Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dua Puluh Tahun Bersama Pearl Jam

Film yang mengurai 20 tahun perjalanan Pearl Jam. Memperjelas yang samar dan menemukan makna baru dari peristiwa yang sama.

26 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat Eric Clapton sibuk menyanyikan Tears in Heaven di panggung MTV Video Music Awards 1992, Eddie Vedder, vokalis Pearl Jam, dan Kurt Cobain, vokalis Nirvana, malah sibuk berdansa dengan mesra di belakang panggung. Orang di sekelilingnya tampak tak begitu mempedulikan mereka. Setelah berdansa, mereka berdua berpelukan layaknya dua sahabat. Gambaran ini jelas jauh dari gembar-gembor di media saat itu, yang menggambarkan Pearl Jam dan Nirvana sebagai dua band yang bermusuhan.

Cameron Crowe, mantan jurnalis Rolling Stone dan sutradara yang dikenal lewat film Singles (1992), Jerry Maguire (1996), dan Almost Famous (2000), menyusun kembali 1.200 jam rekaman video mentah menjadi film dokumenter berdurasi 109 menit dengan judul PJ20. Film ini diputar sekali saja secara serentak di seluruh dunia, termasuk Indonesia, pada 20 September lalu. Upaya Pearl Jam Indonesia, jaringan penggemar Pearl Jam di sini, bersama Bioskop Merdeka dan Heaven Records sebagai penyelenggara, berhasil mengundang antusiasme 500 penggemar yang memadati Studio XXI Epicentrum, Jakarta, meski pemutarannya terlambat satu jam.

Pada 1990-an, grunge, yang dipopulerkan media sebagai aliran musik dari Seattle, menempatkan Soundgarden, Pearl Jam, Nirvana, dan Alice in Chains sebagai idola baru yang mendunia. Perkembangan dan dinamika sosial Seattle sound ini dijelaskan dengan sangat baik dalam film dokumenter Hype! (1996) karya Doug Pray. Pada 1988, Stone Gossard (gitar) dan Jeff Ament (bas) bersama Andrew Wood sang vokalis membentuk band yang mereka namai Mother Love Bone (MLB).

Karisma Andrew Wood melejitkan MLB dan menjadikannya band paling menjanjikan di Seattle pada saat itu. Kematian Andrew Wood yang tiba-tiba pada 19 Maret 1990 akibat overdosis heroin memporakporandakan band yang tengah sibuk mempersiapkan album debutnya itu. Gossard dan Ament lantas mencoba membentuk band baru. Lewat tangan Jack Irons, mantan drummer Red Hot Chili Peppers, single demo yang digarap Gossard dan Ament sampai ke tangan Eddie Vedder dan menerbangkan pemuda pemalu yang bekerja sebagai penjaga malam di San Diego itu ke Seattle untuk bergabung bersama Gossard, Ament, dan Mike McCready—membentuk Pearl Jam.

Crowe tidak hanya berusaha meluruskan kesimpangsiuran "mitos perselisihan" Pearl Jam dengan Nirvana, tapi juga memperjelas kekuatan Pearl Jam sebagai band yang bisa menyuarakan kegelisahan individu generasinya. Eddie Vedder sebagai vokalis, dengan karismanya, menjadi juru bicara tanpa rasa takut dan tidak mengenal kompromi ketika berhadapan dengan kekuatan yang berusaha mendikte proses Pearl Jam dalam berkarya, juga terhadap kekuatan yang mengganggu kedekatan dengan para penggemarnya, seperti yang dilakukan terhadap Ticketmaster.

Pearl Jam terlibat dalam aktivisme sosial: mendukung legalisasi aborsi, pembebasan Tibet, mantan kandidat presiden Ralph Nader, sikap antiperang, dan penolakan atas kebijakan Presiden George W. Bush. Sikap seperti ini menjadikannya band yang konsisten dengan keberpihakannya sekaligus band yang sulit dimengerti.

Matt Cameron, mantan drummer Soundgarden yang kemudian menjadi drummer Pearl Jam, mengakui Pearl Jam bukan band yang mengambil pengaruh dari luar, tapi justru kekuatan karakter para anggotanya sendiri yang saling mempengaruhi dan membentuk mereka. Bagi penggemar berat Pearl Jam yang sudah khatam membaca biografi mereka, retrospeksi sejarah yang ditampilkan lewat PJ20 seperti cerita yang diulang-ulang untuk menguak yang tersembunyi, memperjelas yang samar, dan menemukan makna baru dari peristiwa yang sama.

Sebelumnya, Crowe memproduseri video dokumenter Pearl Jam: Single Video Theory saat Pearl Jam membuat album Yield pada 1998. Sebagian footage di film ini kembali ditampilkan pada PJ20. Meski demikian, Crowe berhasil menyuguhkan perspektif baru dan pemahaman yang lebih dalam tentang Pearl Jam kepada penonton. Dia juga memberikan rangkuman yang komprehensif tentang sepak terjang Pearl Jam tanpa melebih-lebihkannya. Terasa sekali film ini dibuat oleh seseorang yang sangat mengenal Pearl Jam, bukan hanya sebagai sebuah band, tapi juga secara personal.

Saya pernah menonton pentas Pearl Jam di Madison Square Garden, New York, pada 2008 dan melakukan "perjalanan spiritual" ke Seattle hanya untuk merasakan udara yang menghidupi kreativitasnya. Menonton film ini, saya kira bukan hanya personel Pearl Jam yang merenungkan apa arti bertahan sampai 20 tahun, tapi juga penggemarnya.

Tarlen Handayani, penggemar berat Pearl Jam dan pengelola Tobucil & Klabs di Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus