Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua gambar burung yang berhadapan terpasang pada bingkai berukuran 80 x 61 sentimeter di sudut galeri seni Dia.Lo.Gue, Jakarta Selatan, Kamis, 16 Februari lalu. Karya tersebut diberi judul Interview Burung. Sungguh judul yang unik. Tapi memang kedua burung itu tampak sedang berbincang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika dilihat sekilas, Interview Burung mirip karya lukis sederhana dengan perpaduan warna cokelat tua dan putih. Namun sesungguhnya ini merupakan karya seni cetak grafis dengan teknik litografi atau pencetakan menggunakan media batu atau pelat logam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada satu karya cetak grafis lain berwujud tiga ikan yang bertumpuk berjudul Ikan. Karya tersebut dibuat dengan teknik intaglio atau cetak dalam, yakni teknik cetak menggunakan prinsip penggoresan gambar di atas permukaan pelat logam. Bedanya, karya cetak grafis Ikan lebih mirip lukisan sketsa lantaran menggunakan dua pilihan warna putih dan hitam.
Karya berjudul Interview Burung. TEMPO/Indra Wijaya
Total terdapat 35 karya cetak grafis berteknik litografi dan intaglio karya sastrawan dan seniman Goenawan Mohamad yang dipamerkan hingga 15 Maret 2023 itu. Pameran tunggal Mas Goen—demikian Goenawan Mohamad kerap disapa—ini bertajuk "Kitab Hewan". Sesuai dengan judulnya, Goenawan banyak mengangkat potret binatang dalam karya cetak grafis. Selain tentang ikan dan burung, GM membuat karya ihwal ular, kuda, badak, dan lainnya.
Bagi Goenawan, seni cetak grafis merupakan hal baru yang ia geluti. Pendiri sekaligus mantan Pemimpin Redaksi majalah berita mingguan Tempo itu mengaku baru 10 bulan belajar tentang seni cetak grafis. Namun, bagi dia, seni cetak grafis mengembalikan ingatannya ke masa lalu. "Mengingatkan masa kecil saya melihat buku-buku yang mungkin ayah saya curi dari perpustakaan di masa pembuangan lalu," kata pria yang kini berusia 81 tahun itu saat membuka pameran.
Dalam seni cetak grafis, Goenawan Mohamad mengaku belajar banyak dari Devy Ferdianto. Devy adalah pemilik Devfto Printmaking Institute di Ubud, Bali. Pria berusia 55 tahun itu merupakan salah satu pakar master printer di Tanah Air.
Kepada Tempo, Devy bercerita tentang pertemuannya dengan GM terjadi pada Oktober 2021. Saat itu Goenawan sedang membuka pameran tunggal Syakieb Sungkar di Titik Dua, Ubud, Bali. Goenawan mampir ke Devfto Printmaking Institute. Devy lantas menjelaskan tentang seni cetak grafis kepada GM dan rombongan. "Daripada saya jelaskan panjang-lebar, ya, sudah, saya kasih pelat saja dan membuat langsung," ujar Devy.
Sejak saat itulah GM jatuh hati pada seni cetak grafis, terutama pada teknik intaglio dan litografi. Devy kagum terhadap semangat Goenawan dalam berkarya. Betapa tidak, dalam kurun 10 bulan, ia mampu menghasilkan lebih dari 40 karya.
Menurut Devy, dalam membuat karya grafis, Goenawan mengedepankan spontanitas. Sebab, seni cetak grafis lazimnya berupaya merekonstruksi matriks cetakan untuk bisa menghasilkan karya cetak yang diinginkan. "Kalau Mas Goen, lebih spontan, tanpa bikin sketsa dulu, jadi langsung di atas matriks."
Karya berjudul Badut. TEMPO/Indra Wijaya
Devy menegaskan, ia hanya memberikan pendampingan teknis kepada Goenawan dan membantu proses pencetakan karya ke atas kertas. Dengan kata lain, ia tak ikut campur dalam proses kreatif sang seniman.
Seni cetak grafis, Devy mengimbuhkan, sejatinya bisa menggunakan lebih dari dua warna. Namun GM memilih dua warna alias monokrom pada seluruh karyanya. "Monokrom saja banyak yang bisa disampaikan dan diungkapkan beliau," tuturnya.
Menurut Devy, seni cetak grafis belum terlalu populer di Tanah Air. Sebab, mayoritas seniman dan kolektor belum begitu tertarik pada seni bermedia kertas. Iklim tropis dianggap tak ramah kertas. "Dianggap lebih mudah jamuran dan sebagainya," kata dia.
Padahal saat ini sudah ada kertas khusus berbahan katun dan bebas asam yang lebih tahan lama jika disimpan. Walhasil, Devy melanjutkan, butuh edukasi lebih gencar untuk mempopulerkan karya seni dengan media kertas, termasuk cetak grafis.
Karya berjudul Di Laut Dalam. TEMPO/Indra Wijaya
Pelukis dan perupa Entang Wiharso memberikan pujian atas karya seni cetak grafis Goenawan Mohamad. Menurut dia, Goenawan mampu menciptakan karya yang ciamik. Sebab, dia mengatakan, lazimnya karya cetak grafis lebih mirip memblok warna. "Tapi ini seperti goresan asli, seperti pakai luas," kata pria berusia 55 tahun itu.
Menurut Entang, seni cetak grafis punya ciri khas yang menarik. Salah satunya tentang penyerapan tinta di atas kertas yang indah, termasuk memunculkan hasil yang di luar dugaan. "Jadi, ada sensasi hasil cetakan di luar kontrol seniman. Justru itu menariknya."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo