Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERU kereta api berlalu. Seorang lelaki datang berjingkat. Langkahnya lalu melebar ke sana ke sini seperti mencari, juga menunggu, sesuatu. Seorang lelaki yang menyusulnya sambil membawa gembolan di punggung bertingkah sama. Kedua orang yang tampak bingung itu lantas membuka daun pintu yang tergeletak di lantai. Berpakaian mirip, dari topi, jas, celana panjang lusuh, sampai sepatu bot usang, itulah Vladimir dan Estragon. Mereka penunggu Godot dalam lakon ciptaan Samuel Barclay Beckett.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teater Payung Hitam mementaskan naskah drama Beckett itu dengan garapan baru. Tanpa kata-kata, gerakan tubuh empat orang pemainnya menjadi bahasa pengantar drama selama 65 menit yang dipentaskan di Gedung Kesenian Dewi Asri, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), Bandung. Pementasan itu bagian dari acara “4th Invitation to the Theatre 2019” yang digelar Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan ISBI. Selain Teater Payung Hitam, dalam acara yang digelar pada 29 dan 30 November 2019 itu, tampil kelompok teater kampus dari Universiti Malaya, yang mementaskan lakon hikayat berjudul Mendu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada keanehan pada judul yang disematkan Rachman Sabur, sutradara sekaligus pendiri Teater Payung Hitam, dalam lakon pementasannya: Godot Menunggu. Bukan Menunggu Godot. “Saya melihatnya Godotlah yang sedang menunggu,” kata Rachman. Namun penggarapan drama itu tetap merujuk pada naskah asli Beckett dengan beberapa cerita baru yang tumbuh bersama gerakan tubuh. Godot tetap hanya sebuah nama tanpa sosok.
Pada babak awal, Vladimir dan Estragon alias Didi dan Gogo (diperankan Muhammad Wail Irsyad dan Dede "Dablo" Permana) menghabiskan waktu dengan bercengkerama. Estragon kerepotan membuka sebelah sepatu bututnya, sementara Vladimir sibuk dengan topinya hingga berusaha berdiri di atas kepala. Di atas mereka terdapat sebatang pohon kering yang tergantung dan tumbuh ke bawah. Ketika suara deru kereta api seketika melintas lagi, mereka kompak bangkit dan bergegas menyambut. Setelah itu, keduanya kembali ke aktivitas semula. Rutinitas menunggu Godot yang membosankan itu pecah oleh suara lecutan. Teriring suara lenguhan serta langkah kaki.
Babak kedua, yang menampilkan Pozzo dan Lucky dengan aktor Mohamad Chandra Irfan dan Christie Maria Magdalena Laloan, mengumbar aneka bentuk penindasan lewat seorang majikan kepada pesuruhnya.
Kali ini, Rachman memaknai Godot atau Godin sebagai God alias Tuhan, meskipun diakuinya, dalam naskah, Beckett tidak secara jelas berbicara soal ketuhanan ataupun menggambarkan siapa Godot. “Itu hanya bisa dirasakan dengan keyakinan (agama) kita,” kata doktor lulusan Penciptaan Teater di Pascasarjana Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, tersebut. Pemikiran itu, menurut Rachman, tumbuh sejak 28 tahun lalu saat mementaskan perdana Godot di Bandung. Kemudian muncul gagasan menggarap lagi dengan bentuk nonverbal dan judul yang berubah. Godot Menunggu adalah pertanyaan tentang keberadaan Tuhan yang dianggap sudah mati. “Saya enggak tahu apakah itu dikatakan antitesis, tapi yang jelas kita punya keyakinan pendekatan religi yang berbeda,” ujarnya.
Pementasan Teater Payung Hitam dengan lakon Godot Menunggu di ISBI Bandung, Jawa Barat, 30 November 2019. TEMPO/Prima Mulia
Selain mengubah judul, Rachman ikut membalik arah beberapa properti panggung yang minimalis. Pohon kering, sebagai penanda waktu yang hidup, digantung dan beberapa kali diturunkan. Ia seolah-olah tumbuh ke bawah. Sebanyak tiga daun pintu pun diatur rebah ke lantai. Akibatnya, para pemain selalu melihat ke bawah tiap kali membuka pintu. Rachman menggunakan pintu itu sebagai simbol suasana di sekitar para penunggu Godot. Semua arah ke bawah itu juga menyiratkan cara berkomunikasi ke Tuhan dan tanah sebagai sumber kehidupan. Dia juga memastikan adanya tarikan nilai dunia Barat dan Timur, juga rasional dan irasional, dalam garapannya kali ini. Dari selentingan nama, mereka beriman bahwa Godot akan datang dan berjuang menunggunya, entah sampai kapan.
Sebelumnya, kelompok teater yang didirikan pada 1982 itu memainkan lakon Menunggu Godot (Waiting for Godot) pada 1991. Vladimir dan Estragon dikemas berpakaian badut. Bersama pemain lain, mereka berdialog dengan kata-kata yang sesuai dengan naskahnya. Kini Rachman total menyajikannya secara nonverbal atau tanpa teks lakon. “Seperti pantomim,” ujar seorang penonton. Salah seorang pemain, Dede Dablo, memang berlatar sebagai pemain pantomim. Namun, kata Rachman, kadar pantomimnya yang melekat itu terus diminta ditipiskan selama latihan berlangsung dalam tiga bulan. Tujuannya agar gerakannya tidak timpang dengan aktor lain. “Ini bukan pantomim, tapi gerak tubuh keseharian, juga ada gerak lain karena emosional atau rasa,” ujarnya.
Menurut Rachman, tantangan lakon berbahasa tubuh dalam kelompok Teater Payung Hitam adalah mengeksplorasi gerakan tubuh secara alami seperti dalam keseharian. Proses itu terlewatkan selama ini sehingga mereka bergerak kembali mengolahnya. Tubuh bagi seorang aktor, kata Rachman, adalah segalanya. Spiritualitas yang ada di dalam tubuh menjadi kekuatan untuk melakukan proses kreatif ketubuhan. “Tubuh bagaikan sebongkah tanah lempung yang diolah, dibanting, ditekuk, diluruskan, dibulatkan, dipatahkan, dan kembali menjadi tubuh yang alami,” ucapnya.
Anwar Siswadi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo