Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangunan delapan lantai di Jalan M.T. Haryono Kaveling 47-48 , Jakarta Pusat, itu sering disebut sebagai Gedung Film. Di dalamnya ada empat instansi perfilman bernaung. Tapi "nyawa" gedung tersebut sesungguhnya ada di lantai 8.
Di lantai 8 itu terdapat dua ruang; masing-masing berisi sebuah layar lebar dengan dua televisi plasma di kanan-kirinya. Lima meter di hadapan layar diletakkan sebuah meja panjang. Lima kursi diletakkan berjejer di belakangnya.
Dari ruang sederhana itu, moral bangsa dipertaruhkan. Di situlah 45 orang utusan presiden bergiliran bekerja sebagai "polisi moral". Mereka bergantian memelototi ratusan tayangan audio visual: film layar lebar, sinetron, dan iklan, setiap hari sebelum sampai ke layar bioskop atau televisi di rumah-rumah kita.
Mereka menyunting hal-hal yang dinilai terlampau gawat bagi orang Indonesia-semisal adegan sanggama yang panas atau adegan yang memihak kepada komunis. Bila betul-betul parah, mereka boleh menolak izin edarnya.
Empat puluh lima utusan presiden itu dikenal sebagai anggota Lembaga Sensor Film (LSF). Mereka diangkat untuk masa jabatan tiga tahun dan terdiri atas campuran unsur militer, kepolisian, birokrasi pemerintah, dan wakil organisasi agama. Pendeknya, dari tokoh masyarakat dan film, wakil badan intelijen, Markas Besar TNI, wakil Departemen Kehakiman serta Departemen Luar Negeri, wartawan, sampai wakil organisasi agama, seperti Konferensi Wali Gereja Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, dan Majelis Ulama Indonesia. Satu lagi, wakil organisasi-organisasi kemasyarakatan, dari Komite Nasional Pemuda Indonesia sampai Pramuka.
Kini, untuk pertama kalinya-semenjak didirikan 5 Oktober 1945 oleh Sultan Hamengku Buwono IX dengan nama Komisi Pemeriksan Film-eksistensi lembaga itu dipertaruhkan.
Beberapa pekerja film menggugat lembaga tersebut ke Mahkamah Konstitusi, karena kinerja dan komposisi anggotanya dianggap tak relevan dengan kondisi riil industri perfilman. Wewenang dan kinerja LSF yang bertumpu pada 45 anggota itu dianggap tak mampu lagi menjadi fondasi bagi pertumbuhan kreatif industri film di masa mendatang.
LSF adalah warisan sebuah masa lalu yang gemar melakukan segala sesuatu dengan pendekatan keamanan. Jumlah keanggotaannya (45) mencerminkan tahun berdirinya republik ini. Tentu saja ada yang "sakral" di dalamnya.
Mudji Sutrisno, SJ, mantan anggota LSF periode 1995-1998 dan 1999-2002, pernah alpa, melupakan hal ini. Pertama kali diangkat, pastor atau romo ini mempertanyakan efektivitas tim dengan jumlah anggota yang terbatas itu. Tapi seorang senior menjawab, sekaligus menegurnya, "Apa Adik tidak tahu tahun kemerdekaan kita? Ini simbolis."
Sebenarnya bukan soal simbol itu yang membuat LSF-oleh sebagian kalangan film dianggap-perlu dirombak habis. LSF kini bukan hanya menyensor film, melainkan juga iklan dan sinetron di televisi. Dan dibanding periode-periode sebelumnya, produksi film, iklan, dan sinetron kini sudah sedemikian melonjak.
Pada 2008 ini, setidaknya ada 120 film layar lebar nasional dalam antrean panjang, menunggu tayang di bioskop. Itu pun belum termasuk produksi sinetron stasiun televisi nasional dan ratusan iklan komersial. Di daerah-daerah ada lebih dari 200 televisi lokal. Diprediksi lima atau sepuluh tahun mendatang kuantitas produksi film layar lebar, sinetron, ataupun iklan semakin luar biasa.
Agaknya, dengan tim seperti sekarang ini, mustahil bagi LSF menghadapi produksi film, sinetron, dan iklan yang jumlahnya ribuan tiap bulan itu. "Struktur LSF tidak efisien bahkan bisa memperlambat industri." Itulah salah satu kritik Mira Lesmana dan kawan-kawan yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) saat menggugat kinerja LSF di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Mira, LSF tampak kewalahan menghadapi banyaknya produk yang harus disensor. Ia khawatir ada bagian film atau iklan yang tiba-tiba luput dari sensor, padahal bagian itu seharusnya dihilangkan. Apalagi jumlah anggota LSF tinggal 42 orang, tiga orang meninggal. Ia melihat banyak adegan kekerasan anak-anak yang lolos di sinetron televisi. "Itu bukti bahwa LSF justru tak dapat melindungi anak-anak," katanya.
Benarkah kinerja LSF tak sanggup mengantisipasi pertumbuhan industri film dan televisi? Benarkah strukturnya ketinggalan zaman? Marilah kita mengintip bagaimana sehari-hari para anggota LSF bekerja.
LSF periode ini diketuai oleh Titie Said, seorang novelis, dengan Drs Soetjipto, budayawan, sebagai wakil. Anggotanya antara lain mantan bintang film Rae Sita Supit, wartawan dan sutradara film Aklis Suryapati, aktor Anwar Fuady, Profesor Dr Musya Asyarie, mantan birokrat kebudayaan Nunus Supardi, serta beberapa perwira menengah setingkat kolonel.
Tiap hari 45 anggota LSF dibagi-bagi dalam tim kecil. Sensor bisa dilakukan dengan kehadiran lima anggota. Masing-masing anggota tak mengetahui siapa saja rekan satu timnya sebelum sampai ke ruangan sensor. Ia juga tak tahu film atau tayangan apa yang akan ia sunting. Ia baru diberi sebuah amplop tersegel setelah berada di ruangan sensor. Isinya daftar nama empat anggota tim lainnya. Masing-masing akan menerima judul film, video, atau iklan yang akan disunting. Ya, kelimanya akan mengamati tiga film yang berbeda.
Ruangan dilengkapi dengan satu layar lebar untuk film bioskop dan dua pesawat televisi plasma untuk sinetron atau iklan. Seorang operator proyektor mendampingi mereka. Adegan "syur" dicatat timecode-nya dan diserahkan kepada operator untuk dipotong. Anda tentu bertanya tidakkah mereka bingung harus menonton tiga film sekaligus? Rae Sita mengakui hal ini. "Kadang kami matikan satu layar dan pusatkan perhatian pada yang lain," katanya.
Setiap bulan LSF menyensor sampai ribuan film. Laporan rahasia LSF periode Juli 2007 yang diperoleh Tempo, misalnya, menyebut bahwa dalam sebulan itu lembaga tersebut harus menyunting 2.402 film: 22 film komersial 35 milimeter, 2.031rekaman video format VHS, VCD, dan DVD (cerita sinetron dan noncerita), serta 197 film iklan.
Dengan 22 hari kerja (di luar Sabtu dan Minggu) pada bulan itu, bisa diperkirakan bahwa dalam sehari mereka mesti menyelesaikan 109 judul.
Demi mempersingkat waktu, bisakah para anggota mempercepat filmnya? Titie Said membantah. "Ngawur itu. Kalau film 35 mm mana bisa dipercepat. Kan nonton-nya di layar lebar." Meski fisiknya sudah letih, ia harus menonton sampai habis. "Apalagi bila nonton film India, sembilan reel aduh, Gusti Allah, mata harus tetap mendelik. Makanya di situ minum kopi juga," ujarnya.
Bagaimana dengan video? "Ya, kalau itu pasti dipercepat," kata Romo Mudji. Sesuai dengan pengalamannya, anggota-anggota LSF tak menonton film video dari awal hingga akhir. Yang digunakan adalah sistem fast-forward pada alat penyunting mereka. Artinya, setiap adegan dipercepat hanya untuk menyoroti hal seronok, seperti tubuh telanjang atau adegan berciuman.
Dari keterangan itu, tidak mustahil adegan jambak-jambakan antarpembantu atau anak yang membentak orang tua (atau sebaliknya) kerap lolos dan terpampang di layar sinetron kita. Dan inilah yang dikhawatirkan Mira: kualitas sensor tayangan sinetron sering kali terabaikan.
Saat menyensor, para wakil itu berpegang pada panduan "juklak resmi" (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992) yang beberapa poinnya terlihat "usang". Menurut petunjuk pelaksanaan itu, yang "haram" bukan hanya adegan telanjang, melainkan adegan yang dapat mengarahkan simpati penonton pada ajaran komunisme. Yang memberikan kesan anti-Tuhan atau anti-agama dan yang memperlihatkan modus operandi kejahatan terperinci sehingga mudah ditiru.
Ukuran ketelanjangan bukan hanya close-up buah dada, pantat, dan alat vital, baik dengan penutup maupun tanpa penutup. Adegan lesbian, homo, atau yang menampilkan alat kontrasepsi tidak pada tempatnya termasuk diharamkan. Juga adegan melahirkan, baik manusia maupun hewan.
Anggota LSF bukannya tak sadar akan perubahan zaman. Menurut Rae Sita Supit, hal-hal ideologis kini dianggap sudah passe alias lewat. Tapi perilaku ciuman dan ketelanjangan tubuh yang rawan mengundang protes kaum agamis tetap harus paling diawasi.
Yang banyak digunting pada Juli 2007 itu umumnya yang berhubungan dengan seks. Misalnya, adegan ciuman agak lama pada film Ratatouille, film kartun mengenai kehidupan koki, dikurangi. Adegan perempuan bergoyang perut dalam pakaian seronok dalam film India, Hey Baby, yang diimpor Parkit Film, juga disikat habis.
Rae Sita menolak jika dikatakan bahwa LSF kewalahan mengatasi banyaknya film yang masuk. "Manageable-lah," ujarnya. Titie bahkan menyatakan proses penyensoran bisa digenjot sehari sampai enam sesi. Biasanya sehari dua kali. Sesi pagi dimulai pukul 08.30 WIB dan berakhir pada tengah hari. Sesi kedua dimulai sekitar pukul 14.00 hingga selesai. "Mau malam, ayo. Cukup, kok, anggotanya. Kami bisa melakukan tiga siang, tiga malam. Capek tak apa-apa."
Fasilitas sudah tersedia. Penyensoran bisa menggunakan ruangan teater dan ruangan lain. "Sebenarnya ada empat ruangan yang bisa digunakan," katanya. Bahkan, untuk film yang dianggap pelik, seperti Da Vinci Code, menurut Titie, anggota sensor bisa ditambah. "Tidak hanya ditonton lima orang, bisa kami tambah dari anggota pelaksana harian, misalnya dari unsur tentara atau PGRI."
Meski begitu, sepanjang penyelisikan Tempo, kondisi istimewa seperti itu jarang terjadi. Seorang anggota LSF pada periode sekarang mengungkapkan setiap bulan ia mendapat jadwal sensor rata-rata hanya sepuluh kali. Bila jarang datang, ia akan membawa pulang beberapa ratus ribu rupiah belaka. Tapi, bila rajin, ia bisa mengantongi sampai Rp 3 juta sebulan. "Itu sudah besar dibanding zaman saya," kata Mudji Sutrisno.
Ada lagi yang digugat oleh MFI terkait dengan lembaga sensor ini: kurang transparan. Setiap film yang lolos sensor akan mendapat surat tanda lulus sensor. Tapi, untuk mengurusnya, tidak ada prosedur yang jelas. "Tak ada loket, tak ada tempat penerimaan film yang jelas atau di mana mengambilnya," kata Riri Riza.
Silahkan datang ke Gedung Film, niscaya Anda tak akan melihat papan pengumuman, tempat pembayaran, atau antrean seperti halnya fungsi pelayanan publik lainnya. Pada titik ini, LSF bagaikan lembaga tertutup. Tidak ada aturan baku. Padahal, dalam sebulan LSF bisa berhubungan dengan lebih dari 200 perusahaan swasta yang berkecimpung dalam industri perfilman-dari importir film, pemilik bioskop, rumah produksi film/sinetron, sampai agen iklan.
Bila masing-masing perusahaan itu menugasi satu karyawan, setidaknya ada 200 orang yang setiap bulan mondar-mandir di kantor LSF. Bukanlah rahasia lagi, karena tak ada sistem administrasi yang resmi, para pengusaha film mengandalkan "agen penolong" di gedung itu, baik yang berstatus pegawai negeri maupun "agen" luar yang sudah puluhan tahun mondar-mandir.
Walhasil, hubungan memasukkan film lebih melalui koneksi-koneksi yang sangat personal. Perusahaan-perusahaan film besar biasanya punya "staf yang sering mondar-mandir" ke sana (baca: "Kisah Tukang Sulap di Gedung Film"). Akibatnya, perlakuan antara film yang satu dan yang lain bisa berlainan.
Secara tidak langsung Rae Sita membenarkan hal ini. "Kami tak asal gunting, kok. Kami pasti 'halo-halo' kepada yang bikin," ujarnya. Maksudnya, para anggota LSF selalu terbuka kemungkinan berhubungan dengan sutradara, produser, atau pemilik film untuk melakukan negosiasi alias tawar-menawar tentang adegan yang dipotong. "Kami moderat, kok," Soetjipto, Wakil Ketua LSF, menambahkan.
Namun, Mira Lesmana menangkap sesuatu yang tak menyenangkan di balik keluwesan itu. Seorang sineas temannya kecewa berat ketika sensor secara konsisten menghilangkan ungkapan "tai" dalam karyanya. Kekecewaan itu jadi berlipat kali ketika ia mendapati ungkapan yang sama muncul dalam film karya orang lain. Apa boleh buat, di antara "juklak" yang berlaku, subyektivitas alias kurangnya standardisasi di antara para penyensor masih terjadi.
Bentuk format film yang dimasukkan juga kerap berbenturan dengan masalah standardisasi. Idealnya, film bioskop yang dimasukkan berupa master copy dan sejumlah salinannya dalam bentuk pita seluloid 35 mm. Tapi LSF, menurut Riri, menerima bentuk yang sudah ditransfer dalam format video.
"Sering banyak yang memasukkan dalam bentuk video editing," kata Riri. Soal sinetron "kejar tayang" lain lagi. John de Rantau, sutradara film Denias, Senandung di Atas Awan, punya cerita menarik sewaktu menjadi sutradara sinetron. Sinetronnya yang baru selesai diedit oleh krunya menjelang magrib ternyata sudah bisa tayang di televisi pada pukul 19.00.
Artinya, episode yang hanya punya waktu satu jam keluar dari ruang kantornya itu sudah bisa kembali ke tangan produser dengan tanda lulus sensor dan sudah sah dimasukkan ke stasiun televisi. "Lha, kapan mampir ke Gedung Film?" ia bertanya. Atau dengan kata lain, dari mana tanda lulus sensor itu diperoleh?
Rae Sita mengakui sering kali izin diurus belakangan, padahal sinetronnya sudah tayang beberapa hari atau beberapa pekan sebelumnya. "Tapi, kalau ada keluhan dari masyarakat, tak akan kami keluarkan izinnya," katanya.
Kini nasib LSF di tangan Mahkamah Konstitusi. Sembari menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi, Riri dan rekan-rekan menyiapkan model platform pengganti. Ia mengharap perubahan yang menyeluruh terhadap LSF. Jadi perubahan tidak berhenti pada penambahan anggotanya dan ruangan sensor.
Riri dan Mira menyebut satu yang paling penting: lembaga klasifikasi. Anggotanya bukan mayoritas wakil dari Markas Besar TNI atau departemen-departemen, melainkan perwakilan dari orang yang berkecimpung di industri film atau asosiasi-asosiasi profesi perfilman. Anggotanya dipilih melalui fit and proper test.
Lembaga klasifikasi tidak memotong. Ia menetapkan aturan film yang lebih ketat menurut klasifikasi untuk anak-anak, remaja, dan dewasa. "Kalau sebuah film ingin ditonton kalangan remaja, lembaga klasifikasi menetapkan kriterianya. Tapi, kalau mau ditonton terbatas orang dewasa, ya, silahkan saja." Masyarakat Indonesia, menurut Riri dan Mira, telah cukup dewasa untuk memilih. MFI mendambakan orang film bisa melakukan self-regulasi atas dunianya sendiri. Mereka menginginkan campur tangan birokrasi pemerintah atas dunia film seminimal mungkin.
Tentu bagi banyak kalangan, gagasan ini terlalu progresif . Menurut Titie, sebenarnya LSF selama ini juga telah melakukan klasifikasi ."Film Ayat-ayat Cinta sama sekali tidak dipotong. Denias tidak digunting. Masing-masing untuk remaja dan semua umur. Ini kan klasifikasi. Apa namanya kalau bukan klasifikasi?" Adapun ide self-regulasi langsung ditolak oleh Ukus Kuswara, direktur perfilman yang baru. "Nanti film seperti bola liar saja," katanya.
Titie Said pun setuju bahwa LSF harus mengalami restrukturisasi dengan aturan-aturan baru. "Ketika Undang-Undang Perfilman dibuat (UU Nomor 8 Tahun 1992), TV kan hanya satu, yaitu TVRI," katanya.
Dedy Mizwar, yang kini Ketua Badan Pertimbangan Film Nasional, mencoba menjembatani. Ia sepakat bahwa perubahan UU Perfilman mutlak. Ia juga tak anti pada kemungkinan lembaga klasifikasi. "Coba saja bikin draf lembaga klasifikasi dan peratingan," katanya. Tapi semua pelaku industri film, menurut dia, harus duduk bersama. Saling curiga harus ditiadakan. "Ibu Titie Said tidak bersalah. Tugasnya hanya menjalankan undang-undang semampunya."
Kurie Suditomo, Gabriel Wahyu Titiyoga, Yugha Erlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo