Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rambutnya agak keriting, pirang, dan selalu awut-awutan. Namanya Charly Heidenreich dan selalu tertawa. Usianya tak lagi muda, 55 tahun. Namun ia energetik bukan kepalang. Demi progressive rock, ia terlihat tak pernah tidur.
Ia menjemput Discus di Basel larut malam. Jam menunjukkan pukul dua pagi waktu setempat, setelah pertunjukan Discus di Z 7, Pratteln.
”Jangan lupa paspor,” tangannya lalu bergerak-gerik jenaka memeragakan agar paspor diselipkan di saku—supaya mudah diperlihatkan ke polisi di perbatasan.
Pukul tiga pagi, Discus meninggalkan Basel. Charly mengendarai sebuah Renault tua oranye, bernomor pelat WU GY 246. Di kaca belakangnya tertempel dengan pelester sebuah poster merah: Freak Show in Concert: Discus, Great Contemporary ethno-jazz rock-avant garde from Indonesia. Mobil menyusuri jalan tol yang tiada henti-hentinya. Kanan-kiri tak ada rumah satu pun.
Hampir tak ada anggota Discus yang tahu di mana letak Würzburg. ”Würzburg—mungkin dekat Nurenberg,” bisik Anto Praboe. Ia menerka karena skripsinya dulu di ISI adalah tentang konserto komponis Carl Maria von Weber (1786-1826). Sang komponis memang tinggal di Nurenberg. Tapi seingat Anto, kota itu sering disebut Würzburg.
Perjalanan selama lebih dari tujuh jam. Kabut tampak tebal saat mendekati ”kota asing” itu, menandakan letaknya agak tinggi.
”Selamat datang di Würzburg, ini kota yang indah,” kata Charly. Kota kecil ini terletak di bagian barat daya Jerman, wilayah Bavaria. Segera terlihat kota yang mungkin sebesar Bogor ini adalah ”kota gereja”—dengan katedral berwuwungan lancip maupun kubah. Gedung berarsitek barok dan rococo. Kastil-kastil. Kanal-kanal dan jalan-jalan sepeda. Taman-taman asri berair mancur. Jembatan batu. Kafe-kafe merah bata. Patung-patung santo. ”Banyak bangunan kuno hancur dibom dalam Perang Dunia II,” kata Charly.
Yang mengejutkan, orang pertama yang dipertemukan Charly dengan Discus adalah wali kota Würzburg. Di gedung Town Hall yang diresmikan pada 1397, Marion Schafes, sang wali kota, menyambut sendiri. ”Saya membaca di Internet review tentang musik Discus”. Itu kalimat pertamanya. Mengagetkan. Lalu ibu itu menyulang anggur, sembari bercerita bahwa anggur Würzburg adalah salah satu anggur terbaik di Jerman. ”Kota kami baru saja merayakan ulang tahun ke 1.300, begitu banyak festival,” katanya.
Sang wali kota tampak santai saja dengan penampilan Charly yang lusuh, acak-acakan itu. Jasa Charly untuk kota ini besar. Ia yang membawa kota kecil ini masuk ke peta penggemar progressive rock Eropa. Charly adalah penyelenggara Freak Show Würzburg, yang mampu mendatangkan grup band progressive rock dari penjuru Eropa.
Seluruh hidup orang ini memang tampaknya diserahkan ke progressive rock. Pekerjaan Charly sehari-hari adalah guru squash. Ia lulusan fakultas olahraga Universitas Julius Maximilians, Würzburg. Dengan uang hasil memberikan les squash, dan bantuan sana-sini, ia nekat secara kontinu menyelenggarakan Freak Show.
”Semua awalnya tahun 1988,” Charly mengenang. Kala itu, sebagai kolektor piringan hitam, ia memiliki acara siaran lagu-lagu progressive rock di sebuah radio bernama W1 (Würzburg 1). Maret, 1993, ia lalu membuat acara DJ night, acara dansa-dansi seperti di diskotek tapi dengan lagu-lagu progressive rock. Ia sendiri sebagai disc jockeynya. Acara tiap Senin malam ini dinamakannya Freak Show. Dengan piringan hitam—ia melakuan mix Yes, Collesum, Frank Zappa, dan banyak lainnya.
”Bayangkan, pengunjung bergoyang dengan iringan lagu Gentle Giant yang rumit,” katanya. Di samping menyetel lagu-lagu progressive rock 1970-an, ia juga memutar musik grup progressive rock yang tumbuh tahun 1990-an seperti Spock Beard, Anlagard, Anecdoten—asal Swedia. ”Selama setahun saya pernah memutar khusus lagu-lagu Anecdoten.”
Komunitas progressive rock pun terbentuk di Würzburg. Bahkan pada 1994 Charly bersama teman-temannya berinisiatif mengunjungi Swedia untuk bertemu khusus dengan Anecdoten. Ia mengirim faks, tapi Anecdoten menjawab Charly tak usah ke Swedia, soalnya Anecdoten Juli 1994 bakal manggung di Swiss dan bersedia mampir ke Würzburg. Mereka mau tak dibayar asal dijemput dan diberi akomodasi. Dan ketika Anecdoten berpentas di Würzburg, mereka takjub karena penonton begitu banyak dengan antusiasme tinggi. Itu mengobati kekecewaan mereka lantaran di Swiss penonton hanya sedikit. Setiap tour ke mana saja lalu Anecdoten mempromosikan Würzburg. ”Kalau ke Jerman, kontak Charly.”
Semenjak itulah banyak band yang ingin main di Freak Show. Tahun 1995: Court, band simponi progresif dari Italia, dan Landberk dari Swedia, pentas di Würzburg. Tahun 1996: Flower King. Saat Flower King, grup Swedia terkenal ini, manggung, penonton dari luar Würzburg berdatangan. Di sinilah awalnya Charly bertemu Volkmar Mantei, orang penting Zappanale. Keduanya lalu bersahabat akrab.
”Pertama kali saya ke rumah Charly, saya lihat seluruh isi kamarnya penuh piringan hitam dan CD, sampai melangkah pun sulit,” ujar Volkmar. Dari situlah terjadi hubungan tak langsung antara Freak Show dan Zappanale. Di Jerman festival-festival rock yang ”terhitung” selaian Zappanale adalah Eclipsed Festival di Kota Aschaffenburg dan Burg Herzberg (dikenal sebagai hippie festival). ”Di Burg Herzber, yang tampil bukan hanya grup progressive rock tapi juga psychedelic rock, yang di Jerman disebut Krautrock,” kata Volkmar. Beberapa band yang main di Freak Show kemudian muncul di festival-festival itu.
”Salah satu lompatan besar Freak Show adalah mendatangkan Magma pada 2002,” kata Charly. Magma adalah kelompok progrock dari Prancis. Didirikan oleh Christian Vander pada 1970-an, ia menduduki tempat unik dalam peta musik itu. Vander adalah penggemar science fiction dan spiritualitas ekologi. Lagu-lagu Magma tidak menggunakan bahasa Inggris atau Prancis. Vander menciptakan bahasa tersendiri—yang disebutnya bahasa dari planet yang menjadi rivalitas bumi: Kobaia.
Magma disambut hangat di Prancis. Unsur-unsur musikalnya gabungan antara Carl Off, Bella Bartok, dan free jazz seperti John Coltraine. Pada 1970-an, yang merajai dunia progressive band rata-rata adalah grup dari Inggris seperti King Crimson, Yes, Punk Floyd. ”Magma maka dari itu bagi anak muda Prancis seperti pahlawan nasional Prancis,” kata Charly. Ia pernah menonton tour Magma keliling seluruh Prancis. Magma menurut Charly bisa menyatukan seluruh penggemar musik di Prancis. ”Luar biasa, bahkan anak-anak hip-hop, sampai punk, semuanya menjadi fans Magma.”
Charly ingat ketika Magma bersedia main di Würzburg. Ia gemetar. Separuh uang harus di muka. Ia menalangi dengan tabungannya. Teman-temannya mengatakan grup sebesar Magma bila dijemput harus dengan limousin dan langsung disulang chivas regal. ”Ternyata mereka sangat bersahaja, tak ada chivas regal itu,” kata Charly. Magma di Würzburg main di sebuah gereja, menyanyikan lagu lama mereka, Mekanik Destruktiw Kommandoh yang penuh parade kor dengan bahasa aneh. Di Würzburg terjadi demam Magma. Charly kini menjadi salah satu kontak Magma di Jerman.
”Saya kenal Discus dari situs Ragazzi yang dikelola Volkmar.” Menurut Charly, Discus tak kalah dengan grup musik lain yang pernah tampil di Freak Show sebelumnya. Semula dijadwalkan Discus manggung pada 26 Juni bersama band Present dari Belgia, After Crying dari Hungaria, dan Mahavisnu Project dari Amerika (grup yang terinspirasi John Mclaughin dan Mahavishnu Orchestra). Tapi Discus tak bisa datang. Dan ketika Oktober ini Discus jadi datang, mereka pun menyelenggarakan konsernya.
Di kafe, di toko-toko CD, ia sendiri menempel poster pertunjukan Discus. Sepanjang jalan, bila bertemu teman-teman lamanya, ia terlihat bergairah menerangkan soal Discus. ”Charly…, rock and roll. Terasa di setiap ujung Würzburg ada saja yang mengenalnya. Atas jasa Charly, juga koran lokal setempat, Main Post, memberitakan kedatangan Discus: Aufregendes Musik Gebrau: Band aus Indonesien spielt am Sonntag im Autonomen Kulturzentrum.
Autonomes kulturzentrum atau disingkat AKW adalah kawasan kesenian underground di Würzburg. Aura itu langsung terasa ketika kita melihat dinding-dinding kafenya. Tampak poster segala pertunjukan alternatif di Würzburg tertempel di situ. Dari poster terlihat beberapa waktu lalu di situ digelar pesta underground: 68er Party—The Children of Revolution dan Pulp Fiction Party. ”Dulu Anecdoten pertama kali main di sini,” kata Charly.
Sabtu siang itu, meninjau ruangan yang bakal dijadikan tempat manggung Discus, terlihat pemandangan menggetarkan. Ruang ingar-bingar oleh sampling lagu Queen. Tapi mereka yang menikmati semuanya adalah orang yang mengalami keterbelakangan mental. Seseorang duduk terkulai di kursi roda—menengadah, mata merem, mulut terbuka lebar. Yang lain bergoyang—dengan gerak-gerik dan sorot aneh. Tiap Sabtu, memang AKW khusus memberikan ruang bagi orang terbelakang mental untuk musik rock—sebagai terapi. Sesuatu yang humanis. ”Bahkan DJ-nya adalah juga orang yang mengalami retardasi mental,” kata Charly.
Pukul lima sore, esok harinya, penonton Discus mulai berdatangan. Sekitar seratus orang. Beberapa penonton tampak mengenakan kaus bersimbol Magma. CD Discus produksi Musea dan Mellow yang dijual langsung dibeli. Di pelataran kafe, Charly melompat berdiri di atas bangku, memberikan penjelasan tentang Discus. Terlihat semua penonton memang adalah orang yang mengerti tentang progressive rock dan musik-musik avant garde.
Discus menampilkan Anne, Kartini, System of Manipulation, Contrast, Breathe, dan lain-lain. Ruang jauh lebih kecil dibanding di Basel. Sesak. Namun justru ruangan kecil ini memberikan efek yang lain. Terutama lagu Condissonance. Sebuah komposisi tergolong avant garde yang dimainkan bertiga: Anto Praboe dengan bas klarinet, Iwan Hassan dengan gitar harpa, dan Eko Partitur dengan violin. Dialog antara violin, gitar harpa, klarinet menukik ke kord-kord atonal. Ketiga instrumen seolah berbicara dengan bahasa sendiri-sendiri, saling menimpali nada tinggi, tapi tiba-tiba bercinta hangat. Penonton hening, seperti menikmati orkes kamar kontemporer.
Tepuk tangan membahana setelah itu. Begitu juga gemuruh sorak-sorai ketika sebuah solo violin, Violin Metaphisique, selesai ditampilkan Eko Partitur. ”Saya menggunakan digital delay,” kata Eko. Terdengar suara gema panjang susul-menyusul. Suara seolah bertumpuk-tumpuk. Di tengah-tengah lapisan suara itu, Eko menjentik-jentikkan jemarinya ke senar biola—sebuah variasi teknik pizzicato yang menimbulkan suara seolah cericit burung.
Penonton yang datang dari luar Würzburg ternyata lumayan. Volkmar, misalnya. Ia datang naik kereta api dari Stralsund, yang letaknya 800 kilometer dari Würzburg. Salah satu hadirin penting yang menonton adalah Wolfhard Kutz. ”Sepanjang perjalanan di mobil saya mendengarkan Discus,” katanya.
Ia adalah Presiden Frank Zappa Society. Ia adalah orang yang melahirkan Zappanale, festival besar yang didedikasikan untuk Frank Zappa di Kota Bad Doberan. Frank Zappa komponis jenius yang karya musiknya dikenal lintas batas avant garde—free jazz-rock. Menggabungkan humor, sinisme anarkisme politik dalam musik. Zappa meninggal pada 1993 dalam usia 53 tahun karena kanker.
Semenjak umur 16 tahun Kutz terpukau dengan Zappa. Susah sekali mendapatkan piringan hitam Zappa di Bad Doberan waktu itu. Dulunya Bad Doberan wilayah komunis Jerman. Rock oleh pemerintah komunis dianggap bagian dari dekadensi. Tapi secara sembunyi-sembunyi ia menerima selundupan piringan Zappa di perbatasan. Ia mengkopi lalu mengedarkan secara rahasia kepada teman-temannya di Auto Bahn. Ia menganggap Zappa sebagai musik pembebasan. Simbol demokrasi. ”Ia seorang pemberontak, seorang avant gardist.”
Ia diam-diam membentuk komunitas Frank Zappa. Setelah Tembok Berlin dihancurkan pada 1989, secara terbuka ia memproklamasikan komunitasnya yang bernama Arf Society. Dari seorang petugas polisi rahasia ia akhirnya mengetahui bahwa seluruh kegiatannya menyelundupkan Zappa diawasi aparat komunis—karena dianggap menghancurkan minat kalangan muda sosialis. Nama Arf sendiri diambil dari kata-kata dalam lirik lagu Zappa. Dalam liriknya Zappa sering mengambil imaji anjing. Anjing yang menyalak menyuarakan suara arf…, arf.... Kata arf adalah kebalikan dari f.r.a, inisial Frank Zappa.
Adalah menarik bagaimana Frank Zappa menjadi simbol bagi negara-negara eks komunis di Eropa. Di Chek, tatkala komunis tumbang, Presiden Vaclav Havel mengundang Frank Zappa berkeliling Praha. Di Vilnius, ibu kota Lithuania, bekas wilayah Soviet, para pencinta Zappa pada 1995 menegakkan monumen Zappa karya pematung Chek, Vaclav Cesak. Foto peresmian patung itu menjadi sampul brosur Zappanale ke-13 tahun 2002 di Bad Doberan.
”Tahun 2002 , Juni tahun lalu, maka dari itu patung Zappa juga didirikan di Bad Doberan, mengganti patung Marx dan Engels, ha-ha-ha…,” kata Charly. Berhasilnya didirikan patung perunggu yang dibuat oleh pematung asal Connecticut Michael J. Keropian itu adalah hasil lobi keras Wolfhard dengan pemerintah Bad Doberan. Untuk pembuatan dan perawatan monumen ini, komunitasnya menyumbang 10 ribu euro.
Walhasil, Zappanale tiap tahun makin menjadi magnet. Kelompok dari Meksiko, Amerika Serikat, Swedia, Italia, Prancis, Amerika Latin berdatangan. ”Pemilihannya sangat selektif,” kata Volkmar. Menurut Volkmar secara umum ada tiga golongan band yang tampil di Zappanale. Pertama, band yang membawakan lagu-lagu Frank Zappa—seperti Syeikh Jiboti dari Jerman yang mengambil nama dari salah satu album Zappa. Kedua, band yang dianggap memiliki semangat eksperimental atau roh petualangan musikal seperti Zappa. Dan ketiga, alumni musisi anggota band Frank Zappa: Mother Invention.
Semenjak pertama kali diadakan pada 1990, sudah banyak pencinta Zappa di Kota Bad Doberan. Banyak zappologi—ahli Zappa—dari kawasan Eropa Timur datang, berdiskusi, memutar film, sampai tukar-menukar buku, kaset—cendera mata. All about Frank.
”Apakah kami perlu membawakan lagu Frank Zappa?” tanya Iwan Hasan. ”Oh, tidak,” jawab Volkmar. Menurut dia, Discus justru lebih dihargai bila membawakan lagu sendiri. Discus sesungguhnya diharapkan main dalam Zappanale 4-5-6 Agustus 2005. Namanya telah dipublikasikan bersama kelompok lain seperti Guru Guru, Grand Wazoo, Dr Dark Psychonautilus, Metropolis Orchestra ,Yahozna Feat. ”Kami sebetulnya head liner,” kata Iwan Hasan. Karena kekurangan biaya, Discus tak berangkat. Namun kesempatan belum tertutup.
Würzburg, kota kecil itu, tiba-tiba menjadi seperti anak pintu. Suatu kali Mozart pernah memuji-muji keindahan Würzburg dalam sebuah surat untuk Constanze, istrinya. Penyair Heinrich von Klist pernah bermadah, Würzburg—karena cantiknya—kota itu selalu jelas terlihat dari takhta Tuhan di surga. Di Würzburg, lonceng gereja berdentang tak henti-hentinya. Membuka banyak kemungkinan. Juga bagi Discus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo