PEMAIN kecapi itu bernama Supeno. Usianya 29 tahun. Ia juga
rancak memainkan harmonika. Operasi tetapnya di Jalan Braga, di
jantung kota Bandung. Hampir semua orang di situ kenal musikus
yang tunanetra ini. Apalagi belakangan ini Bimbo tak segan-segan
merangkulnya. Pada mulanya hanya untul tampil bersama dalam
sebuah acara di kampus. Tetapi pertengahan Maret ini segera akan
terdengar alun kecapinya dalam nomor-nomor Bimbo terbaru.
Barangkali ini semacam taktik dalam perdagangan musik pop.
Mungkin semacam sensasi kecil dari Bimbo untuk menggambarkan
perhatiannya kepada rakyat yang menderita sepanjang jalan. Tapi
Sam, itu Bimbo yang paling tua, sudah berani bilang kepada
TEMPO, bahwa anak rangkulannya itu memang benar-benar mampu.
"Dia dapat mengikuti kami. Kami sendiri juga menyesuaikan diri
dengan kemampuannya. Kami anggap dia seniman musik, bukan
pemusik jalanan".
Jelas Supeno akan menerima honorarium. Berapa? "Sama dengan
honorarium seorang musikus bila main di studio RRI Jakarta",
jawab Sam. Ini boleh dianggap sebagai pertanda, bahwa Supeno
tidak akan mendadak kaya - karena kita tahu honorarium macam itu
memang tidak besar. Supeno sendiri tentunya tidak hegitu peduli.
Bisa mencuat saja sudah senang. Apa lagi numpang di atas nama
yang sudah beken. Meskipun belakangan nanti, kalau namanya
sendiri bisa ikut meluap, soal-soal sepele begini bisa bikin
cerita. "Ah penerimaan Bimbo sangat berkesan di hati saya", kata
pemain kecapi itu.
Ada beberapa buah lagu yang akan memberi kesempatan kepada
Supeno: Doa, Aku dan Kampus (Titiek Puspa), Coba Lagi (Sam) dan
Di Rantau Orang (Wandi). Kecapi yang dipakai Supeno di jalanan
dinilai cukup bagus, sehingga tetap dipercaya masuk ke dalam
rekaman. Usai rekaman, Supeno tetap punya kemerdekaan main di
pinggir jalan. Atau tampil di panggung dengan siapa saja. "Tapi
bila rekaman dia hanya boleh dengan Bimbo saja. Syarat ini sudah
disetujui Supeno sendiri", ucap Sam. Pembantu TEMPO di Bandung,
Sunarya Hamid, serta-merta menguntit jejak musikus itu untuk
mendapat keterangan. Dan inilah kata-kata kecapiwan buta yang
beruntung itu: "Karena Bimbo begitu menaruh respek kepada saya,
saya akan selalu menepati janji".
Mencabut Akar
Bimbo, yang sebetulnya sudah pernah mengajak Supeno main di
hotel besar, bukan tak memikirkan bagaimana cara mencabut akar
Supeno dari kaki lima. "Hanya waktunya belum dapat kami
tentukan", kata mereka. Alasannya: "Supeno menerima sebulan dari
hasil main di kaki-lima sebanyak Rp 50.000. Ini yang menjadi
pikiran".
Supeno sendiri bukan tidak suka kalau dicabut. "Saya juga pada
suatu saat ingin meninggalkan Braga. Sebab terlalu banyak waktu
yang diperas bila terus-terusan berada di sini", ujarnya.
Meskipun impiannya itu, bila satu ketika terwujud, tidak akan
menyebabkannya sama sekali musnah dari tempat bersejarah
tersebut. Satu dua kali ia akan menyempatkan diri kembali
nongkrong. "Saya tidak akan menghilangkan jejak saya dulu",
katanya kepada TEMPO.
Waktu pertama kali dibimbing Sam ke panggung, seniman ini memang
merasa minder. Kini ia mengaku sudah mulai tetap hati. Dengan
sebuah harmonika murahan yang tertancap dengan tangkai kawat di
kecapinya, yang juga bulukan ia adalah seorang pekerja yang
keras dan tekun. Di Jalan Braga ia biasa lembur: duduk melipat
kaki, menyatukan kerja jasmani dengan suara batin untuk
mengumandangkan lagu-lagu melankolik kegemarannya.
Sementara main, boleh jadi ia terkenang pada Sumatera Utara -
Medan, kota kelahirannya. Teringat lingkungan yang lama, dengan
ibu berdarah Jawa dan bapak Sunda yang bekerja sebagai polisi.
Dia juga telah berkeluarga dan memiliki tiga anak yang semuanya
normal. Suami dan bapak rumah tangga ini, benarbenar potret
seorang seniman sederhana yang bertanggung jawab. Ia, yang telah
mengarungi Yogya, Bogor, Sala, Jakarta, Sukabumi, bekerja dengan
sabar antara pukul 8 pagi sampai pukul 1 tengah hari. Istirahat
beberapa lama kemudian main lagi antara pukul 17 sampai pukul
21.00.
Dengan sebuah tempat untuk mengumpulkan derma, ia menunggu
uluran dari siapa saja. Kadangkala hanya Rp 10, kadangkala bisa
sampai Rp 100 dari satu tangan. Rata-rata mencapai Rp 1.500
sampai Rp 2.000 sehari. Selama 6 tahun ia mempergunakan usaha
semacam itu untuk menopang hidupnya. Sampai datang waktunya
ketika seorang dara tiba-tiba muncul. Namanya Iin, dan ia
menawarkan kerjasama untuk main di kampus Unpad. "Saya gembira
sekali bertemu dengan lin. Karena saya pengagum lagu-lagu
Bimbo", kata Supeno.
Memang. Bukankah di depan Tuhan, mereka itu sebenarnya sama
saja?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini