Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pertanyaan di atas altar

Pembangunan pasti memerlukan korban. tapi justru yang menjadi korban adalah orang yang lemah. sebaiknya korban dibagi sama rata. zaman kini tak ada lagi yang menentukan siapa yang jadi korban.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL menjaga berlangsungnya perputaran langit dan bumi, mulut Sang Batara Kala masih tetap menganga. Siap Menelan. Dan setiap perputaran adalah gerak yang semakin dekat dengan nganga mulut itu. Kekuasaan Sang Batara mengendalikan manusia serta buatan tangannya dilakukan lewat kekang umur dan tenaga. Suatu kali ia pasti uzur dan aus. Untuk segala sesuatu ada saatnya masing-masing, yang sudah ditetapkan. Itulah sebagian dari hukum alam yang berada di luar kuasa manusia, dan yang sejauh ini belum mampu dikutik-kutik oleh akal budi. Adapun umur tua bagaimanapun akan menyebabkan buruk rupa. Kalau dipaksa-paksa dengan bedak dan gincu, malah akan menimbulkan rasa iba. Toh ketentuan nasib tak akan berubah dengan membakar kemenyan lebih dari dosisnya. Kecuali itu mungkin akan memberi kesan serakah terhadap kesempatan. ULAR DAN DURIAN Biarpun ketentuan untuk mati tak dapat lagi diatur, tapi manusia harus mengatur apa yang mereka harus atur. Dengan demikian persoalan bergeser dari yang tidak mungkin kepada yang mungkin, dari ketentuan-ketentuan yang mutlak kepada kemungkinan-kemungkinan yang tersedia Sebelum yang final di maula waktu tak ada lagi, maka hal-hal yang terjadi masih bisa diatur dan ditarik-ulur dengan para dewa. Ketentuan-ketentuan masih bisa ditawar dan diganti meskipun untuk sementara. Sebab sesudah masuk dalam nganga mulut Sang Kala tak ada lagi sesuatu yang bisa ditawar. Sering dikatakan bahwa kita harus dekat kepada alam agar tidak menjadi tegang dengan ketentuan-ketentuan alamiah. Bahwa proses pergantian antara yang lama dan yang baru harus terjadi secara alamiah. Jangan ada yang "nggege mongso" sebab tindakan semacam itu akan menimbulkan kekacauan yaitu rusaknya harmoni dan aturan yang sudah digariskan oleh Sang Kala. Apalagi pergantian generasi, sedang ular saja kalau kulitnya ngelotok sebelum waktunya tentu akan menimbulkan kesakitan. Demikian juga durian jatuhan akan lebih manis dari durian karbit. Rasa manis si karbit berkurang sebagai "hukuman" kepada mereka yang tak sabar menunggu waktu. Manusia bukan dewa dan dewa bukan manusia. Tapi sering orang kepengin jadi dewa untuk melaksanakan kehendaknya yang mutlak. Manusia menyangka dapat jadi dewa dengan cara memaksakan kehendaknya. Dan inilah yang menyebabkan manusia terpontang-panting di belakang ketentuan-ketentuan yang tak bisa dirubahnya. Namun itu tak berarti bahwa usaha untuk taat kepada kehendak para dewa tidak ada. Meskipun tidak semua usaha memenuhi syarat, tapi hubungan rutin dengan para dewa tetap terjaga. Upacara ibadah tetap berlangsung, korban persembahan tetap pula diberikan dengan rela, para imam dan para wali tetap secara penuh mendengar dengan waspada kepada segala bisikan dewata melalui tanda-tanda jaman yang diberikan. Taruh saja bahwa kehendak dewa selalu baik, dan baiknya pula bersifat mutlak. Namun sayangnya: Dewa memberi buah kehidupan, tapi sampai di muka bumi ia berubah menjadi buah Simalakama. Dewa yang mengurusi pembangunan kota misalnya tentu saja selalu berpikir mengenai suatu ideal kota yang indah, sehat dan lengkap. Itu memerlukan perluasan dan pemugaran di mana-mana. Untuk membangun diperlukan merobohkan yang lama. Penggusuran sudah pula dipikirkan oleh para dewa sebagai ketentuan yang tak bisa dielakkan. Pembangunan kota dengan demihan telah menjadi buah simalakama bagi penduduk negeri. Belum lagi dewa kemajuan yang mengurusi telekomunikasi. Ia sudah menganugerahkan tingkat teknologi yang amat tinggi dengan ketentuan harga yang amat tinggi pula. Satelit Palapa, adakah cara bersama untuk memikirkan cara pembayarannya? Demikian pula Jakarta yang dicobai dengan banjir besar, para dewa menentukan harga 1 milyar dolar Amerika agar banjir dapat diatasi. Sehubungan dengan tuntutan yang mahal-mahal tersebut bagaimana cara bersama untuk memenuhinya? Dengan kata lain, bagaimana kita bersama memikirkan korban-korban yang diminta oleh para dewa? Inilah sebenarnya pokok soal kita. Karena sejak jaman bahari para dewa selalu meminta korban dari pihak manusia justru untuk menyelenggarakan maksud baiknya. Di segenap tempat dan waktu selalu tersedia altar. Di atasnya akan diletakkan korban untuk menyatakan kesediaan pada para dewa memenuhi tuntutan yang diminta. KORBANNYA: SIAPA? Pada jaman dulu ada instalasi yang berkewibawaan untuk menentukan siapa yang harus dikorbankan di atas altar. Dan menjadi korban saat itu adalah suatu kehormatan. Tapi pada saat ini siapa yang punya kewibawaan semacam itu? Siapakah yang akan diangkat menjadi imam untuk menjatuhkan tikaman terhadap korban di atas altar? Siapa yang harus dikorbankan agar pembangunan kota bisa lancar? Siapa pula yang harus menanggung biaya yang ditentukan oleh para dewa untuk memperbaiki sistim pendidikan? Apakah para dewa mengingini korban dari mereka yang lemah dan tak punya pelindung apa-apa? Kehendak para dewa memang harus terjadi. Tapi dalam alaun modern sekarang ini, di mana emansipasi untuk menentukan nasib sendiri semakin disadari, bukankah kita perlu mempersoalkan agar korban bagi para dewa dibagi lebih rata'? Sehingga tak selalu jatuh pada mereka yang justru tak mengerti kehendak para dewa. Yang terlentang di atas altar toh berhak bertanya: kenapa justru dirinya yang harus dikorbankan? Untuk menjawab pertanyaan itu tak seorangpun akan puas dengan jawaban mengenai nasib yang sudah ditentukan. Sebab justru itulah yang sedang dipersoalkan. Entah dengan diam atau dengan sungutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus