The Contender
Sutradara : Rod Lurie
Pemain : Joan Allen, Jeff Bridges, Gary Oldman, Christian Slater
SKANDAL Monica Lewinsky dan Presiden AS Bill Clinton dua tahun silam telah melahirkan bahan baru membedah gosip seputar Gedung Putih dalam film Hollywood. Rod Lurie, putra kartunis politik kesohor Amerika, Ranan Lurie— meski tak ingin membuat sebuah parodi seperti yang biasa dilakukan sehari-hari oleh ayahnya—termasuk sutradara yang sigap melihat itu. The Contender, film besutannya, menggambarkan intrik-intrik politik di balik isu seks di Gedung Putih sekitar tahun 2010.
Fokus film ini adalah sosok Senator Laine Hanson (Joan Allen). Saat wakil presiden meninggal, Presiden Jackson Evans (Jeff Bridges) ingin memilih Hanson sebagai penggantinya. "Tak ada misogyny dalam politik Amerika," demikian alasan sang Presiden. Sedangkan calon lain yang populer adalah Jack Hathaway (William Petersen), gubernur dari Virginia. Namanya melambung di media karena tindakan beraninya berusaha menyelamatkan seorang gadis yang tenggelam di danau. Meskipun sang gadis tewas, usaha Hathaway untuk menyelam tanpa mempedulikan jiwanya sendiri disanjung publik.
Dalam sistem politik AS, seorang calon presiden atau wakil presiden harus lolos dengar pendapat di depan Kongres. Dalam acara ini, bak dipanggang api, mereka diserbu berbagai pertanyaan. Dan ketua dengar pendapat Hanson adalah Sheldon Runyon (Gary Oldman), tokoh Partai Republik yang berusaha sekuat tenaga menggagalkan pencalonan Hanson karena baginya secara moral senator ini bukan cerminan ibu yang baik. Hanson adalah seorang ateis dan pro-aborsi.
Untuk itu, Runyon berusaha mengorek kehidupan seksual masa lalu Hanson. Runyon membawa seabrek bukti bahwa Hanson terlibat perilaku memalukan saat masih kuliah. Menurut tuduhan itu, Hanson pernah bermabuk-mabukan dalam pesta orgi di sebuah asrama laki-laki. Runyon menyertakan bukti foto-foto adegan orgi itu plus rekaman wawancara dengan saksi, teman perempuan Hanson sekampus, yang bersumpah melihat tubuh Hanson—sang putri gubernur—penuh lumuran sperma.
Sampai pertengahan, film ini mengasyikkan. Kita seolah disodori wilayah abu-abu dalam hidup. Kedua sisi yang mengalami konflik memiliki argumentasi yang kuat. Cercaan pertanyaan Runyon atas kehidupan seksual masa lalu Hanson di sidang adalah bagian paling memikat dan menegangkan dari film ini. Sementara itu, Hanson tetap bungkam. Ia berprinsip itu bukan pertanyaan yang layak. "Jika saya laki-laki, pasti tak akan ada orang menanyakan berapa pasangan seksual saya. Pertanyaan Anda tak relevan," katanya. Bahkan, di depan Presiden, yang menanyakan langsung, dia tetap bersikukuh demikian.
Pujian memang pantas diberikan kepada Joan Allen. Ia memang layak dicalonkan sebagai aktris terbaik, meski akan bersaing ketat dengan Julia Roberts, yang tampaknya bakal menang karena popularitasnya. Penampilan Allen yang tenang dan dingin, yang terkesan cerdas dan anggun, membuat kita yakin bahwa Hanson memang memiliki masa lalu demikian, tapi tampaknya ia tak ingin mencampurkan urusan pribadi dengan politik. Penampilannya kukuh, tapi jauh dari prototip wanita besi seperti Madeleine Albright. Lihatlan bagaimana ia tetap bertahan walaupun pers Amerika melakukan investigasi atas kasus ini dan ia bahkan dituding sebagai pelacur.
Sayang, semua potret dilematik ini berujung penyelesaian yang hitam-putih. Bahkan, akhir film ini sungguh mengecewakan. Lurie mengakhiri ceritanya dengan terkuaknya misteri. Ternyata semua tuduhan seksual itu tak benar. Ternyata semua itu gosip yang dibesar-besarkan di internet (begitu mudahkah para petinggi percaya kepada dokumen internet yang berseliweran setiap detik di udara?). Lalu, datang pula surat-surat pengakuan dari para mahasiswa penghuni asrama laki-laki bahwa malam itu sama sekali tak terjadi apa-apa. Dan perempuan dalam foto adegan itu adalah gadis lain. Ditambah lagi, ternyata Jack Hathaway adalah seorang pembunuh. Dialah yang merencanakan peristiwa gadis yang tenggelam itu sehingga ia bisa pura-pura menolong dan tampil sebagai hero ketika kursi wakil presiden kosong. Alangkah mudahnya penyelesaian hidup ini.
Sekiranya sang sutradara tetap mempertahankan wilayah kelabu kisah itu, niscaya film ini bisa lebih menyumbangkan sesuatu bagi dunia politik. Sebab, sesungguhnya kisah ini mencerminkan realitas yang kapan saja bisa dihadapi di jagat politik Amerika. Tapi formula Hollywood untuk masalah politik pun tak ingin melanggar diktum happy ending. Kritikus film Roger Ebert dari Chicago Times menilai film ini partisan: sengaja menampilkan Partai Demokrat yang liberal dan menyudutkan Partai Republik yang konservatif. Di akhir cerita, sang Presiden, yang diperani Jeff Bridges (nominee aktor pembantu terbaik), dengan gayanya yang rileks dan charming, dalam pidatonya berkhotbah soal demokrasi Amerika. Lengkaplah "ego" Amerika dalam film ini.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini