Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ganja Putih dan Ceri Ungu untuk Kiai

Cerpen Ganja Putih dan Ceri Ungu untuk Kiai karya Benny Arnas.

27 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi cerpen "Ganja Putih dan Ceri Ungu untuk Kiai" oleh: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ganja Putih dan Ceri Ungu untuk Kiai

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benny Arnas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di jalanan Gilgit yang diapit pepohonan foliaj berdaun kuning kejinggaan, takbir hari raya di kejauhan bagai menemani perjalanan dua perempuan berwajah Melayu di atas kuda mereka. Dua puluh meter di belakang, dua puluh lima laki-laki berkuda bagai sengaja menjaga jarak. Seorang perempuan paruh baya dengan gurat wajah tegas dalam balutan kerudung ungu, sepuluh menit lalu, meminta rombongan pengawal memperlambat laju kuda mereka agar ia dan perempuan berusia 30-an tahun yang menunggang kuda dalam posisi sejajar dengannya dapat bicara dengan leluasa. Di mata rombongan itu, mereka adalah dua kesatria putri teladan. Lunas ilmu agamanya, istri yang setia, serta cakap berkuda dan memanah. Meskipun begitu, tak sedikit yang khawatir—atau sebenarnya “menunggu”—perseteruan pecah seakan-akan hal itu merupakan hiburan setimpal bagi perjalanan ke Lembah Hunza dengan medan yang bergelombang.  

 

“Aku pernah mendengar bahwa kau melayani suamimu dengan sangat-sangat telaten,” tanya perempuan berkerudung ungu. “Kabarnya, kerudung putih yang kau kenakan saat ini adalah salah satu mahar pernikahan kalian,” seraya mengendalikan tali kekang, matanya menyapu semak aprikot di kiri-kanan jalan berbatu.

 

“Tidak ada kata ‘sangat-sangat telaten’, Kak,” jawab yang lebih muda. “Aku hanya menunaikan kewajiban,” ia mengelus-elus surai kudanya yang tampak tenang berjalan sejajar dengan kuda di sebelahnya. “Istilah ‘sangat-sangat telaten’ terdengar ‘berlebihan’.”

 

“Sudah lihai sekali istri Kiai bersilat lidah sekarang, ya.”

 

“Sebelum menikah, aku memang lulusan universitas di Jawa, Kak.”

 

“Hei,” perempuan berkerudung ungu mendengus. “Sejak kapan Kiai mengajarimu rasis?”

 

“Tidak, Kak,” sanggah si Kerudung Putih. “Aku cuma...”

 

“Tidak ada cuma-cumaan!” Yang lebih tua, sebagaimana bawaannya yang blak-blakan, tidak suka bermain kata. “Sedari tadi kau sudah berlagak pintar dengan mendebat kata-kata yang kugunakan.”

 

“Kakak boleh tidak bersepakat,” tangan kiri si Kerudung Putih menyeka kening yang mulai berkeringat. “Tapi...” ia menoleh. Diam-diam ia takjub kepada si Kerudung Ungu yang tidak bungkuk saking mahirnya menunggangi kuda. “...membawa-bawa mahar pernikahan dalam ketelatenan mengurus suami itu maksa. Tidak ada hubungannya, Kak.”

 

“Jangan sok tahu!” balas si Kerudung Ungu, “Aku dan suamiku mengalaminya. Perlu kuceritakan kisahnya agar kau paham?”

 

Perempuan berkerudung putih itu mengangguk ragu.

 

“Tidak usah sok polos begitu,” ia membalas tatapan si Kerudung Putih yang barusan mendongak ke arahnya. “Suamimu adalah suamimu. Suamiku adalah suamiku. Siapa tahu, dengan mendengar ceritaku, kau tahu bahwa laki-laki memang tidak ingin ditebak. Mengapa kamu bebal sekali?”

 

“Tapi, Kak...”

 

“Kalau nanti aku membicarakan aib suamimu, debat atau abaikan saja ceritaku. Kita sama-sama wanita. Sama-sama seorang istri, bukan?”

 

Perempuan berkerudung putih itu menunduk.

 

“Kau terlalu banyak menunduk dari tadi. Kudamu beberapa kali hampir keluar jalan. Lagi pula, kau mau menyia-nyiakan pengalaman merayakan Iduladha di tengah perjalanan dan pemandangan indah musim gugur di sini?”

 

Perempuan berkerudung putih itu refleks menoleh.

 

“Puncak Rakaposhi sedang pamer salju. Ingat, beberapa meter dari kediaman Kiai, kau harus memetik ganja. Melupakannya, urusanmu bakal kacau. Suamimu tidak bakal mau makan nasi biryani buatanmu.”

 

“I... i... ya, Kak,” suara si Kerudung Putih nyaris tak terdengar. “Kakak juga jangan lupa memetik ceri nanti.”

 

“Aku tahu,” tukas yang lebih tua. “Kau tak perlu mengingatkan.”

 

Hening. Hanya langkah kaki kuda yang mengisi perjalanan.

 

“Suatu malam di pesantren, aku diminta suamiku mengurusi buka puasa ratusan santri kami karena, entah bagaimana, Marlika si kepala juru masak tidak masuk. Kau saat itu sepertinya masih di Turki, naik balon terbang di Kapadokia atau minum teh di pelataran Aya Sofia. Hebat kalian, ya?”

 

“Kakak jangan melebar ke mana-mana...”

 

“Aku bahkan minta Marlika mengirim putri-putrinya saking khawatirnya aku dengan rasa masakan itu, tapi mereka juga sedang sakit. Apes sekali!”

 

“Tapi, bukannya keempat juru masak lain, yang biasa bekerja dengan Marlika, hafal takaran bahan dan bumbu-bumbu masakan?”

 

“Suamiku minta nasi biryani.”

 

Perempuan berusia 30-an tahun itu terdiam. Pandangannya lurus ke Lembah Nagar yang hijau di kejauhan. Hamparan dandelion membentuk permadani putih di antara gunung-gemunung putih abu-abu di sebaliknya.

 

“Marlika bisa membuatnya. Tapi pas maulidan atau Idulfitri saja. Lidah khadimah-nya yang lain belum bisa menakar rempah dan lain sebagainya. Nah, ini aku pula dimintanya menakar rasa!”

 

“Kakak marah kepada suami atau kepada...”

 

“Ya!” potong si Kerudung Ungu. “Aku marah kepada orang yang telah menyebabkan kekacauan itu.”

 

Dua ekor yak lewat. Kuda kedua perempuan itu meringkik karena terkejut.

 

“Mungkin itu juga karma bagi Marlika sehingga sampai sekarang dia tidak kunjung bisa bekerja karena malu. Sudah izin lebih dari tiga bulan hanya karena flu dan demam, tentu dia berpikir keras mau masuk lagi atau tidak, meskipun suamiku, sebagaimana orang-orang tahu, tidak akan mungkin memecatnya. Syukurlah dia tahu diri!” Dengan cekatan perempuan paruh baya itu mengendalikan kuda sehingga kerepotannya mengendalikan kepala kuda yang sempat bergerak tak keruan arah sedikit pun tidak membuat kalimatnya tersendat-sendat.

 

Berkebalikan dengannya, si Kerudung Putih bersusah payah menormalkan jalan kudanya.

 

“Padahal ini kuda Hunza, bagaimana mungkin bisa takut dengan yak?”

 

“Terkejut saja, Kak,” perempuan yang lebih muda tampaknya sudah bisa mengendalikan kudanya. 

 

“Jangan mengajariku dalam urusan kuda. Suamiku saja belum tentu lebih paham. Dia selalu kalah bertanding pacuan kuda. Tahu kau?”

 

Si Kerudung Putih meneguk liur.

 

“Kau tahu,” lanjut perempuan yang dipanggil Kakak itu begitu mereka memasuki gerbang bertuliskan Old Hunza Inn, “Saking sibuknya mengurusi menu berbuka, aku lupa di mana kerudung putih mahar pernikahan kami itu kuletakkan.”

 

“Kita sudah hampir sampai, Kak.”

 

“Kerudung itu hilang.”

 

“Kurang dari satu kilometer lagi, Kak.”

 

“Sama persis seperti yang kau pakai saat ini.”

 

“Kak?”

 

“Sama-sama asli Pakistan. Bedanya, kerudungku tidak berpayet di salah satu ujungnya sebagaimana punyamu.”

 

“Apakah perlu para pengawal kita minta mendekat, Kak?”

 

“Suamiku marah. Dia menganggapku tidak telaten mengurus pemberiannya.”

 

“Kak, apakah...”

 

“Lalu, ia mulai membanding-bandingkanku dengan...”

 

“Aku akan minta para pengawal untuk...”

 

“Katanya, istri mudanya lebih telaten mengurus semua barang pemberiannya. Katanya, istri mudanya lebih enak masakannya, termasuk nasi biryani kambingnya yang tak pernah anyir. Katanya, istri mudanya lebih pendiam dan tak banyak omong tapi cakap melakukan apa pun. Hebat di dapur. Hebat di ranjang. Hebat di....”

 

Mata perempuan berkerudung putih itu mulai basah. 

 

“Sampai kemudian, entah dapat wahyu dari mana, kiai yang mulia itu mengirim kita ke Gilgit beberapa pekan sebelum Lebaran Haji.”

 

“Ayahnya berdarah Gilgit, Kak,” si Kerudung Putih menguat-nguatkan diri.

 

“Aku tahu.”

 

“Kita juga tidak menyesal dipindahkan ke sini, kan?” Kini air matanya benar-benar tumpah.

 

“Seminggu pertama.”

 

“Hari-hari berikutnya memang berat,” si Kerudung Putih berusaha menenangkan intonasinya, menahan riak perasaannya, meskipun ia tetap gagal menyembunyikan sesenggukannya. “Tapi, kita akhirnya tahu bahwa Ahmadiyah dan beberapa aliran ajaran Islam di sini berbeda dengan yang diam-diam berkembang di Tanah Air.”

 

“Jangan banyak lagak!” si Kerudung Ungu menunjuk-nunjuknya. “Sudah pintar ceramah dan melompat ke mana-mana kau, ya!”

 

Si Kerudung Putih benar-benar menangis.

 

Kuda mereka memelankan langkah.

 

Peka dengan keadaan, puluhan pengawal berkuda di belakang bergerak mendekat.

 

“Aku sudah menahan ini sejak lama tapi sekarang aku muak!” si Kerudung Ungu menuding hingga telunjuknya hanya berjarak satu kilan dari wajah perempuan yang lebih muda. “Mengapa kau mencuri kerudung putihku...”

 

“Aku...”

 

“...lalu membakarnya di belakang pesantren, hah?”

 

“Kak, aku tidak...”

 

“Aku punya banyak saksi. Mereka baru buka suara kemarin. Mereka ada di antara para pengawal kalau kau mau dipermalukan sekarang juga. Kau dengar, ya? Kini mereka tahu bahwa kau bermuka dua belas! Mereka tak rela Kiai—yang dibuang pemimpin zalim itu ke Pakistan ini—malah memilih istri muda yang pandai bersandiwara daripada aku yang mengurusnya lebih dulu.”

 

“Bagaimanapun Kiai sudah mendapat izin Kakak untuk menikah.”

 

Si Kerudung Ungu hendak menumpahkan segalanya ketika kepala pengawal mendekat. “Afwan Ummi Maryam dan Ummi Sukma,” sengaja ia mengeraskan suara karena tak memiliki pilihan lain untuk melerai ketegangan. “Kiai sudah membawa kami terbang ke sini dan menyewa puluhan kuda Hunza untuk kita tunggangi. Afwan jiddan, tanpa bermaksud menggurui, hamba pikir, alangkah baiknya kita menyambut pembebasan Kiai di momen Iduladha ini tanpa keributan.”

 

Si Kerudung Ungu memandang lelaki berjubah dengan kain berlapis-lapis di bahunya itu dengan muka masam. Sementara itu, si Kerudung Putih hanya menunduk.

 

“Kita sudah tiba di Old Hunza Inn. Gerbangnya sudah terbuka,” lapor kepala pengawal dengan pandangan tak lepas dari penginapan yang terletak di kaki Rakaposhi, Lady Finger, dan Everest itu. Saya akan menemani Ummi berdua hingga ke ruangan Kiai. Jangan khawatir,” katanya berusaha menenangkan. “Tak ada siapa pun kecuali Kiai dan para pelayan penginapan. Sebagaimana Ummi berdua ketahui, Kiai menyewa penginapan ini sampai sembilan tahun lamanya agar ia leluasa menulis syair selama masa pembuangannya. Mari...”

 

“Pastikan kami bertarung dengan adil, Kepala Pengawal,” si Kerudung Ungu menunjuk tentengan di tangan Kerudung Putih. “Beras basmati untuk nasi biryani yang dipuja-puji Kiai itu harap kau bereskan.”

 

Pengawal itu meminta maaf kepada si Kerudung Putih sebelum mengambil kantong anyaman di tangannya—yang sedari tadi ia gantungkan di pelana. Mulanya perempuan itu mengancam akan mengadukannya ke Kiai karena itu merupakan bahan makanan favoritnya. “Hamba tidak akan membuangnya, Ummi. Begitu Ummi akan memasak biryani, Hamba akan membawanya ke dapur,” dalih Kepala Pengawal. 

 

Kedua perempuan itu turun dari kuda. Para pengawal di belakangnya juga melakukan hal yang sama. Keduanya memasuki penginapan—yang halamannya dirimbuni semak ceri, aprikot, dan murbei—dengan langkah dianggun-anggunkan dan jantung yang berdebar kencang, seolah-olah kiai terkaya di Tanah Air itu sebentar lagi akan menentukan pilihan. Mereka tidak sadar bahwa telah melupakan permintaan si suami:

  • daun ganja yang akan ditambahkan ke nasi biryaninya untuk makan siang, dan;
  • ceri segar sebagai teman minum-minum cai bakda zuhur nanti.(*)

 

Lubuklinggau, Mei-Juni 202

----------------------

BENNY ARNAS menulis 26 buku. Lebih banyak tentangnya lihat di akun Instagram @bennyarnas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus