ANGGOTA Dewan Juri Festival Film Indonesia 1982 tak lagi harus
duduk dalam gelap, menyaksikan berpuluh film. Satu cara
penilaian baru dirintis tahun ini. Ada tim penyeleksi
pendahuluan yang langsung menentukan film-film yang diunggulkan,
disebut KPU (Komite Pengaju Unggulan).
Itulah yang diputuskan Dewan Film Nasional (DFN) Maret lalu.
Menurut Misbach Jusa Biran, salah seorang dari 18 anggota KPU,
cara itu merupakan pemenuhan tuntutan orang film sendiri agar
dilibatkan dalam penilaian. Maka itulah anggota KPU, yang
diangkat oleh DFN, terdiri dari para pekerja film (sutradara,
juru kamera, penulis skenario dan lain-lain) ditambah dua
produser.
Yang jelas, dengan adanya KPU kerja Dewan Juri FFI kini menjadi
sangat terarah, dan pilihan terbatas. Dari sebuah film mereka
tak perlu lagi mempertimbangkan bidang apanya yang harus
diunggulkan. Sebab yang itu tugas KPU. Bila sebuah film
diunggulkan hanya tata artistiknya misalnya, ya, bidang itulah
yang dinilai juri dari film itu. Tak bisa yang lain -- misalnya
bila ternyata menurut juri permainan peran utama yang patut
ditampilkan. Dengan demikian dewan juri sedikit banyak sudah
"diprogram".
Ini satu hal yang sangat berbeda dari sistem nominasi pada tiga
FFI sebelumnya (1979, 80 dan 81). Dulu, unggulan sepenuhnya
ditentukan Dewan Juri sendiri. Kebijaksanaan yang pertama kali
diterapkan di FFI 1979 di Palembang itu, sebetulnya untuk
memberi muka kepada film atau pekerja film yang tidak menang
tapi nilainya hanya terpaut tipis dengan yang menang.
Bukan rahasia lagi, dengan sistem angka, keterpautan nilai
antara pemenang dan yang bukan terkadang sangat tipis. Tapi
bagaimanapun, dulu itu, dewan jurilah yang menentukannya setelah
melihat keseluruhan peserta FFI.
Maka peran KPU sekarang sesungguhnya amat besar. Badan inilah
yang menentukan sebuah film bisa diikutkan penilaian dewan juri
atau tidak. Untuk pertama kali ini saja misalnya, dari 81 film
yang terdaftar ikut FFI, hanya 17 yang diunggulkan. Maka begitu
hasil kerja KPU diumumkan 10 Juli yang lalu, muncul kritik di
sana-sini. Soal penjurian dengan angka yang bisa meleset jauh.
Soal ada anggota KPU yang sering absen. Masalah tiadanya diskusi
dalam KPU. Juga tiadanya tolok ukur penilaian.
Misbach Jusa Biran mengakui belum sempurnanya cara kerja KPU.
"Harus diingat bahwa KPU soal baru, dan hanya mempunyai
kesempatan menilai semua film dalam waktu dua bulan," tuturnya.
Tapi bahwa orang film diikutsertakan menilai, dianggapnya
bermanfaat. "Dulu penilaian hanya didasarkan pada ide dan isi
cerita. Sajian teknisnya luput. Sekarang orang film pun ikut
punya hak menentukan," kata Misbach, yang juga menjadi Ketua
Dewan Juri.
Tidak boleh tidak, itu berarti dewan juri FFI selama ini -- yang
memang kebanyakan datang dari kalangan luar film -- dianggap
kurang mampu mempertimbangkan segi filmisnya.
Tapi masih menjadi pertanyaan, seperti juga dalam cabang
kesenian yang lain, apakah seorang yang pintar membikin film
juga seorang penilai film yang baik. Dan sebaliknya, apakah
mereka yang berada di luar dunia film kurang berbobot wawasannya
terhadap nilai sebuah karya celluloid.
Diketahui, dari FFI pertama, 1973, sampai yang ke-9 tahun lalu,
dewan juri selalu berusaha menyempurnakan kriteria dan sistem
penilaiannya. Pada FFI 1974, misalnya, dewan juri meniadakan
pemenang aktor dan aktris terbaik. Alasannya aktor dan aktris
kita sering mutu permainannya ditentukan oleh peran dan
sutradaranya. Bobot permainan menjadi jauh berbeda di tangan
sutradara satu dan lainnya.
Bahkan FFI 1977 di Jakarta sempat heboh. Dewan juri waktu itu
mencoba mencari kriteria "film terbaik". Hasilnya, film terbaik
harus mempunyai 4 pendukung yang terbaik pula: skenario,
sinefotografi, penyutradaraan, dan editing. Dan buntutnya, tak
ada film terbaik yang muncul -- karena tak sebiji pun film
produksi 1976/77 memenangkan empat unsur itu sekaligus.
Memang menjadi persoalan, dewan juri yang dari tahun ke tahun
selalu berubah-ubah orangnya itu. Sementara satu kriteria yang
baku belum ada. Yang ada baru satu petunjuk garis bcsar unsur
apa saja yang dinilai.
Maka keobyektifan penilaian, yang konon begitu didambakan,
sebenarnya bukan tergantung pada terjaganya angka-angka yang
diberikan oleh KPU maupun dewan juri, hingga misalnya tahun ini
angka-angka itu perlu diserahkan kepada notaris. Notaris itulah
yang kemudian menjumlahkannya dan mengumumkan nilai
tertingginya.
Tapi justru soal angka itu yang menjadikan keberatan sejumlah
orang. Dianggap lebih mendekati nilai yang sebenarnya apabila
penilaian akhir merupakan perpaduan angka dan diskusi antarjuri.
Seperti dikatakan D. Djajakusuma, anggota KPU. Sementara diakui
pula oleh Misbach, diskusi dalam KPU meman dianggap kurang.
Langsung semu a unggulan yang tahun ini muncul adalah hasil
penjumlahan angka-angka yang memang dijamin "tak ada
manipulasi".
Mungkin masalahnya justru terletak pada kualitas para anggota
dewan juri dan KPU itu. Menurut Ami Priyono, sutradara, idealnya
seorang penilai adalah "yang sering nonton film Indonesia, paham
soal selera dan psikologi penonton, memiliki pengetahuan umum
sinematografi, dan mengikuti perkembangan sejarah perfilman
Indonesia." Dan, tentu saja, ia netral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini