Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hari depan tembikar

Bermacam hasil keramik kelompok kanatali dipamerkan di ruang pameran tim. dari segi teknis barang keramik itu masih kasar, tapi menurut anggota kanali, fahmy, justru di situlah seninya. (sr)

15 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG Pameran TIM (27 April s/d 2 Mei) menampilkan buah tangan tukang tembikar yang berlindung di balik nama "Kanatali" -- Karya Nasional Tanah Liat. Disponsori oleh harian Kompas, pameran ini tidak saja menarik minat banyak orang, akan tetapi berhasil juga menjual lebih dari 50O barang-barangnya yang bergerak dengan harga Rp 1.000--Rp 60.000. Karangan-karangan bunga yang banyak terlihat sejak hari pembukaan, tentu saja tidak hanya ditujukan pada Mochtar Lubis serta Dr. Tan, Ny. Tedja, Oei Jong Tjioe dan A. Fahmy yang menjadi orang tua Kanatali. Tetapi rupanya juga pada kehidupan dunia tembikar yang mulai tumbuh ini. Tak syak lagi, dunia tembikar tidak usah khawatir terhadap masyarakat penunjangnya. Meskipun tentulah masih cukup jauh masa kejayaan tembikar, sebagaimana yang tergambar dalam puisi-puisi Tiongkok atau Persia. Bermacam-macam keramik tampak dalam ruang pameran, yang juga dikasih bumbu demonstrasi bagaimana vas. tempat lilin, mangkok, cangkir, piring dan sebagainya itu dikerjakan. Dengan warna-warna yang masih sederhana -- kadangkala belum benar-benar terselesaikan -- pameran ini memang dengan jujur tidak berusaha untuk menutupi beberapa kelemahannya dalam segi teknis. Fahmy itu pemilik diskotik Tanamur. yang dengan setianya menunggui pameran, tak segan-segan mengatakan banwa ke-8 tukang tembikar yang bekerja dalam sanggar Kanatali yang bercokol di Bukit Duri, masih dalam taraf mendalami kemungkinan-kemungkinan dari keramik. Usaha yang didirikan sejak 1974 dengan modal urunan dari ke-5 pendirinya itu, memang sudah mencapai sekitar Rp 5 juta. "Tapi sampai sekarang semua kita kerjakan dengan seadanya saja", ujar Fahmy. Jalan Raya Keramik Dengan bahan tanah yang didatangkan dari Parung, Jawa Tengah dan Belitung, Kanatali sebenarnya sudah tidak kekurangan permintaan. Misalnya sebuah hotel besar di Jakarta tak segan-segan minta dibikinkan asbak sejumlah 10.000 yang dengan terpaksa tidak bisa diladeni karena tidak ada kemampuan untuk berproduksi sebanyak itu. Fahmy mengaku Kanatali untuk sementara menghindari produksi masal karena konsekwensinya amat berat, terutama karena dituntut barang-barang yang secara teknis ada keseragaman. Sementara di Kanatali orang-orangnya lagi senang mengadakan percobaan-percobaan, sehingga kadangkala faktor keunikan lebih menentukan daripada kemulusan. "Lihat", katanya menunjuk beberapa vas bunga yang tidak rata warnanya, "justru banyak barang-barang yang tampaknya belum jadi dibeli orang". "Industri keramik esensiil sekali bagi Indonesia", ujar Fahmy seterusnya. Alasannya: serba gunanya keramik sebagai alat-alat rumah tangga dan sebagai sarana penopang industri berat. Ia sampai-sampai menerangkan bahwa untuk mengecor baja misalnya diperlukan alat pengecor dari keramik, karena ketahanannya terhadap panas. Juga disebut-sebutnya beberapa benda dalam pesawat antariksa "Apollo" yang diperlukan dibuat dari keramik. Dan dari keramik juga dibuat orang sebuah jalan raya eksperimen di Jerman Barat sehingga warnanya memutih bagaikan cacing. "Reul-reul saluran air. sekering lampu, bahkan tanda-tanda zebra cross seyogyanya dicoba dengan keramik karena dia akan lebih tahan", kata Fahmy. Ini boleh saja dianggap sebagai sebuah propaganda. Lelaki kurus yang banyak juga bermimpi tentang kehidupan kesenian yang bertambah getol di masa datang ini, yakin pula bahwa para seniman senirupa pasti akan tertarik pada dunia tembikar. Disebutnya GM Sudharta itu kartonis lucu di Kompas, pernah berusaha membuat karikatur Adam Malik di atas piring yang dipamerkan pada penampilan Kanatali yang pertama kali di museum Fatahilah tahun lalu. "Puisi dalam piring, apa ini tidak akan menarik?" tanyanya dengan tersenyum. Apa yang tampak dalam ruang pameran, memang belum membuat kita repot mengeluarkan kata-kata pujian. Akan tetapi kesederhanaannya dan iktikadnya untuk menyatakan bahwa kehidupan tembikar di Jakarta sudah ada - sebagaimana diakui oleh Fahmy sendiri - membuat pameran ini jadi menarik. Harga-harga yang dicantumkan tidaklah membuat dunia tembikar menjadi milik kaum berduit tok, di samping menarik pula bahwa orang-orang kaya tidak merasa hina untuk nyabet barang-barang yang harganya "melawan" itu. Karena justru faktor tidak "mulus"nya membuat ia masih lebih cenderung sebagai hasil seni ketimbang barang kerajinan dalam sebuah produksi masal. Ini sama sekali tidak untuk mengatakan bahwa hasil seni itu adalah barang-barang yang tidak mulus. "Saya membayangkan hari depan para tukang tembikar bagus, melihat semua bahan baku yang diperlukan ada di Indonesia", kata Fahmy. Ia menunjuk pula sudah adanya Lembaga Penelitian Keramik di Bandung yang sayangnya terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. "Yang diperlukan kini adalah dapur-dapur komunal di desa-desa pembuat keramik -- seperti Plered misalnya -- agar rakyat dapat berproduksi dengan biaya murah -- di samping bimbingan-bimbingan teknis demi kepentingan kwalitas", kata Fahmy. Ia menunjuk barang-barang Kanatali yang baru mencapai maksimal pembakaran 1250 derajat memerlukan sekali pengenalan terhadap karakter tanah serta bahan warna. Sehingga di samping keindahan, hasil-hasil pembakaran tidak hanya merupakan seni surprise -- akan tetapi dapat direncanakan dengan tepat. Artinya bahwa barang-barang tembikar bukan hanya merupakan hasil seni dewa api, tetapi juga buah tangan tukang tembikarnya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus