Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Lewat medium seni instalasi, Midori mengekspresikan rangsangan estetisnya dengan bahasa yang sangat personal tentang spiritualisme, tentang pengakuan yang dalam terhadap kekuasaan tidak kasatmata. Ia berangkat dari upayanya memahami dirinya lewat konsep "anugerah", yang secara transendental dipahaminya sebagai kemurahan penguasa jagat rayaapa pun namanya: Tuhan, Allah, sang Hyang Widi, Dewayang memberi hidup, dan memahami alam yang penuh warna tempat selama delapan tahun ia menetap di Ubud, Bali, dan kini di Yogyakarta. Ia melarikan diri dari cengkeraman alam Jepang yang monoton.
Maka, lahirlah menara berbentuk kerucut yang menjulang bak gunungan, dari bahan terakota yang ujungnya bergelombang, seolah suatu pencarian yang tak kunjung usai. Menara ini berjendela dengan pelita yang meneranginya. Di bagian bawahnya terdapat obyek-obyek dari bahan gips yang dibalut dengan warna-warna cerah. Obyek itu berbentuk abstraksi figur yang sedang merenung.
Karya instalasi Midori ini bak sebuah lanskap ala Hindia molek dalam bentuk lain. Perupa kelahiran Nagoya, Jepang, 35 tahun lalu ini bukan memotret keelokan alam semata, melainkan cenderung menghadirkan realitas keindahan yang lain dari sebuah negeri tropis pada masa kini. Tapi, tetap saja kita bisa merasakan tiga unsur dalam lukisan Hindia molek pada karya Midori, yakni sawah, gunung, dan hutan.
Karyanya adalah sebuah perpaduan keaslian alam dengan hamparan tanah cokelat dari bubuk bata di seluruh ruang galeri, dengan keriangan aneka warna tropis. Tanah itu dibuat berkontur hasil torehan tangan, dengan pola melingkar bak pencitraan sawah dari udara. Aroma spiritual menyeruak dari gentong berisi bahan makanan, yang mengingatkan orang pada sesaji pada masyarakat tradisi.
Sebagai sebuah karya instalasi, Midori, yang sudah menetap selama delapan tahun di Ubud dan kini menetap di Yogya, berhasil memaksimalkan fungsi ruang. Meski karyanya terdiri dari tiga bagian yang disusun secara parsial, Midori mampu membangun relasi secara alamiah antara bagian-bagian yang terpisah itu. Seniman instalasi sering mengalami masalah dalam koordinasi karya instalasi dengan elemen ruang dan penonton pada sisi yang lain. Tapi, karya Midori menempatkan penonton dalam sebuah kesatuan ruang dan karya yang utuh. Ketika penonton masuk ke ruang pameran lewat jalan dari kayu yang mirip dengan jalan setapak di hutan atau pematang sawah, serta-merta secara emosional mereka diserap ke dalam ilusi sebuah lanskap. Ada suasana hening yang murung dari warna terakota yang dominan, tapi seketika muncul gejolak roh kehidupan yang penuh warna dari akar yang menggeliat dan obyek yang berjejer di sekitar menara.
Midori mengekspresikan pergolakan yang lebih personal lewat 16 kotak kecil yang digantung pada bagian lain dinding galeri. Di dalam kotak yang dibalut dengan warna-warna cerah itu ada obyek yang sama dengan yang ada dalam karya instalasinya, yakni abstraksi figur yang sedang merenung melepas angan. Midori memperlakukan karya ini bak sebuah catatan harian pergulatan batin di dalam dunianya yang sempit tapi penuh warna. "Saya membayangkan diri sedang memikirkan sesuatu yang berbeda setiap hari," kata lulusan desain grafis Aichi University of Fine Art yang banyak membuat karya tiga dimensi itu. Ada teks-teks pendek tentang apa yang ia pikirkan pada setiap kotak itu. Tak pelak, karya ini memang potret dirinya sebagai orang asing yang terpesona pada alam yang kaya warna yang membawanya pada dunia spiritual, yang sebenarnya juga sudah mulai teredusir.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo