KONSER ke-2 Ikatan Pencinta Musik Jakarta (IPMJ) yang disaksikan
oleh sekitar 100 pasang telinga di auditorium LIA, bolehlah.
Gerombolan yang berwarga 27 penyanyi tersebut - sebagian besar
bekas dedengkot bintang radio jenis seriosa - muncul bersama
konduktor F.X. Soetopo dan para solois macam Pranawengrum
Katamsi, F.X. Rusmin, Janto Soedarjanto, Edward Hutapea,
Sutedjo, Margo Yudho Utomo dan Abimanyu. Sementara piano
dimainkan oleh Soenarto Soenardjo S.H.
Hari itu - 24 Pebruari diberondongkan karya-karya komponis
pribumi seperti Kupinta Lagi (C. simanjuntak), Batu Nisan,
Lebur (F.X Soetopo) dan Api Kemerdekaan (Djoko Lelono). Semuanya
berhasil dijinakkan dalam paduan suara yang kompak. Kombinasi 10
soprano, 11 alto dari para wanita yang menyanyi dengan serius,
telah rangkul-merangkul dengan 9 pria yang memiliki suara tenor
serta 7 orang lainnya dengan suara bariton. Sang konduktor pun,
dengan wajah bersungguh-sungguh, dengan mantapnya tegak di trap
dan mampu menempatkan diri sebagai titik pusat penampilan.
Haydn
Malam di LIA itu mencapai tanjakannya tatkala diumbar 2 buah
karya Haydn. In Vollem Glanze Steirget Jatzt dan Die Hemmel
Erzahien die Ehre Gottes. Lagu yang disebut belakangan tampak
begitu banyak menyita konsentrasi dan enerji sang konduktor.
Dengan penopang Pranawengrum (tenor), Hargo Yudho Utomo (tenor),
Abimanyu (bariton), kita mendengar suara-suara lincah
berseliweran dengan trampil dan manis. Dengan kata-kata agak
berlebihan, nomor ini memang menjadi nomor emas dan pantas
dihajar dengan tepuk tangan panjang, dan tidak lupa karangan
bunga sebagai basa-basi. "Belum pernah saya melihat paduan suara
sekompak ini. Bagaimana anda memimpin, sehingga semua mata
anggota kelompok terus menyimak setiap gerak dan ekspresi anda?"
tanya seorang penonton asing menyatakan penghargaan. Soetopo,
seperti kebanyakan orang Jawa, hanya menggosok dahi, lalu
membalas dengan senyum kecil. Ehm.
Orang kelahiran Surabaya itu (26 April 1936), memang sudah sejak
lama dikenal sebagai konduktor dan juga komponis. Sehari-hari
bisa ditemui di Kostrad dengan pangkat mayor atau di Direktorat
Pembinaan Kesenian P & K. Masih tetap tajam sebagai pencipta
sampai sekarang. "Dipakai atau tidak dipakai, meskipun kondisi
penciptaan musik serius lagi lesu, saya tetap menulis
komposisi", ucapnya kepada TEMPO. Dialah orangnya yang telah
menggarap ilustrasi musik untuk film Cintaku Jauh diPulau dan
Takkan Kulepaskan. Banyak lagi komposisinya untuk ansambel orkes
kamar, paduan suara atau suara solo yang menunggu jamahan
seorang penerbit.
Penampilan kali ini, bersama IPMJ, ia anggap sebagai usaha untuk
menggapai penggemar. "Kita ini sebenarnya punya potensi sebagai
kelompok paduan suara", katanya, setelah menyatakan bahwa memang
ada kelesuan dalam jenis musik seriosa. IPMJ yang pada dasarnya
tidak lebih dari perkumpulan arisan, kenyataannya telah menumpuk
banyak bekas dedengkot seriosa. Soetopo sendiri menyatakan
memang sulit menyatukan bekas raja dan ratu seriosa tersebut.
"Dalam teknik vokal mereka sama. Perbedaan hanya dalam soal
warna suara. Ada tipe untuk solo dan tipe untuk kelompok.
Tanggung jawab sesama rekan, berat", kata Soetopo. Ada juga di
antara anggotanya yang belum pernah ikut pergelaran sama sekali.
Toh jalan tetap lancar. Ini mungkin karena penggabungan itu
bukan lantaran permintaan, di samping tidak ada konsekwensi
untuk memberi imbalan. Sifat non komersiil ini barangkali yang
justru membuat mereka profesional dalam kwalitas.
Pranawengrum (juara tahun 64, 65, 66, 68, 74, 75), yang sempat
disamper TEMPO, menyatakan ikut sertanya dalam IPMJ karena
sampai saat ini tidak ada tempat untuk menyalurkan kegiatan
seriosa. "Di paduan suara saya merasa cocok, karena bisa
meningkatkan kemampuan. Misalnya kita harus bersikap menahan
diri, menghargai rekan lain. Saya kira tidak gampang seseorang
yang mulanya solois, bergabung dalam paduan suara", ujarnya.
Ditambahi oleh Soetopo: "Saya ingin beri pengertian, bahwa
paduan suara itu tidak selalu jelek, atau lebih rendah dari
nyanyi solo".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini