatur pokok-pokok
kebijaksanaan penertiban tanah yang dicadangkan bagi perusahaan
RE. Dengan turunnya SK itu ditetapkan dengan tegas tenggang
waktu bagi perusahaan RE.
Untuk membebaskan tanah, perusahaan RE diberi kesempatan waktu 5
tahun terhitung sejak perusahaan itu menerima surat izin
pembebasan tanah. Setelah tanah dibebaskan, harus dimatangkan
dalam jangka waktu paling lama tiga tahun. Tapi ini pun masih
diberi penjelasan, tidak boleh lebih dari enam tahun sejak
perusahaan RE mendapat surat izin tersebut. Misalnya sebuah
perusahaan RE baru bisa melaksanakan pembebasan tanah 4 tahun
setelah mendapat surat izin pembebasan, perusahaan tersebut
hanya mempunyai kesempatan mematangkan tanah 2 tahun--bukannya
tiga tahun.
Adapun tentang penyelesaian bangunannya itu sendiri. SK menyebut
tenggang waktu 10 tahun sejak perusahaan RE mengantungi surat
Izin pembebasan tanah.
Sanksinya, bisa perusahaan RE dicabut hak pembebasan tanahnya
atas tanah yang ditelantarkannya itu. Dan bila tanah itu sudah
dibebaskan tapi belum dibangun, tanah itu akan menjadi milik
negara, dengan santunan sebesar harga pembebasan yang dibayarkan
perusahaan RE kepada pemilik tanah semula.
Agaknya SK itu terpaksa diturunkan, karena dari 7 ribu ha tanah
yang dicadangkan untuk RE, ternyata yang dibangun benar-benar
menjadi tempat pemukiman baru sekitar 60%. Sisanya dibiarkan
sebagai tanah kosong. Perhitungan para pengusaha RE, unah kosong
itu, toh, tidak merugikan. Siapa pun tahu harga tanah tak pernah
turun.
Real Estate Indonesia (REI), gabungan pengusaha RE, agaknya
melihat SK tersebut sebagai wajar. "Usaha RE itu tidak untuk
menguasai tanah demi diri sendiri," kata Soekardjo
Hardjosoewirjo, Ketua REI, "tapi untuk diolah, dikembangkan, dan
diban,eun. Kemudian dijual kepada masyarakat." Toh, sebagai
ketua yang mempunyai 141 anggota, yang sekitar 10% kemampuan
pembiayaannya lemah," ia pun menghimbau pemerintah agar
pelaksanaannya tidak merugikan bagi yangbenar-benar ingin
membangun.
Soalnya liku-liku RE bisa tidak sederhana. Salah satu pengusaha
RE yang tak bersedia disebut, mengungkapkan, RE tidak hanya
menghadapi pemilik tanah, tapi juga calo dan spekulan tanah. Itu
yang menjadikan harga pembebaall tanah terkadang harus dibayar
di atas yang semestinya.
DAN, tentu saja, kompleks perumahan membutuhkan pula jalan,
jalur hijau serta prasarana umum lainnya, yang biasanya memakan
sekitar 40% luas ranah seluruhnya. Biaya pengadaan fasilitas
infra struktur itu dibebankan pada perusahaan RE. Maka apa boleh
buat, harga real estate berikut rumah di ausnya melonjak tinggi.
Itu mengakibatkan sulitnya penjualan.
Soal lain, yang mengakibatkan sejumlah tanah yang izin
pembebasannya sudah di tangan perusahaan RE tapi maih tetap
ditelantarkan, menurut pihak REI, tidak adanya kredit bank bagi
perusahaan RE untuk membangun fasilitas atau istilah umumnya
untuk pematangan tanah. Yang ada, menurut mereka baru kredit
konstruksi. Kesulitan ini terutama dirasakan perusahaan RE
akhir-akhir ini, ketika resesi melanda di mana-mana. Akibatnya
jarang pengusaha yang berani menanamkan modalnya dalam sebuah
usaha yang bergerak. Mereka, kata sumber tadi, lebih suka
membiarkan tanah menjadi modal berhenti. Toh, kenyataamlya
naiknya harga tanah lebih tinggi dibanding suku bunga bank.
Dilihat dari sini, himbauan Ketua REI agaknya masuk akal juga.
Sebab anrara tanah kosong dan satu kompleks perumahan yang sudah
rapi tapi kosong pula --karena tak ada yang membeli kira-kira
'kan sama-sama tiada gunanya. Sementara pemilik lama telanjur
hijrah entah ke mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini