Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Elaborasi Trompong Bali

Franki Raden menonjolkan instrumen dari Bali yang dimainkan dengan teknik tinggi.

6 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ayu Prihandari mengambil ancang-ancang memainkan trompong, salah satu gamelan khas Bali. Seniman tari dan karawitan ini memukulnya dengan perlahan pada beberapa instrumen itu, beralih dari yang satu ke yang lain. Lalu ia memutar-mutarkan pemukulnya dengan tangan di udara. Perempuan ini pun terlihat menari di tempat dengan pemukul trompongnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat menari itulah, suara rebab Sunda menyelinap dan kembali trompong ditabuh dengan tempo lebih cepat dan kuat. Ayu sesekali bergerak menari dan menabuh lagi bersama orkestra musik tradisional yang dipimpin Franki Raden. Mereka berpentas di Melbourne Recital Centre, Melbourne, Australia, pada 29 September 2011.

Rekaman pementasan World Premier Concert Indonesian National Orchestra ini ditayangkan dalam Lokaswara Online Festival pada Kamis, 4 Juni lalu, di kanal YouTube Caventer Indonesia. Acara ini dirangkai dengan donasi melalui Kitabisa.com untuk meringankan beban para maestro musik tradisional yang terkena dampak pandemi.

Indonesian National Orchestra, yang dibentuk musikus Franki, terdiri atas para maestro musik tradisional Indonesia. Pada 20 Mei lalu, kelompok ini juga tampil di Australia dengan formasi lebih lengkap, yakni 70 musikus dan paduan suara.

Orkestra trompong yang ditayangkan ini adalah salah satu komposisi Franki. Ia menonjolkan solo trompong dari musikus perempuan Bali. Franki menyebutkan penabuh trompong perempuan sudah jarang ada di Pulau Dewata. Menurut dia, trompong dipilih sebagai instrumen solo karena tingkat tuntutan teknisnya sangat tinggi. "Cocok untuk instrumen solo yang diiringi oleh orkestra," ujar Franki.

Selain itu, kata dia, pemain trompong menampilkan unsur gerak yang bagus saat menabuhnya sehingga terlihat sangat spektakuler di panggung. Trompong memimpin sekitar 30 instrumen yang ditampilkan malam itu. Ada jegog, kendang, suling, rebab Sunda, rebana, marawis, sasando, hingga kolintang.

Franki mengaba para musikus tradisional sambil duduk membelakangi Ayu yang asyik memainkan trompongnya. Orkestrasi musik ini tak menampilkan bunyi-bebunyian yang agak datar. Franki juga menampilkan solo instrumen rebab, suling, dan marawis secara bergantian di sela orkestra. Nada-nada dari rebab, suling, dan marawis memberi sentuhan musik yang lebih berwarna.

Sayangnya, petikan sasando yang lembut tertutup oleh bunyi perkusi. Tepukan pada marawis dan trompong terdengar lebih bertenaga menjelang akhir komposisi, seperti memberi tekanan penutup komposisi. Para penonton di gedung itu terlihat memberikan tepuk tangan meriah sambil berdiri (standing ovation).

Dalam memainkan musik tradisional, biasanya tak ada partitur formal serta kerap dimainkan berdasarkan ingatan atau catatan. Namun, dalam orkestra ini, Franki tetap membuat struktur dan komposisinya. "Saya tetap membuat scoring dan para musikus ini mengembangkan kemampuan mereka," Franki menjawab salah satu komentator, kolega musikusnya dari luar negeri.

Ayu Prihandari pun mengakui bahwa dalam membuat komposisi tidak ada notasi dalam memainkan trompong. "Memang tidak ada notasi. Biasanya berdasarkan insting dan dihafal, dikembangkan sendiri," ujarnya. Ia menjelaskan, trompong lazimnya dimainkan dan ditarikan. Di Bali, ada tari kebyar trompong. Biasanya si pemain menari dulu, baru kemudian memainkan trompong.

Selain menampilkan rekaman video pentas di festival itu, Franki membuka diskusi dengan para penanya dan koleganya. Dalam acara yang dipandu pengamat musik Bens Leo ini, Franki juga mengundang beberapa kolega musikus atau para pengamat musik dari beberapa negara. Mereka berdialog tentang komposisi-komposisi Franki dan kekaguman mereka akan kekayaan musik tradisional Indonesia.

Ada yang menanyakan tentang jegog, instrumen dari bambu yang dipasang berdiri, berjajar seperti pipa-pipa yang menghasilkan nada rendah. Ada pula yang bertanya tentang sasando, alat musik khas Nusa Tenggara. Selain itu, ada yang menanyakan bagaimana kerepotan Franki dalam membawakan instrumen-instrumen tersebut ketika harus berpentas di luar negeri.

Franki dan Bens juga berbincang dengan dua musikus Indonesia, Ras Muhamad dan Bismo Kunokini. Ras dan Bismo juga acap berpentas dalam berbagai festival musik di luar negeri. Mereka berbagi pengalaman tentang festival dan bermusik dengan instrumen tradisional. Bismo juga memuji pertunjukan Franki. "Mereka bermain seperti sekenanya. Tapi saya tahu menyiapkan orkestra itu enggak main-main."

Di pengujung acara, Bismo dan Ras, yang kini tinggal di Bali, berduet menyuguhkan sebuah lagu berjudul Leluhur. Tembang itu pernah ditampilkan di Kosta Rika dan mendapat sambutan sangat meriah. "Meski mereka tidak mengetahui arti lirik lagunya, penonton sangat menyukainya," ujar Ras.

Bismo memulainya dengan meniup sebuah instrumen dengan nada konstan. Adapun Ras memetik gitar dan menyanyi. Mereka lalu bernyanyi bersama. Di sela menyanyi, Bismo juga meniup saluang sebentar dan bernyanyi lagi. 

DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus