Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seniman Asia Tenggara Pilihan Guggenheim

Guggenheim Foundation memilih dan membeli karya sejumlah seniman Asia Tenggara dan Selatan. Dari New York, pameran diboyong ke Hong Kong dan kemudian Singapura.

19 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah terangnya cahaya lampu, ranjang tanpa kasur itu terlihat cemerlang. Cahaya yang memantul dari stainless steel memendarkan kemewahan. Ratusan baja nirkarat berbentuk silet cukur dirangkai dengan klip penjepit kertas menyusun ranjang. Love Bed-2012, karya seniman Bangladesh, Tayeba Begum Lipi, bersama karya 15 seniman lain dipilih oleh kurator June Yap untuk dipamerkan di Pusat Seni Kontemporer Block 43 Gillman Barrack, Singapura.

June Yap, kurator yang pernah bekerja di Singapore Art Museum, setelah melalui proses seleksi, ditunjuk oleh Museum Guggenheim, New York—yang mendapat dana dari Union Bank of Switzerland (Bank UBS)—untuk memilih karya-karya seniman Asia Tenggara dan Asia Selatan. Selama dua tahun ia menjalani proses residensi di New York. Bersama-sama dengan tim Guggenheim, ia menyurvei seniman-seniman Asia.

Hasilnya, Yap memilih 19 karya dari 16 seniman 11 negara, seperti Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, untuk disajikan dalam pameran bertajuk "No Country: Contemporary Art for South and Southeast Asia".

Pameran di Gillman Barrack ini menjadi putaran terakhir. Sebelumnya, karya para seniman ini disajikan di Museum Solomon R. Guggenheim, New York, 2013, berlanjut di Asia Society Hong Kong Centre, Oktober 2013-Februari 2014. Pameran di Singapura ini sendiri dimulai sejak 10 Mei sampai 20 Juli mendatang.

Adalah hal menarik melihat karya-karya pilihan June Yap. Karya Tayeba Begum Lipi di atas, misalnya. Silet bukan barang baru bagi Lipi. Silet menjadi semacam "ciri" baginya. Saat berpartisipasi di Venice Biennale, 2011, dia memamerkan belasan bra yang disusun dari stainless steel berbentuk silet. Karya ini bersama karya video kemudian dikirim ke Jakarta untuk mengikuti Jakarta Biennale 2011. Karya lain Lipi, sebuah bak mandi yang diberi judul Never Been Intimate, juga disusun dari material yang sama.

Di karya Love Bed, Lipi ingin merujuk pada kekerasan gender terhadap perempuan di pedesaan Bangladesh. "Para perempuan di pedesaan menggunakan silet ini untuk memotong tali pusar yang menghubungkan anak dan ibunya," ujarnya. "Saya termasuk anak yang dulu dipotong tali pusarnya dengan silet." Kekerasan juga menjadi pilihan kurator June Yap saat memilih Reza Afisina, seniman yang aktif di Ruang Rupa. Karya lawas Reza berupa video yang memperlihatkan dia menampar wajahnya berkali-kali menarik perhatian Yap.

Di video itu, kantong mata Reza lebam. Darah sempat menitik dari kedua matanya. Sembari menampar, dia mengucapkan kata-kata dari Injil Lukas ayat 12:3-11, yang mengingatkan kemunafikan dan menekankan pentingnya pengakuan. Karya yang dibuat pada 2001 itu, menurut Yap, termasuk yang mengawali karya kontemporer Indonesia dengan medium video."Reza termasuk yang pertama menggunakan video ini pada saat itu," ujar Yap kepada Tempo.

Tak banyak orang memikirkan pemukul bisbol sebagai medium berkarya. Seniman Vietnam, Tuan Andrew Nguyen, mengukir kepala pemukul itu dengan relief figur Thich Quang Duc, biarawan Buddha yang dihormati. Thich Quang Duc pada 1963 membakar diri sebagai protes atas represi rezim Diem terhadap komunitas Buddha. Akan halnya trilogi video dari Amar Kanwar, seniman India, memuat perjalanan dan perjuangan anti-kekerasan Mahatma Gandhi pada 1948 serta kekerasan yang menghantui di perbatasan Pakistan dan India.

"No Country" dipilih sebagai judul oleh June Yap merujuk pada baris awal puisi sastrawan Irlandia, William Butler Yeats, Sail­ing to Byzantium (1928). Yap mengatakan konsep kuratorialnya berusaha melihat bagaimana para seniman Asia Tenggara dan Selatan menghadapi ambiguitas sejarahnya.

Semua karya boleh dikatakan karya lawas. Seniman Thailand, Rawanchaikul, menampilkan lukisan besar yang mirip lukisan poster film—dibuat pada 2009 berjudul Place of Rebirth.

Selain Reza Afisina, seniman Indonesia yang dipilih Yap adalah Arin Dwihartanto. Karya Arin yang disajikan adalah lukisan bertema lontaran abu Gunung Merapi.

Adapun seniman Singapura, Tang Da Wu, memamerkan karya yang sangat sederhana: sebuah meja berkaki empat dan sedikit bengkok seperti lutut menekuk serta meja lain lebih kecil dengan posisi yang lebih menekuk. Sedangkan seniman Kamboja, Sopheap Pich, meletakkan jalinan bambu dan rotan yang membentuk seperti cumi-cumi raksasa. Tapi masalah kekerasan sedikit-banyak mewarnai karya Asia Tenggara dan Selatan yang telah menjadi permanent collection Museum Guggenheim pilihan June Yap ini.

Dian Yuliastuti (Singapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus