Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMESTINYA hakim agung Artidjo Alkostar menerapkan asas in dubio pro reo dalam memutus kasasi Hotasi Nababan, mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines. Ketika majelis yang ia pimpin menjatuhkan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta, tak ada bukti meyakinkan Hotasi melakukan korupsi. Dalam hukum pidana, dakwaan kurang bukti sama saja dengan tidak terbukti. Keadaan meragukan itu seharusnya mengingatkan majelis hakim pada asas itu: lebih baik membebaskan seribu orang bersalah ketimbang menghukum satu orang tak bersalah.
Tak adanya bukti Hotasi melakukan korupsi telah pula dimaklumkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 19 Februari lalu. Putusan itulah yang membuat vonis kasasi Artidjo terkesan dipaksakan. Kurang masuk akal dalil bahwa orang nomor satu Merpati, perusahaan milik negara, itu melanggar Pasal 2 Undang-Undang Tipikor, yaitu memperkaya orang lain atau korporasi dalam penyewaan dua unit Boeing dari Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) pada 2006. Di mana pula logika Hotasi memperkaya pemilik perusahaan Amerika Serikat yang bukan sanak-familinya itu.
Menurut perjanjian, Merpati wajib menempatkan uang jaminan US$ 1 juta (waktu itu setara dengan Rp 9 miliar) di rekening custodian Hume and Associates. TALG wajib mengembalikan uang jaminan itu jika gagal menyediakan pesawat. Ternyata TALG tak berhasil mendapatkan pesawat dan membatalkan perjanjian. Merpati memperkarakan kasus ini di pengadilan Washington. Putusannya: TALG melakukan wanprestasi dan wajib mengembalikan deposit. Sampai sekarang perusahaan itu baru membayar US$ 4.793.
Jelaslah ini urusan bisnis semata. Program kerja direksi Merpati bisa mendapatkan keuntungan, bisa pula mengundang kerugian. Kebijakan juga tak serta-merta bisa dipidanakan, kecuali dibuat dengan kesengajaan untuk diselewengkan. Dalam kasus Merpati, Pengadilan Tipikor telah menyatakan Hotasi mengambil keputusan dengan berhati-hati dan tak ditemukan niat korupsi.
Putusan kasasi Artidjo juga bertolak belakang dengan fatwa Mahkamah Agung untuk Menteri Keuangan pada 16 Agustus 2006. Fatwa itu menyatakan pengelolaan modal badan usaha milik negara yang berasal dari kekayaan negara tak didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tapi pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Fatwa itu meminta aparat penegak hukum tidak memberlakukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menjerat pengelola BUMN yang diduga menyelewengkan wewenang. Kekayaan negara dalam BUMN telah masuk ranah hukum privat atawa perdata. Sedangkan Artidjo mendakwa Hotasi melanggar hukum pidana.
Dalam beberapa kasus, ketegasan Artidjo menghukum koruptor patut dihargai. Dia pernah memperberat hukuman untuk dua politikus Partai Demokrat, Angelina Sondakh dan M. Nazaruddin, dalam kasus pusat olahraga Hambalang dan pembangunan Wisma Atlet. Tapi ketegasan tak mesti diterapkan seperti memakai "kacamata kuda". Hakim kasasi seyogianya mengindahkan fakta dan putusan pengadilan di bawahnya. Dalam menerapkan Undang-Undang Tipikor, hakim semestinya tak cuma menekankan aspek kerugian negara, tapi juga menelisik ada atau tidaknya niat jahat pengambil kebijakan.
Dalam kasus perusahaan pelat merah merugi akibat kebijakan yang keliru, sang direktur bisa mendapat sanksi pemecatan. Jika semua kebijakan yang salah dipidanakan, tak akan ada pemimpin perusahaan milik negara yang berani mengambil kebijakan bisnis apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo