Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kaki-Kaki Sutasoma

27 September 2004 | 00.00 WIB

Kaki-Kaki Sutasoma
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Budakeling, desa adat di Kabupaten Karang Asem itu, tak memperlihatkan tanda-tanda keistimewaannya. Kawasannya berdebu, suasana malah terasa agak kering. Bayangan menemukan suasana purbawi, pepohonan asri, dan sawah-sawah berundak meleset.

Kita baru merasakan sejuk ketika menapak Bukit Hyang Pinggan. Dari perempatan utama desa, kita belok kanan menuju pos pengamatan Gunung Agung. Tak jauh dari pos, terdapat Pura Puncak Sari. Panorama hijau terbentang di bawah. Siang hari pun begitu lengang. Salak anjing dari bawah terdengar seperti bergema.

Betapapun dari luar tampak biasa, desa ini memiliki peran unik dalam kehidupan spiritual Bali. Inilah desa satu-satunya di Bali yang menjadi pusat pedanda Hindu aliran Buddha. Peran penting mereka tecermin pada upacara Eka Dasa Rudra, yang dilaksanakan 100 tahun sekali. Ini adalah upacara pengusiran bhutakala besar-besaran.

Pedanda Hindu aliran Buddha dari Budakeling pada momen itu akan duduk di tengah—di antara pedanda Hindu aliran Siwa dan pedanda Hindu aliran Bhujanga. Semuanya mengucapkan mantra, menabur bunga, menyanyi puja. Tapi tugas khusus bagi pedanda Buddha adalah memimpin ritus Yamaraja, yang konon sangat sakral dan rumit karena Sang Hyang Yamaraja adalah simbol raja kematian. Pada upacara Tawur Eka Dasa Rudra tahun 1978 di Pura Besakih, yang mewakili pedanda Budakeling adalah paman Granoka, Ida Pedanda Gde Nyoman Jelantik.

Asal-usul desa ini harus ditengok kembali pada abad ke-15. Penguasa Gelgel, Sri Waturenggong, meminta pandita dari Jawa Timur untuk memimpin upacara Homa di Puri Gelgel. Datanglah Danghyang Astapaka dari Desa Keling, yang merupakan cicit Mpu Tantular pengarang Sutasoma. Ia lalu tinggal di istana. Tapi, karena suatu sebab, Astapaka pergi berkelana.

Ia berjalan ke arah utara dan sesampai di Bukit Penyu ia istirahat. Konon di kejauhan ada seberkas sinar yang memancar dari bumi. Serta-merta Astapaka melakukan samadhi, meminta petunjuk mencari lokasi itu untuk mendirikan pasraman, tempat suci. Begitu ketemu, ia langsung menancapkan tongkat kayu yang syahdan tumbuh terus menjadi pohon tanjung. "Ini adalah pohon tanjung itu," Dayu Ani menunjuk ketika kami sampai di Pura Taman Tanjung. Pelatarannya luas dan penuh kerikil.

Dahulu kesenian marak di Budakeling. "Gambuh dari pintu ke pintu," Granoka mengenang. Namun, sekarang hilang. Itu yang membuatnya prihatin. Dan tekadnya adalah menggali seluruh elemen desanya untuk Bajra Sandhi. "Sering jam empat pagi kami jalan ke Pura Puncak Sari," tutur Dayu Ani. Bila kita saksikan penampilan Bajra yang selalu penuh simbol-simbol rajah, tak lain itu berasal dari penggalian tradisi rajah-Budakeling yang unik. Budakeling memiliki tradisi membuat rajah untuk upacara Ngaben, perkawinan, atau kurban. Desa memiliki koleksi kuno diagram rajah dan aksara yang disebut Kajang Sutasoma. Penuh simbol mistik: kura-kura, naga.

Ketika konflik muncul di tanah air, Granoka menggagas "Tujuh Abad Sutasoma". Ia menganggap roh utama Sutasoma adalah toleransi. Sebuah ritual Homa Jambala samadhi, seperti yang pernah diadakan leluhur mereka, Astapaka, diadakan. Berduyun-duyun warga empat penjuru desa—Desa Komala, Tohpati, Saren, Ababi—datang. Bahkan komunitas Islam di Dusun Saren juga ikut. Mereka keturunan Kiai Jalil, sosok yang diutus penguasa Demak ke Puri Gelgel zaman Waturenggong.

Di depan pura, para pandita membaca Sutasoma. Bajra Sandhi tampil dan Made Gentorang, anak bungsu Granoka, memainkan wayang. Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa—kata-kata itu sudah menjadi jargon. Dan Granoka memilih "eksperimen" konkret menanamkan elemen harmoni Sutasoma bagi anak-anak sedari dini.

Tak letih. Meski sudah di Denpasar, tiap minggu ia datang ke pendapa Saren, desa perbatasan. Ia melatih yoga, gamelan, kidung kepada anak-anak setempat. Jarak Denpasar-Budakeling cukup jauh. "Saya dan Bapak boncengan sepeda motor," kata Dayu Ani. Menancapkan kaki-kaki Sutasoma ke dalam kalbu anak-anak di tengah era MTV begini memang sebuah ikhtiar langka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus