Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah sebuah pohon kenari babi yang berdiri kokoh di Kebun Raya Bogor, Deddy Luthan, 63 tahun, duduk lemah di kursi roda. Siapa pun akan kaget melihatnya. Deddy, yang dulu tegap, dengan rambut panjang putih-menjadikannya terlihat karismatik bila menari dengan rambut terurai-kini sedemikian kurus, seperti susut, mengecil. Gerakannya terbatas. Dari mobil menuju kursi roda, ia harus dibopong. Beberapa tahun lalu, ia terserang stroke.
Tapi, pagi itu, siapa pun bisa melihat: Deddy seolah-olah tak ingin takluk pada keterbatasan fisiknya. Matanya menyala-nyala antusias. Meski kalimat demi kalimatnya keluar pelan, ia bisa menjawab pertanyaan dengan tepat. Ingatannya masih jelas. Ia tampak bahagia melihat banyak handai taulan, teman-teman koreografer, mantan mahasiswanya, seniman, dan para guru besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta datang. Pagi itu, dengan suara yang lirih di bawah pohon yang tinggi, rindang, dan tua tersebut, Deddy menyampaikan pidato kecil mengenai konsep karya terbarunya.
"Karya saya menggambarkan kehidupan sehari-hari di kampung-kampung Dayak," katanya. Mungkin baru pertama kali ini sebuah koreografi diadakan di Kebun Raya. Dalam hal ini, Deddy membuka alternatif sebuah pementasan. Kebun Raya Bogor selama ini hanya menjadi tujuan wisata botani. Tontonan ini sedikit-banyak membebaskan kita dari rasa kejenuhan terlalu sering menonton tari di panggung-panggung auditorium. Deddy memilih mementaskan karyanya di sebuah pojok taman yang menjorok ke dalam.
Karya berjudul Hutan Pasir Sunyi ini sesungguhnya tugas akhir Deddy di STSI untuk meraih gelar doktor. Ia menggabungkan penari serta beberapa anggota teater dari Kalimantan, Solo, dan Jakarta. "Banyak anggota Teater Tetas Jakarta ikut terlibat, dari jadi kru sampai pemain," ujar sastrawan Yanusa Nugroho, yang menjadi penasihat pementasan.
Sebagian besar penari tetap dari Kalimantan. "Ada 20 penari dari Kalimantan Timur," kata Halidin Katung, 62 tahun, Ketua Lembaga Pembinaan Kebudayaan Daerah Kabupaten Kutai Timur, yang memimpin rombongan para penari Kalimantan. Para penari berasal dari etnis Dayak Kayan, Kenyah, dan Modang. Deddy sudah menjelajahi hampir semua pedalaman hutan kabupaten Kalimantan Timur. Bagi Halidin, Deddy adalah guru, seorang "tetua". Meski begitu, sebenarnya ia terlambat mengenal Deddy. "Saya pertama kali bekerja sama dengan Deddy pada 2005, menggarap Borneo Extravaganza. Waktu itu para penarinya, selain dari tiga etnis tadi, dari Dayak Kutai dan Dayak Wehea."
Halidin bercerita bagaimana ia terpukau oleh energi Deddy. Setahun lalu, meski sudah terserang stroke dan memakai kursi roda, Deddy masih berhasrat masuk pedalaman hutan Kongbeng, Kalimantan Timur, untuk mempersiapkan para penari mengikuti sebuah festival di Singapura. "Tahun lalu, dia juga menjadi juri festival tari pedalaman dan pesisir," ucap Halidin. Menurut Halidin, suku-suku Dayak di Kalimantan Timur memiliki gaya tari yang berlainan. Apalagi bila dibandingkan dengan Kalimantan Barat. Dan Deddy, menurut dia, adalah sebuah "ensiklopedi" yang mengetahui keberagaman itu. Sebab, Deddy semenjak awal 1970-an telah masuk ke berbagai pedalaman Kalimantan Barat. "Kalimantan adalah rumah kedua Deddy," kata Halidin.
Hutan Pasir Sunyi adalah sebuah karya yang sesungguhnya mengacu pada nama sebuah hutan di Kalimantan Barat. Hutan Pasir merupakan tempat anggrek hitam bersemai. Tatkala puluhan hektare kawasan itu terbakar, anggrek-anggrek ikut musnah. Pernah Deddy membuat karya khusus mengenai anggrek hitam tersebut. Pagi itu Deddy masih ingat bagaimana suasana Hutan Pasir. "Pasirnya semua putih," ujarnya kepada Tempo. Dan karya di Kebun Raya ini, sekali lagi, menggemakan kekhawatiran terhadap bencana yang terus-menerus menerpa hutan Kalimantan.
Setengah jam sebelum pentas, saat semua penari dan pemusik melingkar, Deddy menyampaikan pengarahan singkat dari atas kursi roda. Terasa ada suasana keharuan. Sebuah energi sudah menyeruak.
Jelas pementasan pada pagi yang sejuk itu "dramaturgi"-nya tak seperti di panggung. Pemilihan tempat-di Kebun Raya Bogor, bukan di Taman Ismail Marzuki atau Gedung Kesenian Jakarta-menunjukkan keinginan agar pertunjukan berlangsung sealamiah mungkin. Penari dan pemusik tersebar di mana-mana. Ada yang duduk di gundukan tanah, rerumputan, di bawah pepohonan. Pemusik menghablur, bagian dari penari. Bunyi-bunyian yang ditata pemusik Anusyirwan dan Joko Porong menyelaraskan dengan suasana gerakan penari, tidak berusaha menampilkan komposisi yang mencuri perhatian sendiri.
Mula-mula sekelompok penari menggambarkan situasi panen, masyarakat merontokkan padi. Lalu para wanita suku Benuaq berbaju merah menampilkan tari pesta tanam padi. Selanjutnya, para wanita dari suku Dayak Kenyah menyajikan tari Datun Julud, yang menggambarkan suasana bergembira menyambut pahlawan-pahlawan di sekitar rumah panjang. Mereka membawa kirip-kipas dari bulu burung enggang. Mereka bagai burung yang terbang ke sana-kemari. Disusul kemudian oleh tari perang dari suku Dayak Kenyah. Dengan perisai yang besar, para petempur tersebut saling menerjang. Kemudian bersambut Hudog dari Dayak Kenyah. Para penari mengenakan kostum khas: topeng kayu berwajah "barong-barongan" atau satwa menyeramkan. Tubuh mereka terbalut "rompi" dari kulit pinang serta rumbai-rumbai kulit pohon pisang. Hudog adalah tarian untuk mengusir hama di ladang.
Memang ini sebuah komposisi bunga rampai, bukan suatu karya yang utuh atau karya dengan angle yang tajam. Ini cuplikan dari berbagai karya tari tradisi yang lalu dirangkai . Betapapun demikian, secara keseluruhan tarian mengalir rapi dari satu adegan ke adegan lain. Dari posisi lokasi satu ke lokasi lain, kesannya para penari bergerak dalam satu kesatuan sinergi, bukan satu per satu berganti-ganti menari sendiri-sendiri. Irama bergulir wajar, tidak dibuat-buat. Karya itu tidak jatuh menjadi seperti puspa ragam tari-tarian daerah. Dan ini yang penting: ternyata semua tarian itu dibingkai ke satu titik, yaitu ritual menolak bala.
Menjelang akhir pertunjukan, para pemusik menggantung gong-gong di cabang-cabang pohon, lalu memukulnya. Mula-mula suara terdengar saling silang, kemudian menyatu harmoni. Bunyi itu sepertinya sebuah panggilan: satu isyarat bahaya atau sesuatu yang genting. Sementara itu, seorang perempuan dari suku Dayak Kenyah terlihat memainkan mandau. Ia menukikkan ujung tajam mandau ke dahinya. Lalu muncul adegan manusia-manusia rotan. Beberapa penari muncul liar dengan tubuh dililiti rotan. Mereka menggambarkan nasib rotan yang merana karena hutan terus-menerus ditebangi.
Deddy, yang bernama asli Hendarwanto Pandji Akbar, risau terhadap pembalakan besar-besaran hutan Kalimantan. Deddy adalah saksi mata bagaimana korporasi-korporasi nasional dengan rakus membabat hutan Kalimantan. Dia saksi mata bagaimana ekosistem Kalimantan terganggu. Ia menangkap kepedihan, bahkan mencatat sastra lisan warga Dayak yang isinya ratapan mengenai habitat hutan yang terus-menerus tergerus. "Spesies yang dulu ratusan pun banyak berkurang," ucapnya kepada Tempo.
Dan pertunjukan pun berakhir dengan akhir yang memikat. Boby Ari Seriawan-penari muda dari Solo-dan beberapa penari Studio Taksu Surakarta menghampiri pohon kenari babi yang tegar itu. Di kulit kayunya yang tebal dan bergetah, mereka seolah-olah hendak merayap. Mereka meraba, mengusap, dan menggoreskan punggung yang telanjang ke oyot-oyotnya yang gemuk. Sesuatu yang arkais. Sesuatu yang purbawi terasa menggeletar. Kulit badan bertemu dengan kulit kayu. Pohon kenari babi yang sehari-hari diam ditelan sunyi sekonyong-konyong menjadi sentrum peristiwa "sakral". Pada titik ini, pagi itu terasa bermakna.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo