Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak membangun malah untung

Pemda DKI mengadakan penelitian terhadap perusahaan R.E di wilayah jak-bar, dari 7.000 ha tanah, ternyata yang dibangun hanya 60%. sk mendagri no.268/sep '82, tentang pokok kebijaksanaan penertiban tanah r.e.(eb)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK membangun justru mendatangkan untung. Itulah "ilmu" baru dari beberapa perusahaan real estate (RE), yang seharusnya membangun tempat pemukiman. Bulan lalu Pemda DKI mngadakan penelitian terhadap perusahaan KE di wilayah Jakarta Barat. Hasilnya, dari 50 perusahaan RE ada enam yang ternyata tidak sepenuhnya menjalankan aturan berusaha. Ada yang hanya membebaskan sebagian tanah yang sebetulnya harus dibebaskan, ada pula yang baru membangun sebagian perumahannya saja. Itulah antara lain yang melatarbelakangi turunnya SK Mendagri No. 268, 17 September 1982. SK tersebut mengatur pokok-pokok kebijaksanaan penertiban tanah yang dicadangkan bagi perusahaan RE. Dengan turunnya SK itu ditetapkan dengan tegas tenggang waktu bagi perusahaan RE. Untuk membebaskan tanah, perusahaan RE diberi kesempatan waktu 5 tahun terhitung sejak perusahaan itu menerima surat izin pembebasan tanah. Setelah tanah dibebaskan, harus dimatangkan dalam jangka waktu paling lama tiga tahun. Tapi ini pun masih diberi penjelasan, tidak boleh lebih dari enam tahun sejak perusahaan RE mendapat surat izin tersebut. Misalnya sebuah perusahaan RE baru bisa melaksanakan pembebasan tanah 4 tahun setelah mendapat surat izin pembebasan, perusahaan tersebut hanya mempunyai kesempatan mematangkan tanah 2 tahun--bukannya tiga tahun. Adapun tentang penyelesaian bangunannya itu sendiri. SK menyebut tenggang waktu 10 tahun sejak perusahaan RE mengantungi surat Izin pembebasan tanah. Sanksinya, bisa perusahaan RE dicabut hak pembebasan tanahnya atas tanah yang ditelantarkannya itu. Dan bila tanah itu sudah dibebaskan tapi belum dibangun, tanah itu akan menjadi milik negara, dengan santunan sebesar harga pembebasan yang dibayarkan perusahaan RE kepada pemilik tanah semula. Agaknya SK itu terpaksa diturunkan, karena dari 7 ribu ha tanah yang dicadangkan untuk RE, ternyata yang dibangun benar-benar menjadi tempat pemukiman baru sekitar 60%. Sisanya dibiarkan sebagai tanah kosong. Perhitungan para pengusaha RE, unah kosong itu, toh, tidak merugikan. Siapa pun tahu harga tanah tak pernah turun. Real Estate Indonesia (REI), gabungan pengusaha RE, agaknya melihat SK tersebut sebagai wajar. "Usaha RE itu tidak untuk menguasai tanah demi diri sendiri," kata Soekardjo Hardjosoewirjo, Ketua REI, "tapi untuk diolah, dikembangkan, dan diban,eun. Kemudian dijual kepada masyarakat." Toh, sebagai ketua yang mempunyai 141 anggota, yang sekitar 10% kemampuan pembiayaannya lemah," ia pun menghimbau pemerintah agar pelaksanaannya tidak merugikan bagi yangbenar-benar ingin membangun. Soalnya liku-liku RE bisa tidak sederhana. Salah satu pengusaha RE yang tak bersedia disebut, mengungkapkan, RE tidak hanya menghadapi pemilik tanah, tapi juga calo dan spekulan tanah. Itu yang menjadikan harga pembebaall tanah terkadang harus dibayar di atas yang semestinya. DAN, tentu saja, kompleks perumahan membutuhkan pula jalan, jalur hijau serta prasarana umum lainnya, yang biasanya memakan sekitar 40% luas ranah seluruhnya. Biaya pengadaan fasilitas infra struktur itu dibebankan pada perusahaan RE. Maka apa boleh buat, harga real estate berikut rumah di ausnya melonjak tinggi. Itu mengakibatkan sulitnya penjualan. Soal lain, yang mengakibatkan sejumlah tanah yang izin pembebasannya sudah di tangan perusahaan RE tapi maih tetap ditelantarkan, menurut pihak REI, tidak adanya kredit bank bagi perusahaan RE untuk membangun fasilitas atau istilah umumnya untuk pematangan tanah. Yang ada, menurut mereka baru kredit konstruksi. Kesulitan ini terutama dirasakan perusahaan RE akhir-akhir ini, ketika resesi melanda di mana-mana. Akibatnya jarang pengusaha yang berani menanamkan modalnya dalam sebuah usaha yang bergerak. Mereka, kata sumber tadi, lebih suka membiarkan tanah menjadi modal berhenti. Toh, kenyataamlya naiknya harga tanah lebih tinggi dibanding suku bunga bank. Dilihat dari sini, himbauan Ketua REI agaknya masuk akal juga. Sebab anrara tanah kosong dan satu kompleks perumahan yang sudah rapi tapi kosong pula --karena tak ada yang membeli kira-kira 'kan sama-sama tiada gunanya. Sementara pemilik lama telanjur hijrah entah ke mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus