Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Academy Awards: Gebyar Hollywood, Menyetir Selera Dunia

Tahun ini, panggung penghargaan Academy Awards agak berbeda dan lebih seru. Barat versus Timur, The Gladiator versus Crouching Tiger, Hidden Dragon, akan menyihir seluruh dunia untuk menonton televisi pagi ini. Mampukah sebuah film berbahasa Cina Mandarin—bukan Inggris—menggeser film-film Barat saingannya? Adakah Hollywood cukup toleran menerima "dunia" yang bukan milik mereka?

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI ini, puluhan bintang jatuh dan menggelinding ke atas karpet merah. Gemerlap, bercahaya, dengan payudara tertutup seadanya, mengenakan desain Vera Wang atau tuksedo Georgio Armani, para bintang mengelus karpet merah yang membentang dengan ekor bajunya yang melenggok menuju panggung Shrine Auditorium, Los Angeles, Amerika Serikat. Senin pagi ini, mata kita melalui stasiun RCTI—sementara di AS hari Minggu—akan menyaksikan "pertarungan" sengit antar-sineas, aktris, aktor, dan semua anggota perfilman dunia. Betapapun kita sering memaki seleranya, apa boleh buat, kemudi ada di tangan mereka, Hollywood. Dan Academy Awards atau yang lebih dikenal sebagai Penghargaan Oscar yang ke-73—seperti tahun-tahun sebelumnya—akan mengukuhkan hegemoni Hollywood dalam kancah film dunia. Kemudi selera dunia, salah satunya, ditentukan lewat acara ini. Bagaimana tidak. Miliaran mata pun takjub. Kemewahan dan mimpi yang disajikan Hollywood, wajah-wajah bening dan cemerlang, bagai sebuah magnet raksasa yang bisa mematok mata hampir tak berkedip. Padahal, bila mau jujur, sesungguhnya, selama hampir empat jam, acara ini cuma mempertontonkan pembacaan daftar pemenang, lalu diiringi dengan pidato basa-basi pemenang. Selalu begitu. Namun, bak penganan yang terasa enak sampai gigitan terakhir, sihir acara ini begitu kuat. Academy Awards telah menjelma menjadi sebuah ritus penggemar film yang tidak boleh dilupakan. Semua kritikus film dunia boleh sinis dengan pilihan Hollywood. Semua penggemar film alternatif (Festival Film Cannes, Sundance, dan seterusnya) boleh berpretensi bahwa ini festival hura-hura. Toh, ritus ini tetap menjadi barometer sebuah "pengakuan dunia sinema": jika belum mendapat penghargaan di sini, Anda belum mendapatkan apa-apa. Tak kurang dari Federico Fellini, sutradara kenamaan Italia, saat menerima penghargaan keempat kalinya lewat filmnya The Amarcord pada 1975, berucap, "Dalam mitologi sinema, Oscar adalah penghargaan tertinggi." Tak aneh, penonton Indonesia pun, yang sesungguhnya jauh—dari segi lokasi ataupun sentuhan—ikut-ikutan merasa "memiliki" atau, tepatnya, menikmati acara gebyar ini, meski hanya melalui sebuah siaran langsung stasiun RCTI. Sebagai hiburan, Oscar memang menjadi anugerah yang menyenangkan. Panitia penyelenggara setidaknya setiap tahun kebagian duit US$ 2 juta. Keuntungan serupa direguk jaringan televisi ABC, yang mendapatkan pemasukan yang yummy dari penjualan slot iklan selama pertunjukan, yakni sekitar US$ 10 ribu per detik. Lebih dari itu, mereka bisa menampilkan bintang-bintang tenar tanpa membayar sesen pun. Sedangkan biaya pertunjukan itu jauh lebih murah ketimbang pembuatan sebuah film atau miniseri di sana. Bagi warga film Hollywood, penghargaan ataupun sebatas masuk nominasi bisa mendongkrak ketenaran dan mendatangkan keuntungan materi yang bejibun. Bayaran mereka selanjutnya akan melompat. Sedangkan bagi kalangan industri film, acara ini, selain menjadi ajang kompetisi, juga merupakan ajang promosi produk yang efektif. Apalagi bila film mereka bisa mendapat tempat terhormat, misalnya sebagai film terbaik (best picture). Dalam waktu sepekan saja, pendapatan mereka dari film itu bisa melejit dari US$ 20 juta hingga US$ 50 juta. Film Dances with Wolves, yang meraih penghargaan Film Terbaik Academy Awards pada 1990, adalah salah satu contoh keberhasilan itu. Sepekan setelah kemenangannya, mereka meraup untung sekitar US$ 48 juta. Demikian pula dengan film Driving Miss Daisy, yang beroleh laba sekitar US$ 32 juta. Rezeki nomplok pun bisa diraih film itu sesudah dikemas dalam bentuk video. Keuntungan dari penjualan dan penyewaannya akan berlipat-lipat. Film The Silence of the Lambs karya Jonathan Demme, yang dinobatkan sebagai film terbaik tahun 1991, yang telah diterbitkan dalam bentuk video dan telah ditayangkan di pay TV ketika film itu menang dalam lima kategori Oscar, langsung mendatangkan keuntungan bagi perusahaan yang memproduksinya. Fenomena itu belakangan turut mengubah strategi pemasaran film Hollywood menjadi lebih banyak mengedarkan film pada akhir tahun. Tujuannya adalah agar film itu bisa menancap lebih lama di benak anggota Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS), yang menjadi juri Piala Oscar. Bila itu terjadi, ah… agaknya keuntungan besar seperti sudah di depan mata. Nah, bagaimana di Indonesia? Ini yang menarik. Film Crouching Tiger, Hidden Dragon karya Ang Lee dan The Gladiator karya Ridley Scott sesungguhnya sudah ditayangkan di bioskop Indonesia beberapa waktu lalu. Namun, menjelang pengumuman Academy Awards, pihak importirnya, PT Camilla Internusa Film, merasa perlu memutar ulang film tersebut. Menurut Gulshan dari PT Camilla, saat diputar pertama kali, film itu masih terlalu baru bagi penonton. "Jadi, orang tidak begitu memperhatikan," ujarnya. Ini bukan yang pertama kali. Beberapa tahun silam, pemutaran ulang semacam itu juga dilakukan bagi film Brave Heart, Saving Private Ryan, dan Shakespeare in Love, yang ternyata keluar sebagai pemenang. Hasil dari pemutaran ulang ini? "Lebih sedikit daripada pemutaran pertama," kata Gulshan kepada Purwani Diyah Prabandari dari TEMPO. Sayang, dia tidak menjelaskan angka perbedaannya. Meski begitu, Gulshan pun menegaskan bahwa Piala Oscar juga mempengaruhi penjualan film. Semakin banyak perolehan Piala Oscarnya, lazimnya film itu semakin laku. Dahsyatnya pengaruh Academy Awards itu tentu tidak pernah terbayangkan oleh Louis B. Mayer dan koleganya saat merancang acara ini pertama kalinya pada 1927. Kala itu, acara yang dilangsungkan pada 16 Mei 1928 di Hotel Roosevelt Hollywood ini cuma dihadiri 250 orang yang membeli tiket seharga US$ 10. Hajatan ini memang lebih ditujukan buat kalangan media semata. Sesungguhnya, sejak awal, acara ini sudah menyedot perhatian. Hingga dua tahun berselang, acara ini disiarkan secara langsung oleh radio setempat. Tiga belas tahun berselang, acara ini menclok di layar kaca. Namun, ketika itu, acara ini hampir tidak memiliki gereget. Pengumuman pemenang tidak dibacakan pada saat pesta itu berlangsung, tapi dimuat dalam koran edisi paling akhir, yakni pukul 11 malam. Sejak 1941, tradisi itu berubah. Daftar pemenang disimpan dalam amplop tertutup dan dibacakan pada saat acara dilangsungkan, persis seperti yang terjadi saat ini. Keputusan itu bukan tanpa sebab. Itu pun terjadi karena kecelakaan. Setahun sebelumnya, sebuah harian setempat membocorkan daftar pemenang lebih awal dari biasanya, yakni pada pukul 8 malam. Pada dasawarsa itu juga, acara yang populer ini mendapat nama baru, yakni Oscar. Sebutan ini berasal dari celetukan spontan pegawai AMPAS, Margaret Herrick, yang pada 1934 menyatakan piala bersaput emas setinggi 13 inci itu mirip dengan pamannya yang bernama Oscar. Tapi ada juga versi lain tentang nama Oscar. Versi ini menyebutkan bahwa nama Oscar diberikan kolomnis Hollywood, Sidney Skolsky, dalam kolomnya saat Katharine Hepburn mendapatkan piala ini. Namun, versi pertamalah yang banyak diyakini kebenarannya. Nama kecil ini kemudian dipakai panitia sejak 1939. Penghargaan Oscar memang berbeda dengan festival film di mana pun. Itu bukan hanya karena Academy Awards merupakan festival paling tua, tapi juga lantaran karakterisasi pemenang dan kriterianya berbeda dari festival film internasional lainnya. Sementara Festival Film Cannes, Prancis, lebih menekankan persoalan estetika, dan Festival Film Berlin justru lebih mementingkan nilai sosial-politik dan humanitas sebuah film, Oscar, sesuai dengan latar belakangnya yang dibangun oleh industri film Hollywood, dalam menentukan pemenangnya memiliki kategori lebih "remeh". Soal estetika dan sosial-politik menjadi nomor buncit dari penjurian (lihat: Oscar, Sebuah Sejarah Hiburan oleh Garin Nugroho). Perbedaan yang paling mencolok tentu saja ada pada sistem penjurian Academy Awards. Dalam festival ini, penjurian dilakukan oleh sekumpulan orang, tidak oleh dewan juri yang terdiri atas kalangan kritikus, yang merupakan anggota AMPAS. Namun, dewan juri yang terdiri atas 5.500 orang itu bukanlah orang sembarang comot. Para anggota dewan juri itu merupakan orang yang dianggap mencapai tingkat tertentu untuk bidang seni dan ilmu pengetahuan di bidang perfilman. Berdasarkan keahliannya, mereka digolongkan dalam 13 kategori, di antaranya aktor, aktris, art director, sinematografer, sutradara, editor, penata musik, penata suara, penata efek visual, dan penulis skenario. Tahun ini, bertambah lagi satu cabang, yakni dokumenter. Tiap-tiap anggota cabang itulah yang memilih berdasarkan kategorinya. Misalnya, aktor memilih pemenang kategori aktor terbaik, sutradara hanya berhak memilih sutradara terbaik, dan seterusnya. Untuk kategori film terbaiklah semua anggota diperbolehkan memilih. Pemungutan suara ini dilakukan dalam dua tahap. Pertama, kartu suara disebarkan kepada semua anggota juri. Pada tahap ini, semua anggota memasukkan nominasi pilihannya untuk berbagai kategori, masing-masing memilih lima nominee, berdasarkan peringkat yang mereka sukai. Kartu suara ini dikirim kepada lembaga audit Pricewaterhouse untuk ditabulasikan berdasarkan pilihan tertinggi. Lima peringkat tertinggi itulah yang kemudian dijadikan nominee. Setelah daftar nominasi itu keluar, giliran para perusahaan film untuk melakukan promosi besar-besaran. Mereka mengirimkan sampel kepada setiap anggota juri. Dari sampel video yang dikirimkan itu, para anggota juri menetapkan satu pilihannya untuk setiap kategori. Mereka memberikan kartu suara kepada panitia pusat. Kartu-kartu itu selanjutnya diolah Pricewaterhouse hingga tanggal 20 Maret. Dua hari menjelang pesta besar, kartu suara sekali lagi dihitung dan kemudian diserahkan kepada kepala penghitungan kartu suara, yang akan menghitungnya kembali secara total. Hingga perhelatan besar itu, hanya dua manusia di dunia yang mengetahui hasil pemenangnya sebelum hari Senin ini, yakni Kepala Penghitungan Pierozzi dan Greg Garrison. Maka, dengan sistem penjurian macam begini, tak dapat dielakkan bila aroma dan kentalnya pengaruh Hollywood ikut menentukan keputusan akhir. Apalagi anggota juri merupakan orang film yang pernah bekerja di pabrik film itu. Hal inilah yang menyebabkan beredar keraguan terhadap kenetralan dewan juri itu. Maklum, tahun ini, tanpa terduga, untuk pertama kalinya sebuah film Asia, berjudul Crouching Tiger, Hidden Dragon, tiba-tiba menyeruak masuk sebagai salah satu nominee film terbaik. Film garapan Ang Lee ini merupakan film Asia dengan bahasa Cina Mandarin yang pertama berhasil masuk kategori itu. Sebelumnya, jikapun kategori ini disusupi film asing, itu lebih banyak film Eropa. Selebihnya tentu harus cukup puas dikategorikan sebagai "film asing terbaik", seperti Belle Epoque atau Farewell to My Concubine karya Chen Kaige. Bisakah Hollywood menolerir film berbau "asing" itu menjadi film terbaik tahun ini? Dilihat dari sejarah dan tingkah laku serta tradisi Hollywood, rasanya film ini, seindah dan sedahsyat apa pun (diakui oleh hampir semua media), akan sukar diterima oleh ribuan juri Amerika itu. Setiap tahun, setiap festival ini diselenggarakan, majalah Rolling Stone selalu mencatat keteledoran para juri yang seolah meletakkan beberapa kelompok sebagai bagian marginal: perempuan, gay, dan Afro-Amerika. Kritikus film terkemuka Peter Travers dari Rolling Stone mencatat bagaimana pada 1992, ketika Dances with Wolves meraih penghargaan film terbaik, beberapa film lain yang bersifat alternatif dan lahir dari studio independen bahkan tak ditengok, apalagi dimasukkan ke dalam deretan nominasi, misalnya Do the Right Thing (kisah tentang masyarakat Afro-Amerika) karya Spike Lee dan Blue Velvet karya David Lynch, yang memang menguraikan kisah psikologi suburban Amerika yang tak nyaman. Festival tahun itu juga "melupakan" beberapa karya sutradara perempuan, seperti Prince of Tides karya Barbra Streisand, Europa, Europa karya Agnieszka Holland, Rambling Rose arahan Martha Coolidge, dan An Angel at My Table karya Jane Campion. Belum lagi karya-karya yang personal seperti My Own Private Idaho karya Gus van Sant, dengan penampilan almarhum River Phoenix yang menggetarkan, atau Life is Sweet" karya Mike Leigh, yang mengisahkan keseharian masyarakat suburban Inggris, yang dengan pahit kemudian menjadi karya-karya bagus yang hanya berakhir di pita videotape atau laser-disc untuk para pencinta film fanatik belaka. Apakah Crouching Tiger, Hidden Dragon hanya akan menerima "hiburan" dengan berdiri sebagai nominee belaka dan menyerahkan cahaya panggung bagi Gladiator, yang beraroma sejarah Barat? Mari kita simak kehebatan film terakhir Ang Lee ini. Film ini tidak saja secara artistik tampak menawan, tapi juga secara komersial berhasil melampaui kesuksesan The Gladiator. Di Amerika Serikat, Crouching meraup sukses dengan mengantongi pendapatan sekitar US$ 81 juta, bahkan diperkirakan bakal mencapai US$ 100 juta. Ini sebuah angka fantastis, terlebih bila dibandingkan dengan film asing lain yang meraih Oscar, Life is Beautiful, yang cuma mengumpulkan US$ 58 juta. Sementara itu, film Gladiator jeblok di pasaran AS. Bila dibandingkan dengan film Hollywood lainnya, labanya jauh di bawah Dr. Seuss: How the Grinch Stole Christmas (sekitar US$ 259 juta), M:I-2 (US$ 215 juta), dan Cast Away (US$ 209 juta). Gladiator sendiri memperoleh pendapatan sekitar US$ 186 juta. Itu dari segi komersial. Dari segi estetika, Crouching adalah sebuah ensiklopedia dari segala perfilman. Ang Lee berhasil memadukan emosi dan laga yang anggun sembari mengawinkan pemain dari aneka generasi: Cheng Pei Pei (generasi 1960-an); Chow Yun Fat dan Michele Yeoh, yang melesat bagai meteor pada 1980-an; serta para cahaya baru, Zhang Ziyi dan Chang Chen. Berbagai adegannya, dari yang menyentuh tanpa jatuh menjadi cengeng saat matinya Li Mubai (Chow Yun Fat) tanpa sempat menguraikan rasa cinta kepada Yu Shulien (Michele Yeoh) hingga perseteruan laga di atas pokok-pokok bambu yang mengangguk-angguk dibelai angin, luar biasa dan layak mendapat aplaus untuk sebuah pencapaian artistik yang tinggi. Semestinya, dengan hitung-hitungan gaya Oscar, teorinya, film Ang Lee yang sukses dalam dua bidang itu tentu akan lenggang-kangkung meraih sejumlah Piala Oscar berikut gelar film terbaik. Tapi tunggu dulu. Dalam sejarah Academy Awards, belum pernah satu pun film berbahasa asing bisa menyabet gelar film terbaik. Padahal, film Crouching memenuhi semua persyaratan untuk memenangi Academy Awards, yakni epik yang menghibur, cerita besar, dan para pemain bintang dengan adegan-adegan yang mengesankan pula. Namun, peluangnya untuk memperoleh Oscar masih juga sempit dihadang oleh sempitnya wawasan para pemilih. Mudah diduga penyebabnya. Dalam otak para juri itu, yang dimaksud dengan kisah epik adalah kisah tentang Barat Kuno (masa Romawi), bukan tentang Timur Kuno (dinasti Qing). Siapa yang akan menang? Di antara dua film yang sama-sama mengurai sebuah kisah epik, pilihan akan condong pada kedekatan dan selera para juri itu, yang tak lain jatuh pada The Gladiator—meski, harus diakui, jika para pemilih cukup fair dan terbuka wawasannya, alangkah baiknya jika Crouching terpilih menjadi film terbaik tahun ini. Jika kita berpatokan pada kecenderungan selera para pemilih, film The Gladiator memang punya peluang untuk itu. Ceritanya berkisah tentang heroisme khas Barat, kolosal, dan banyak menghidangkan adegan kekerasan, setidaknya mengingatkan kita pada film Brave Heart, yang sudah meraih gelar film terbaik. Dengan tumpahnya 12 nominee untuk film ini, sedangkan Crouching hanya meraih 10 nominasi, jangan-jangan memang gelagat pemenangnya sudah terasa. Boleh jadi ini mengecewakan. Apalagi, sepanjang sejarah Academy Awards, pihak juri tidak pernah mengeluarkan hasil akhir penghitungan suara secara terbuka. Kita tak pernah tahu hingga kini jumlah selisih suara antara film Saving Private Ryan dan Shakespeare in Love atau, pada 1969, ketika Katharine Hepburn dan Barbra Streisand dinyatakan sebagai pemenang kembar untuk kategori aktris terbaik. Inilah yang menjadi titik lemah Oscar. Faktor penonton atau kritikus film pun tak bisa membuat 5.500 orang juri itu berubah pikiran. Sebut saja peristiwa yang terjadi pada 1978. Malam penyelenggaraan Academy Awards kala itu diwarnai dengan aksi unjuk rasa. Para veteran Perang Vietnam dan aktivis antiperang melakukan demonstrasi di depan Dorothy Chandler Pavilion. Mereka menyatakan film yang beroleh nominasi sebanyak sembilan kategori itu, termasuk kategori aktor terbaik (Robert de Niro) dan aktris terbaik (Merryl Streep), melakukan kesalahan penafsiran tentang realitas Vietnam. Kecaman terhadap film ini benar-benar kuat. Tiga minggu sebelum pemberian Piala Oscar, artikel dalam berbagai media menyebut film itu menyebarkan kebohongan, melakukan pelanggaran kriminal akan kebenaran, dan menyebarkan sejarah yang mengerikan. Menurut mereka, film itu tak lain menggambarkan bahwa bangsa di luar orang Amerika adalah bangsa yang tidak bermoral. Tapi, apa mau dikata, film The Deer Hunter ternyata mampu meraup lima penghargaan, untuk kategori aktor pembantu terbaik (Christopher Walken), sutradara terbaik, tata suara terbaik, penyuntingan terbaik, dan yang paling bergengsi: film terbaik. Film ini mengalahkan Coming Home, yang juga berlatar belakang Perang Vietnam, yang dibintangi Jane Fonda dan John Voight. Kekeliruan tidak berhenti di situ saja. Dewan juri ini dipandang melakukan kekhilafan. Nama besar seperti Alfred Hitchcock, Greta Garbo, Cary Grant, Fred Astaire, Richard Burton, dan bahkan Charlie Chaplin sama sekali tidak pernah memperoleh penghargaan. Padahal, mereka bukanlah orang sembarangan. Alfred Hitchcock, misalnya, adalah legenda film dunia. Mungkin saja karya-karya sineas besar di atas belum sepatutnya diganjar penghargaan. Namun, dalam perkembangan berikutnya, mereka yang gagal itu mendapat penghargaan yang diberikan khusus bagi yang mendedikasikan hidupnya untuk film. Nama penghargaan itu adalah Irving Thalberg Awards. Sesungguhnya, penghargaan ini sekadar semacam permohonan maaf karena telah luput memberikan penghargaan yang layak kepada orang yang dianggap pernah berhasil mencapai sebuah tahap estetika puncak dalam karir filmnya. Maka, Academy Awards, sekalipun kerap meninggalkan kekecewaan, akan tetap besar pesonanya. Disadari atau tidak, hal ini menjadi bukti bahwa Hollywood telah berhasil menjadi kemudi selera dunia. Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus