Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kecapi kaki lima

Musikus tunanetra yang sering mangkal di jl. braga, bandung, supeno, dirangkul bimbo. karena itu jangan heran bila dalam nomor bimbo, alunan kecapi supeno akan terdengar.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMAIN kecapi itu bernama Supeno. Usianya 29 tahun. Ia juga rancak memainkan harmonika. Operasi tetapnya di Jalan Braga, di jantung kota Bandung. Hampir semua orang di situ kenal musikus yang tunanetra ini. Apalagi belakangan ini Bimbo tak segan-segan merangkulnya. Pada mulanya hanya untul tampil bersama dalam sebuah acara di kampus. Tetapi pertengahan Maret ini segera akan terdengar alun kecapinya dalam nomor-nomor Bimbo terbaru. Barangkali ini semacam taktik dalam perdagangan musik pop. Mungkin semacam sensasi kecil dari Bimbo untuk menggambarkan perhatiannya kepada rakyat yang menderita sepanjang jalan. Tapi Sam, itu Bimbo yang paling tua, sudah berani bilang kepada TEMPO, bahwa anak rangkulannya itu memang benar-benar mampu. "Dia dapat mengikuti kami. Kami sendiri juga menyesuaikan diri dengan kemampuannya. Kami anggap dia seniman musik, bukan pemusik jalanan". Jelas Supeno akan menerima honorarium. Berapa? "Sama dengan honorarium seorang musikus bila main di studio RRI Jakarta", jawab Sam. Ini boleh dianggap sebagai pertanda, bahwa Supeno tidak akan mendadak kaya - karena kita tahu honorarium macam itu memang tidak besar. Supeno sendiri tentunya tidak hegitu peduli. Bisa mencuat saja sudah senang. Apa lagi numpang di atas nama yang sudah beken. Meskipun belakangan nanti, kalau namanya sendiri bisa ikut meluap, soal-soal sepele begini bisa bikin cerita. "Ah penerimaan Bimbo sangat berkesan di hati saya", kata pemain kecapi itu. Ada beberapa buah lagu yang akan memberi kesempatan kepada Supeno: Doa, Aku dan Kampus (Titiek Puspa), Coba Lagi (Sam) dan Di Rantau Orang (Wandi). Kecapi yang dipakai Supeno di jalanan dinilai cukup bagus, sehingga tetap dipercaya masuk ke dalam rekaman. Usai rekaman, Supeno tetap punya kemerdekaan main di pinggir jalan. Atau tampil di panggung dengan siapa saja. "Tapi bila rekaman dia hanya boleh dengan Bimbo saja. Syarat ini sudah disetujui Supeno sendiri", ucap Sam. Pembantu TEMPO di Bandung, Sunarya Hamid, serta-merta menguntit jejak musikus itu untuk mendapat keterangan. Dan inilah kata-kata kecapiwan buta yang beruntung itu: "Karena Bimbo begitu menaruh respek kepada saya, saya akan selalu menepati janji". Mencabut Akar Bimbo, yang sebetulnya sudah pernah mengajak Supeno main di hotel besar, bukan tak memikirkan bagaimana cara mencabut akar Supeno dari kaki lima. "Hanya waktunya belum dapat kami tentukan", kata mereka. Alasannya: "Supeno menerima sebulan dari hasil main di kaki-lima sebanyak Rp 50.000. Ini yang menjadi pikiran". Supeno sendiri bukan tidak suka kalau dicabut. "Saya juga pada suatu saat ingin meninggalkan Braga. Sebab terlalu banyak waktu yang diperas bila terus-terusan berada di sini", ujarnya. Meskipun impiannya itu, bila satu ketika terwujud, tidak akan menyebabkannya sama sekali musnah dari tempat bersejarah tersebut. Satu dua kali ia akan menyempatkan diri kembali nongkrong. "Saya tidak akan menghilangkan jejak saya dulu", katanya kepada TEMPO. Waktu pertama kali dibimbing Sam ke panggung, seniman ini memang merasa minder. Kini ia mengaku sudah mulai tetap hati. Dengan sebuah harmonika murahan yang tertancap dengan tangkai kawat di kecapinya, yang juga bulukan ia adalah seorang pekerja yang keras dan tekun. Di Jalan Braga ia biasa lembur: duduk melipat kaki, menyatukan kerja jasmani dengan suara batin untuk mengumandangkan lagu-lagu melankolik kegemarannya. Sementara main, boleh jadi ia terkenang pada Sumatera Utara - Medan, kota kelahirannya. Teringat lingkungan yang lama, dengan ibu berdarah Jawa dan bapak Sunda yang bekerja sebagai polisi. Dia juga telah berkeluarga dan memiliki tiga anak yang semuanya normal. Suami dan bapak rumah tangga ini, benarbenar potret seorang seniman sederhana yang bertanggung jawab. Ia, yang telah mengarungi Yogya, Bogor, Sala, Jakarta, Sukabumi, bekerja dengan sabar antara pukul 8 pagi sampai pukul 1 tengah hari. Istirahat beberapa lama kemudian main lagi antara pukul 17 sampai pukul 21.00. Dengan sebuah tempat untuk mengumpulkan derma, ia menunggu uluran dari siapa saja. Kadangkala hanya Rp 10, kadangkala bisa sampai Rp 100 dari satu tangan. Rata-rata mencapai Rp 1.500 sampai Rp 2.000 sehari. Selama 6 tahun ia mempergunakan usaha semacam itu untuk menopang hidupnya. Sampai datang waktunya ketika seorang dara tiba-tiba muncul. Namanya Iin, dan ia menawarkan kerjasama untuk main di kampus Unpad. "Saya gembira sekali bertemu dengan lin. Karena saya pengagum lagu-lagu Bimbo", kata Supeno. Memang. Bukankah di depan Tuhan, mereka itu sebenarnya sama saja?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus