Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Persaingan Ketat Film Dokumenter di FFI 2024

Under the Moonlight (Nur), film dokumenter transgender, meraih Piala Citra dalam FFI 2024. Apa pertimbangannya?

21 November 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Festival Film Indonesia (FFI) 2024 menganugerahkan Piala Citra untuk Under the Moonlight (Nur) sebagai film dokumenter panjang terbaik.

  • Kerja enam tahun sutradara Tonny Trimarsanto membawa penonton hadir di tengah kehidupan transpuan di Pesantren Waria Al-Fatah, Yogyakarta.

  • Film dokumenter lain yang juga layak mendapat penghargaan adalah The Journey: Angklung Goes to Europe.

FESTIVAL Film Indonesia (FFI) 2024 menunjuk Under the Moonlight (Nur) sebagai film dokumenter panjang terbaik. Sinema karya Tonny Trimarsanto ini mengisahkan kehidupan kaum transgender di sebuah pesantren di Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tonny menuturkan film dokumenter ini dibuat selama enam tahun sejak 2016. Selama periode itu, banyak tokohnya yang keburu berpulang, termasuk Shinta Ratri, pendiri Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, yang wafat akibat serangan jantung pada Rabu pagi, 1 Februari 2023. "Karena proses penggarapan yang terlalu lama," kata Tonny setelah menerima Piala Citra di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, Banten, Rabu, 20 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Under The Moonlight merupakan karya kelima Tonny tentang transpuan. Ia yakin stigma yang mendera kelompok minoritas tersebut tak pernah usai. Maka, ujar dia, Piala Citra yang diterimanya menjadi penting. Sebab, dia melanjutkan, orang-orang jadi mendiskusikan perlunya menghargai orang lain tanpa membedakan latar belakang mereka.

Anggota Dewan Juri Akhir Kategori Film Dokumenter FFI 2024, Wahyu Utami, mengungkapkan bahwa Under the Moonlight meraih Piala Citra karena memiliki narasi yang kuat dibanding empat nomine lainnya. Tonny dinilai mampu menangkap perspektif dan menarasikan suara kelompok minoritas dalam filmnya. Satu di antaranya bahwa transpuan tak berbeda dari orang kebanyakan yang ingin berguna bagi lingkungannya.

Utami mengatakan capaian film dokumenter adalah ketika pembuat bisa dekat dengan karakter protagonis. Situasi itu tergambar dalam Under the Moonlight. "Benar-benar Mas Tonny menjadi bagian teman-teman pesantren waria ini," katanya. "Kita seperti hadir di tengah mereka."

Kedekatan ini, menurut Utami, terjadi karena Tonny menggunakan pendekatan observasional. Kamera selalu mengikuti tokoh demi tokoh sonder wawancara. Walhasil, penonton serasa melihat langsung, bahkan berada di Pesantren Waria Al-Fatah.

Kedekatan Tonny dengan komunitas tersebut, Utami menambahkan, menjadi nilai lebih di mata juri. "Tidak semua orang bisa masuk komunitas itu, apalagi merekamnya," kata pembuat film dokumenter dan pengajar film tersebut.

Cuplikan film dokumenter panjang Under the Moonlight (Nur). Dok. Rumah Dokumenter

Yuki Aditya, Direktur Arkipel Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, menilai Under the Moonlight layak meraih Piala Citra karena berhasil mengangkat persoalan transpuan. "Itu isu yang penting untuk dibicarakan di medan sinema dokumenter Indonesia," kata pengurus Forum Lenteng itu.

Sejatinya, Yuki tak heran Under the Moonlight tampil menonjol. Sebab, sang sutradara telah lama mendalami isu transgender. Hal itu bisa dilihat dari karya-karya terdahulu Tonny yang mengusung isu serupa, yaitu Renita-Renita yang diputar di puluhan festival film di berbagai negara, Mangga Golek Matang di Pohon, Bulu Mata, dan Someday.

Menurut Yuki, Tonny punya perspektif yang kalem sehingga subyek film mau membuka diri lebih lebar.

Secara keseluruhan, daftar film dokumenter yang masuk nominasi FFI 2024 menggembirakan Amelia Hapsari, produser film. Program Director In-Docs ini mengatakan ada masa ketika kompetisi film dokumenter longgar. Tapi, untuk kali ini, ia cukup senang karena The Journey: Angklung Goes to Europe dan Under the Moonlight masuk nominasi. Sebab, pembuatan kedua film itu membutuhkan waktu ekstra lama, yakni lebih dari empat tahun. 

Orang Indonesia pertama yang menjadi juri Academy Awards tersebut menilai Under The Moonlight pantas dirayakan karena mengangkat kehidupan kaum marginal. Selama ini, Amelia melanjutkan, kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) serta transpuan kerap mengalami diskriminasi terstruktur. Dari keluarga, komunitas, sistem pendidikan, hingga ketenagakerjaan yang tidak memberikan ruang bagi mereka.

Dalam Under The Moonlight, Tonny Trimarsanto menampilkan Pesantren Waria Al-Fatah seperti mata air di tengah gurun. Di tempat inilah kelompok transgender berkumpul dan punya rumah. "Sebelumnya, seringnya, mereka di jalanan," ujar Amelia. Pesantren Al-Fatah juga memaparkan berbagai aktivitas dan layanan bagi transpuan, seperti memasak dan tes HIV. "Pesantren menjadi komunitas yang memanusiakan mereka."

Film dokumenter panjang lain yang menurut Amelia layak mendapat penghargaan adalah The Journey: Angklung Goes to Europe. Sinema ini mengisahkan perjuangan sekelompok pemuda di Jawa Barat dalam mengenalkan angklung di Eropa. Amelia mengungkapkan hasil karya Maulana M. Syuhada ini betul-betul menggambarkan jatuh-bangun 35 anak muda yang terus bersemangat mengumandangkan angklung di tengah keterbatasan dana.

Ketika menyaksikan dokumenter berdurasi 75 menit itu, Amelia melihat cerminan bangsa Indonesia yang secara tulus terus berjalan bersama, walau dirintangi banyak halangan. Dia merasa tersentuh saat menyaksikan, pada akhirnya, anak-anak muda itu berhasil menggelar misi budaya di Eropa, dari Polandia, Prancis, Jerman, dan dan Republik Cek.

Dokumenter Ibnu Nurwanto-Sang Kayu tak luput dari perhatian Amelia. Sinema besutan Eriliando Erick ini memperlihatkan minimnya dukungan negara kepada para seniman. "Kita enggak punya infrastruktur yang baik untuk mendukung semua seniman kita bisa berkarya," kata Amelia.

Dengan keterbatasan itu, film dokumenter yang menyoroti kehidupan pematung kayu bernama Ibnu Nurwanto tersebut memperlihatkan visi seorang seniman dalam berkarya. Dari pikiran hingga menuangkan idenya menjadi karya serta tantangan yang dihadapi.

Namun Amelia menyayangkan adanya lubang dalam film ini, yaitu kemunculan gadis kecil yang menjadi penerang ketika Ibnu Nurwanto mengalami masa-masa sulit. Sampai akhir cerita, tak dijelaskan siapa gadis kecil tersebut. "Itu menjadi pertanyaan ketika menonton Ibnu Nurwanto," ujar Amelia.

Terpejam untuk Melihat, yang diproduksi Antaman Pictures, juga menjadi nomine kategori dokumenter panjang terbaik FFI tahun ini. Amelia mengatakan rumah produksi di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, itu memang konsisten membuat film dokumenter dengan berbagai aneka topik dan menayangkannya di YouTube. Ia juga memuji film dokumenter bertema politik yang dirilis untuk menyambut Pemilu 2024 itu. "Pengambilan gambarnya dan lain sebagainya secara teknis bagus."

Satu hal yang dipersoalkan Amelia soal film dokumenter ini adalah cara bercerita yang belum kuat. Meski film ini mengandung pesan yang cukup bagus, Amelia melihat gambarnya tidak membawa nuansa lain terhadap cerita serta kurang menunjukkan gagasan dan daya gugah.

Amelia menjelaskan, film dokumenter adalah pengolahan kreatif atas kenyataan. Bedanya dengan pemberitaan yang harus membicarakan realitas, film dokumenter bergantung pada visi atau kreativitas dan cara bertutur si pembuat film agar gagasannya lebih bertenaga. 

Menurut Amelia, Terpejam untuk Melihat memiliki terlalu banyak gagasan dan menyajikan fakta-fakta secara tidak terstruktur. "Sebuah film bisa membicarakan sesuatu yang kompleks. Tapi tidak mudah membangun struktur gagasan untuk bisa dinikmati dan membawa dampak pada penonton," katanya.

Sementara itu, film dokumenter Koesroyo: The Last Man Standing dinilai penting oleh Wahyu Utami. Sebab, karya ini berkaitan dengan lembar sejarah musik Indonesia. Sinema yang disutradarai Linda Ochy ini mengisahkan kehidupan dan perjalanan musik Koesroyo Koeswoyo atau dikenal sebagai Yok Koeswoyo. Dia adalah pentolan Koes Plus, grup musik legendaris yang merajai belantika musik Indonesia pada era 1970-an.

Melalui film ini, Linda mengisahkan hal-hal yang jarang diceritakan seputar pemain bas sekaligus penulis lagu Koes Plus tersebut. Ia mengaku penasaran bagaimana Yok Koeswoyo, satu-satunya anggota Koes Plus yang masih hidup, menata hati dan melihat hidup.

Dan Pemenangnya Adalah (3)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus