Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA lelaki berboncengan motor itu tak lepas dari pandangan polisi. Hampir dua puluh aparat dengan enam motor dan tiga mobil bergantian membuntuti mereka. Agus Suryanto, 39 tahun, dan Sarwo Edi, 40 tahun, tak sadar sedang diawasi. Mereka berkendara pelan saja.
Selasa sore pekan lalu, polisi menguntit keduanya dari rumah Agus di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah—sekitar 25 kilometer sebelah utara Yogyakarta. Sudah lebih dari sebulan ini, rumah itu diawasi. Polisi menengarai Agus berhubungan dengan tersangka sejumlah aksi teror di Tanah Air. Setiap hari, anggota Satuan Tugas Bom Kepolisian berjaga di sekitar rumahnya: ada yang mondar-mandir, nongkrong di pos ronda, atau ngumpet di kuburan di dekat situ.
Pekan lalu, polisi mengantongi info penting: Agus dan Edi bakal melakukan ”transaksi penting”. Selasa sore itu, Agus dijemput Edi alias Suparjo. Mereka berangkat sekitar 16.30 WIB. Satu dus ukuran sedang bekas kemasan tape compo diletakkan di tempat duduk di antara mereka. Polisi bergegas: selain membuntuti keduanya, rumah Edi di Secang, sekitar 20 kilometer sebelah utara Muntilan, juga diintai.
Iring-iringan para pengintai dan buronnya melintasi jalan raya penghubung Semarang-Yogyakarta yang padat. Masuk Yogyakarta, magrib menjelang. Agus dan Edi berhenti untuk salat di masjid di pinggir jalan. Selepas salat, mereka kembali berboncengan. Untuk memastikan situasi aman, dua kali mereka bolak-balik di jalan itu.
Tepat di depan Toko Bangunan Alam Jaya di Maguwoharjo, Sleman, Edi menghentikan sepeda motornya. Ini kawasan yang ramai. Di sebelah toko ada kos-kosan putri Tiara. Ada juga warung tenda yang baru saja buka. Mahasiswa beberapa kampus di sekitar situ tampak lalu-lalang.
Tiga pria ternyata telah menunggu Edi dan Agus. Belakangan mereka diketahui bernama Akhyas alias Sutarjo alias Abi Isa, Amir Ahmadi, dan Sikas alias Karim. Ketiganya membawa dus berukuran sama, yang lalu segera ditukar dengan kotak Agus dan Edi. Mesin dua sepeda motor para buruan dibiarkan menyala.
Tak ingin kehabisan waktu, para petugas menyergap. ”Kami tak mau kecolongan, siapa tahu dus-dus itu berisi bom,” kata seorang anggota Satuan Tugas yang ikut membuntuti Agus dan Edi dari Muntilan.
Dus yang dibawa dari Muntilan ternyata kosong. Adapun dus dari Ahyas berisi dua senapan M-16, satu pistol revolver, dan satu pistol FN, dan hampir seratus peluru berbagai ukuran. Edi dan Agus berusaha kabur dengan dus yang baru mereka terima. Polisi melepaskan tembakan: Agus tewas di tempat dan Edi terluka.
Penyergapan itu berlangsung kilat. Ketika orang mulai berdatangan untuk mengetahui yang terjadi, para anggota Satuan Tugas Bom dan buruannya sudah menghilang. ”Kami hanya mendengar tiga kali tembakan, setelah itu ada orang yang diboyong pergi dengan mobil,” kata penjual kartu telepon di sekitar lokasi.
TIGA pria yang ditangkap itu mengungkap berbagai informasi baru. Kepada para pemeriksanya, Ahyas mengaku sebagai petinggi asykari alias angkatan perang Al-Jamaah Al-Islamiyah. Ia adalah bawahan Abu Dujana, yang disebutnya komandan Angkatan Perang Wilayah Jawa. Dujana alias Ainul Bahri, 38 tahun, dalam beberapa tahun ini terus diburu polisi. Ia dituduh terlibat dalam serangkaian pengeboman dan mengatur pelarian Noor Din Mohammad Top, buron nomor wahid berkewarganegaraan Malaysia.
Dari pemeriksaan semalam suntuk kepada para tangkapan, polisi mendapat informasi bahwa kelompok Ahyas menyembunyikan berbagai bahan peledak di rumah Sikas. Esok paginya, Satuan Tugas Bom mendatangi rumah pria 37 tahun itu di Desa Toriyo, Bendosari, Sukoharjo, Jawa Tengah. Paimin, ketua RT di tempat tinggal Sikas, menuturkan bahwa warganya itu datang dengan tangan diborgol. Matanya tampak kurang tidur. Lima lelaki mengawal pria yang dikenal tetangganya sebagai guru ngaji itu.
Rumah Sikas berlantai tanah, kecuali kamar tidur dan ruang tamu yang dipasangi batu bata tanpa plester. Di dalam rumah, Komisaris Besar Tito Karnavian yang memimpin operasi meminta Sikas menunjukkan simpanannya. Pria itu menunjuk kotak kayu yang diletakkan di pojok pawon (dapur).
”Kekayaan” Sikas membelalakkan mata petugas. Di dalam kotak itu ditimbun detonator aktif, beberapa kantong plastik TNT, dua jeriken potasium cair, serta peluru senapan M-16 dan SS-1. Polisi meminta pria lulusan SMP itu menunjukkan simpanan yang lain. Sikas terlihat ragu tapi kemudian menuding lantai tanah di dekat kamar tidur, bersebelahan dengan dapur.
Sikas ternyata membuat lubang berukuran 3x4 meter persegi sedalam setengah meter. Di dalamnya ia simpan potasium klorat bubuk dan tiga pucuk senjata. Menurut polisi, dari rumah itu total ditemukan 2.009 butir peluru, 20 kilogram TNT, dan 625 kilogran potasium klorat 30. Ada pula 200 detonator aktif, satu senjata laras panjang rakitan, satu revolver rakitan, sebuah senjata api AR organik, dan 16 buah bom lontar.
Menurut Ihyas, seperti dituturkan seorang polisi kepada Tempo, barang-barang itu dikumpulkan dari beberapa tempat di sekitar Solo atas perintah Abu Dujana. ”Istilahnya penyelamatan aset umat,” kata anggota satuan tugas itu. ”Soalnya, barang-barang mereka di berbagai tempat telah disita polisi.”
Sebagian barang itu, masih kata pe-nyelidik itu, adalah pesanan Ustad Ryan. Ia adalah orang yang mati tertembak saat penggerebekan di kawasan Tanah Runtuh, Poso, Sulawesi Tengah, 11 Januari lalu. Ryanlah yang disebut-sebut mengatur pengapalan senjata dan bahan peledak dari Solo ke wilayah konflik itu.
Surani, istri Sikas, menyatakan tidak tahu kapan barang-barang berbahaya itu dibawa masuk rumahnya. Tapi sejumlah tetangga menduga bahan itu dibawa teman-teman pengajian Sikas menggunakan bronjong alias keranjang bambu. Seorang tetangga yang menolak disebut namanya menyatakan pernah melihat seseorang bersepeda motor membawa bronjong ke rumah Sikas pada dinihari.
Ia menyatakan tak curiga karena menyangka pria bermotor itu pedagang lele. Di desa itu memang ada peternakan lele. Para pedagang selalu datang pukul dua hingga tiga dini hari. Menurut Suti, kakak ipar Sikas, pekan lalu beberapa orang bertamu ke rumah adiknya. Mereka datang selepas isya. Tak lazim, karena para tamu itu tak melepas helm. ”Mereka juga membawa ransel,” kata Suti.
Sikas termasuk orang yang disukai di kampungnya. Ia adalah pengurus Masjid Al-Kautsar di desa itu. Menurut adik sepupunya, Hartono, 26 tahun, Sikas ramah dan cekatan saat diminta bantuan siapa pun. ”Ia gemar mengikuti kegiatan agama,” tuturnya.
Pada Kamis subuh, polisi juga menangkap Joko alias Anang Mujadid, 26 tahun, di rumahnya, Desa Purwosari, Kranggan, Temanggung, Jawa Tengah. Menurut Brigadir Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Joko alias Brekele adalah buron sejumlah kasus teror di Poso.
Menurut Kepala Polri Jenderal Sutanto, orang-orang yang ditangkap dan ditembak pekan lalu merupakan bagian dari jaringan lama. ”Mereka bagian dari pengebom di Bali dan Jakarta,” katanya.
SATUAN Tugas Bom dan Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian kini memusatkan kegiatan pada perburuan Abu Dujana. Akhir pekan lalu, mereka optimistis bisa segera membekuk alumni perang Afganistan angkatan ketujuh itu.
Abu Dujana lahir dengan nama Ainul Bahri. Ia dibesarkan di Cianjur, Jawa Barat, kota asal Hambali alias Riduan Isamuddin, tersangka teroris yang kini ditahan intelijen Amerika Serikat. Ainul belajar mengaji kepada Dadang Hafidz, guru agama yang memiliki hubungan erat dengan Darul Islam.
Pada pertengahan 1980-an, setelah beralih nama menjadi Abu Dujana, pria Sunda ini melanjutkan belajar ke Pakistan. Di sana ia berkenalan dengan banyak mujahidin, yang belakangan membuatnya ikut berperang ke Afganistan. Ia berada di negeri itu pada 1989-1991 dan mendapat pelatihan di Akademi Militer Mujahidin Afganistan.
Di situlah kemampuan bertempurnya diasah. Ia berlatih menggunakan senjata ringan, pembuatan bom, dan pelbagai taktik perang. Abu Dujana juga menjalin persahabatan yang sangat erat dengan Zulkarnaen, yang belakangan dituduh terlibat pengeboman di Bali, 12 Oktober 2002. Setelah Dr. Azahari, tersangka otak pengeboman di Indonesia, ditembak mati di Batu, Jawa Timur, November 2005, Abu Dujana disebut-sebut menjadi pengganti.
Untuk memburu Dujana, Satuan Tugas Bom mengandalkan polisi muda dari beberapa kesatuan yang berpengalaman melakukan operasi tersembunyi. Ada yang berdandan trendi: celana bermuda, jaket Adidas dengan tudung kepala, sepatu Nike, dan telepon seluler keluaran terbaru. Ada yang berkopiah putih, mirip santri di pondok-pondok pesantren. Ada yang rambutnya gondrong dengan pakaian biasa saja. Polisi bersemangat. Hadiah Rp 500 juta disiapkan kepada siapa pun yang bisa memberikan informasi tentang Dujana. Sayang, pekan lalu sang buron tak bisa dicokok.
Budi Setyarso (Yogyakarta) dan Imron Rosyid (Sukoharjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo