Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film The Creator menghadirkan kisah perlawanan terhadap robot kecerdasan buatan.
Mengambil cerita dari latar waktu 40 tahun di masa depan, ketika AS menyatakan perang terhadap AI.
Visual yang cukup bagus tidak didukung pengembangan cerita yang menarik.
Di tengah perdebatan ancaman kecerdasan buatan, film bergenre fiksi ilmiah, The Creator, menghadirkan kisah kehidupan manusia dengan robot berteknologi artificial intelligence (AI). Manusia dan robot pintar itu hidup berdampingan. Sinema yang mulai tayang perdana pada 29 September lalu ini menyoroti perang antara manusia yang ingin menumpas robot kecerdasan buatan dan manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara beberapa film, seperti Terminator, mengisahkan robot sebagai tokoh yang ingin melawan manusia, The Creator justru menempatkan para robot sebagai protagonis yang bertahan menghadapi serangan. “Ceritanya unik karena mereka hidup berdampingan dan punya budaya seperti manusia,” kata Aditya Yoga, salah seorang penonton, setelah menyaksikan film tersebut di Cinema XXI Blok M Square, Jakarta Selatan, Jumat, 29 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Creator mengambil cerita dari latar waktu 40 tahun di masa depan. Waktu itu Amerika Serikat menyatakan perang terhadap kecerdasan buatan. Simulant—manusia yang dibuat dari robot AI—menjadi musuh yang diburu. Pemerintah Amerika Serikat kemudian memberi wewenang Nomad, sebuah stasiun luar angkasa, untuk melacak dan menghancurkan para simulant di seluruh dunia.
Di bagian lain, kelompok negara bernama New Asia menyimpan para simulant karena mereka tidak menganggap AI sebagai ancaman. Para manusia dan robot disini justru terus mengembangkan robot-robot buatan, salah satunya Alfie, simulant berwujud anak kecil yang paling diburu tentara Amerika. Robot anak dengan karakter polos tersebut dikejar karena kekuatannya yang besar dan mampu mengendalikan semua elemen teknologi. Film ini seakan-akan mengajak penonton belajar untuk mencintai AI dan berhenti mengkhawatirkannya.
Film The Creator. Dok. 20th Century Studio
Dalam wawancara dengan Movie Web, sutradara sekaligus penulis naskah, Gareth Edwards, menyatakan menulis ini sekaligus ingin memaparkan bahwa AI tidak akan berontak di masa depan, meskipun manusia secara teknis memanfaatkan mereka.
Sutradara yang juga menggarap Godzilla (2014) dan Rogue One: A Star Wars Story (2016) ini mengatakan, empat tahun setelah menulis draf pertama, ia yakin film ini memiliki makna yang sama sekali baru. Ia mendapat inspirasi dari perkembangan AI saat ini, seperti Chat GPT, yang membuat pengguna merasa sangat meyakinkan ketika berbicara dengan perangkat tersebut. “Benar-benar terasa seperti hidup. Ini pertanyaan-pertanyaan filosofis yang selalu ada dalam fiksi ilmiah,” ujarnya.
Selain cerita yang unik, efek visual dan adegan pertarungan yang memukau menjadi daya tarik film ini. “Bahkan visualnya lebih bagus dari film robot lainnya, seperti Transformer,” ujar Aditya. Detail yang tampak seperti nyata tergambar lewat robot AI berwajah manusia tanpa telinga yang memiliki ekspresi. Selain bantuan efek computer-generated imagery (CGI) yang terlihat dikerjakan dengan sangat baik, akting para aktor pemeran robot membuat kesan teknologi canggih semakin hidup dalam film ini.
Seperti tokoh Harun yang diperankan aktor terkenal asal Jepang, Ken Watanabe. Sebagai salah seorang pemimpin, Harun bergerak luwes layaknya manusia, tapi dapat berperan kaku seperti robot lainnya ketika dalam mode dimatikan atau tertembak.
John David Washington dalam film The Creator. Dok. 20th Century Studios
Kemunculan Alfie, sosok robot anak kecil, juga sukses menarik perhatian dengan desain setengah kepala manusia dan bagian belakang mesin. Tampilan pesawat canggih milik Nomad hingga adegan pertarungan senapan laser berpadu dengan audio tembakan dan pengeboman, membuat film ini semakin memukau. Adegan seperti meledaknya para robot yang bergerak dengan tubuh setengah hancur terlihat sangat nyata.
Gareth Edwards sebelumnya melihat banyak desain produk Nintendo dan Sony serta menggunakan ide-ide dari produk tersebut sebagai detail pada semua mekanisme, seperti kepala robot. “Apa pun yang kami lakukan, saya ingin agar tidak terasa seperti prostetik riasan."
Sayangnya, tema yang diangkat serta visual yang cukup bagus tidak didukung oleh pengembangan cerita yang menarik. Alur maju-mundur yang dibuat tidak dapat memberikan cerita yang padat dan utuh, seperti tentang asal-usul para robot, atau bagaimana Alfie mendapat kekuatannya.
Selain itu, Asia Baru tidak didefinisikan secara spesifik. Komposisi dari kota masa depan yang hidup berdampingan dengan AI kurang digambarkan maksimal dalam cerita. Kota yang penuh teknologi dan robot canggih ini justru terkesan minim perlawanan terhadap Amerika. Banyak robot yang kemudian dengan mudah dibantai. Visual dalam film ini sangat menggambarkan bagaimana kiamat sementara robot-robot AI akibat serangan tentara Amerika.
Film The Creator. Dok. 20th Century Studio
Fernandi Kusuma, salah seorang penonton, mengatakan cerita film ini sangat menarik di awal. Tapi, di bagian tengah hingga akhir film, terasa datar. “Penjelasannya kurang lengkap, seperti tokoh Maya yang merupakan ibu Alfie, yang ternyata pembuat robot."
Meski begitu, film yang disarankan ditonton untuk usia 13 tahun ke atas ini layak menjadi tontonan pilihan, khususnya bagi para penggemar fiksi ilmiah dan cerita robot. Situs web penilai film, IMDb, memberi rating film yang masih tayang di bioskop ini 7,3 dari 10.
ILONA ESTERINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo