Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan kali nama-Nya telah berganti. Namun makna tak berpindah jauh dari arti yang terangkat. Bualan kekal jatuhkan akal menjadi bebal...
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggalan lirik lagu berjudul Tatap ini membuka proses pembuatan mini album kelompok musik Tashoora di pendopo Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Bantul, Yogyakarta, Selasa sore, 2 Oktober 2018. Enam anggota kelompok musik Tashoora mengawali lagu yang bicara soal fanatisme agama membabi-buta itu dengan berdiri di balik kain hitam transparan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah itu, Tashoora melakukan rekaman lima lagu di studio, yang digarap Anton "Gendel" untuk menghasilkan mini album dalam bentuk compact disk (CD). Album itu akan segera dirilis dalam waktu dekat. Adapun video rekamannya akan diunggah di YouTube dan Instagram.
Tashoora beranggotakan Dita Permatas (vokal, akordeon, dan keyboard), Danang Joedodarmo (vokal dan gitar akustik), Gusti Arirang (vokal dan bas), Danu Wardhana (violin dan vokal), Sasi Kirono (gitar dan vokal), serta Mahesa Santoso (drum). Kelompok ini dibentuk pada September 2016. Nama grup musik ini berasal dari studio yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul. Tashoora diambil dari nama Jalan Tasura di Maguwo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam nama itu, muncul ikon mata pada dua huruf o. Mata menjadi gambaran yang merekam rasa dan memproyeksikan ke bentuk apa saja. Tashoora menggandeng seniman sekaligus vokalis grup musik indie rock asal Yogyakarta, FSTVLST atau Festivalist, Farid Stevy, untuk membuat visual ikon dan logo Tashoora. Mereka pernah tampil di sejumlah festival, seperti Ngayogjazz 2017, Land of Leisure 2017, Java Jazz 2018, dan Artjog 2018.
Lewat lagu-lagu bernada kritik sosial, Tashora menyuguhkan musik yang bisa diterima kalangan muda. "Situasi sosial pada lagu-lagu kami bersumber dari pemberitaan media massa," kata Danang Joedodarmo. Tashoora, misalnya, menyindir orang-orang yang sibuk melihat sila pertama Pancasila. Tapi tidak memperhatikan sila-sila lainnya yang bicara kemanusiaan, persatuan, peradaban, dan keadilan sosial.
Selain fanatisme agama, mereka menciptakan lagu tentang kebijakan daerah yang rasis. Sindiran terhadap kebijakan diskriminatif itu muncul pada lagu Sabda, antara lain berbunyi: "Hari ini mereka, pasal beralas warna. Angka jadi perkara, esok siapa?" Lagu itu lahir atas keprihatinan Gusti dan Danang soal kebijakan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang menggunakan label pribumi dan non-pribumi. "Se-Indonesia Raya, cuma di kota ini yang ada (label itu)," kata Gusti.
Yogyakarta memiliki aturan diskriminatif tentang kepemilikan tanah. Diskriminasi itu muncul pada surat instruksi yang diteken Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Paku Alam VIII, pada 1975. Aturan itu mengganjal sebagian masyarakat keturunan Tionghoa di Yogyakarta untuk memperoleh sertifikat hak kepemilikan tanah. Surat itu menjadi rujukan kantor-kantor pertanahan Yogyakarta yang mendiskriminasi kalangan keturunan Cina.
Selain Tatap dan Sabda, mereka menyanyikan lagu Nista, Terang, dan Ruang. Danang menjelaskan bahwa tema-tema sosial yang mereka bawakan tak lepas dari pengalaman personal anggotanya. Ingatan Danang, misalnya, melayang pada peristiwa berdarah 1998. Saat itu banyak masyarakat Tionghoa menjadi korban kebencian ras. Danang waktu itu baru berumur 8 tahun. "Kebencian rasial terus digoreng sampai sekarang, misalnya ada kalangan yang tidak setuju dengan pemimpin daerah beretnis Cina," ujar Danang.
Proses pembuatan mini album itu melibatkan Kua Etnika sebagai penyelenggara. Pemimpin Kua Etnika, Djaduk Ferianto, menyebutkan Tashoora lahir dan berproses di Studio Kua Etnika. Padepokan Seni Bagong menggunakan Kua Etnika sebagai satu di antara kelompok penjaga seni lewat musik. Grup musik itu juga punya kedekatan secara personal dengan Kua Etnika, misalnya, Gusti Arirang, yang merupakan anak Djaduk.
Namun musik Tashoora sangat berbeda dengan Kua Etnika yang kental dengan sentuhan musik tradisi. Menurut Djaduk, Tashoora mewakili musik generasi milenial yang mengangkat isu-isu sosial mutakhir. Beda zaman dan generasi dengan Kua Etnika. "Kami yang tua-tua ini juga belajar dari yang muda-muda. Sebaliknya juga begitu, enggak ada batas antara yang tua dan muda," ujar Djaduk.
Dia melihat lagu-lagu Tashoora memotret Indonesia dengan persoalan-persoalan terkini, misalnya fanatisme agama yang menjadi komoditas politik dan rasialisme. Pesan yang Tashora bawakan melalui lirik-liriknya, kata Djaduk, memperhitungkan estetika, bukan sekadar protes jalanan.
Namun, menurut Djaduk, gaya bermusik Tashoora yang membawa isu-isu sosial bukan hal baru. Pada zaman berbeda, muncul pemusik yang juga mengangkat kritik sosial, seperti Iwan Fals dan Soneta. Di zaman sekarang bermunculan kelompok musik serupa, seperti Efek Rumah Kaca, Melancholic Bitch, dan Melbi. "Mereka generasi yang membawa tafsir sesuai dengan zamannya. Musik mereka bicara tanda-tanda zaman." SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo