WAH, kita menang!" demikian sorak kelompok Tjahaug H@inc di atas panggung. Broken Wings Bird (2001) buatan Mahesa Sufi, Wenang Anindya Data, Kinanti Sekar Sari, Taman Tridiyanti, dan Atrida Hadianti dipilih sebagai film terbaik dalam "Karya Kita Festival Film Pemula 2002", dua pekan lalu.
Mereka bukan pekerja film profesional ataupun lulusan sekolah film. Saat Broken Wings Bird digarap, mereka masih duduk di SLTP 5 Yogyakarta. Karya mereka adalah satu di antara 50 karya anak-anak seusianya yang harus bersaing di hadapan deretan "nama besar" dewan juri—J.B. Kristanto, Nano Riantiarno, George Kamarullah, dan Harry "Dagoe" Soeharyadi.
Lima karya mendapat penghargaan: Bingkisan karya Djenious Skeilai dari SLTP Taruna Bakti Bandung mendapat predikat gagasan yang jelas. Hanya Kacamata yang Tahu Jawabannya karya No Koment dari SLTPN 9 Bandung meraih penghargaan untuk skenario yang mengalir. Kelompok 14oC dari SLTP Hang Tuah 1 Surabaya, dengan film Lipstick, menjadi kelompok yang kompak dalam bekerja sama. Sementara itu, penghargaan untuk eksekusi yang kemampuan mempertajam gagasan jatuh pada Pena, karya kelompok Diablo dari SLTP 18 Makassar. Terakhir, gelar film terbaik pilihan juri, yakni gambar dan suara yang jelas, diraih oleh film Broken Wings Bird milik kelompok Tjahaug H@inc dari SLTP 5 Yogyakarta.
Broken Wings Bird sendiri bertutur tentang Ani, siswi pintar dari keluarga miskin. Ayahnya petani, ibunya berjualan sayur di pasar sambil menjaga adik balita. Seusai sekolah, Ani meng-asuh adik seraya mengantar makan siang untuk ayah di sawah.
Suatu hari, Ani terpilih mewakili sekolah ke lomba ilmu pengetahuan alam (IPA). Bangga, Ani mengabari orang tuanya. "Untuk apa ikut lomba? Ikut lomba tidak membuat perut kenyang," tutur sang ayah, ketus. Saat lomba, Ani tak bisa ikut lantaran menjaga adik. Dalam perjalanan ke pasar, si ibu membalik badan dan pulang. Sang ibu memberi restu kepada anaknya untuk ikut lomba. Ani bergegas berangkat. Terlambat. Lomba sudah selesai. Ani pun bak burung yang patah sayapnya.
Broken Wings Bird dibuat pada Juni-Juli 2001. Menurut sutradara Wenang Anindya Data, kisah sedih Ani bukan ide pertama yang muncul di kepala. Tapi, karena tema horor atau action diperkirakan akan mendominasi, mereka banting setir. Atrida Hadianti mengeluarkan ide tentang siswi pintar dari keluarga miskin yang melakukan penelitian di hutan dan kecewa karena pohon-pohon ditebangi. Tapi, demi mengirit ongkos, mereka mengganti penelitian di hutan dengan lomba IPA. Ending sama: kegagalan. Karya kelompok Tjahaug H@inc ini enggan berkiblat ke Hollywood. Film ini pun hampir seluruhnya menggunakan bahasa Jawa, dengan teks berbahasa Indonesia.
Toh, ide segar tak bisa dibendung. Ada adegan Ani tiba di sekolah dengan terengah-engah dan mendapati bahwa lomba telah selesai. Adegan ini diambil dengan lambat, dengan sudut close-up ke mimik Ani. Efek dramatis pun tercipta. Wenang mengaku, ini justru hasil modifikasi. "Awalnya, kami berencana menggambarkan belasan ekor ayam yang berhamburan saat Ani lari pontang-panting menuju sekolah. Ternyata itu sulit," tutur Wenang. Ada juga adegan menarik saat si ibu yang sedang memasak diambil dengan kamera berputar, mirip gaya film aksi Hong Kong. Ini pun muncul spontan di lapangan.
Mahesa Sufi, sang juru kamera, tak menyangka film mereka bisa menang. Kamera pinjaman mereka tak punya view finder sehingga mereka tak bisa langsung mengecek perolehan gambar. Alhasil, mereka mesti percaya penuh pada kemampuan Sufi merekam gambar. Baterai kamera sering mati sehingga harus bergantung pada suplai listrik.
Kerja mereka tak sia-sia. Selain meraih piala, kamera digital, dan mesin editing, mereka siap berangkat meninjau studio film besar di Amerika Serikat atau Australia, Oktober nanti. "Mudah-mudahan kemenangan kami ini juga memicu semangat sineas muda Yogya lainnya. Yang jelas, kami ingin membuat film lagi bersama teman-teman," kata Wenang.
Menurut sutradara lulusan IKJ, Harry "Dagoe" Soeharyadi, pemilihan film ini memang tak menggunakan standar penilaian seperti layaknya festival profesional lainnya. Dari film yang masuk, para juri memilih film yang punya maksud menyampaikan gagasan tertentu. Lebih jauh lagi, para juri melihat sejauh mana anak-anak berhasil menerjemahkan gagasan tersebut ke bentuk audio-visual.
Broken Wings Bird, bersama film-film keluaran aneka festival film yang belakangan marak dan masuknya teknologi audio-visual ke ranah rumah tangga, menyuburkan dunia perfilman di Indonesia. Lewat film ini, bocah-bocah Yogyakarta menerbangkan harapan. Semoga harapan ini tak patah sayapnya.
Gita Widya Laksmini, Heru C. Nugroho (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini