JANGAN sembarangan meremehkan lafal sumpah jabatan. Setidaknya, pada 15 Agustus 2001, ketika Muhammad Abdul Rachman dilantik sebagai jaksa agung oleh Presiden Megawati, kata-kata pada sumpah jabatan "… akan jujur dan bersih…" sempat tercekat di tenggorokannya. Ternyata itu menjadi pertanda buruk. Setelah setahun memegang posisi puncak di Kejaksaan Agung, Kamis pekan lalu, Rachman, sebagai jaksa karir berjam terbang selama 36 tahun, dianggap tak mampu menegakkan hukum antikorupsi.
Anggapan itu diutarakan oleh beberapa pengamat. Bahkan hampir 70 persen dari 302 responden jajak pendapat TEMPO menilai M.A. Rachman tak berhasil pada masa setahun pertamanya bertugas. Barangkali ukuran mencoloknya bisa ditilik dari pengusutan kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sebanyak 52 kasus BLBI yang merugikan keuangan negara sampai Rp 130,6 triliun memang paling menggeramkan. Sebab, kasus BLBI telah memorak-porandakan fondamen ekonomi negeri ini, tapi pengusutannya di Kejaksaan Agung ternyata tak menunjukkan kemajuan berarti.
Tak cuma itu. Para penggarong uang negara yang tak perlu merasa takut dipenjarakan itu pun asyik saja berada di luar negeri. Contohnya apa lagi kalau bukan tiga tersangka kasus BLBI yang amat memprihatinkan, yakni Sjamsul Nursalim, Hendra Rahardja, dan Bambang Sutrisno.
Sjamsul dan Bambang dikabarkan dirawat di Singapura, sementara Hendra diberitakan sedang ditahan di Australia. Sepertinya aparat kejaksaan sulit menyeret mereka kembali ke Indonesia. Padahal pengacara mereka dan wartawan bisa menemui mereka. Bahkan mantan presiden Abdurrahman Wahid mengaku bertemu dengan Bambang Sutrisno.
Memang beberapa kasus korupsi BLBI diajukan jaksa ke pengadilan. Namun, di persidangan, ternyata jaksa acap menuntut koruptor BLBI dengan hukuman ringan alias tak lebih dari setahun penjara. Buntutnya, kasus BLBI dengan terdakwa mantan komisaris Bank Modern, Samadikun Hartono, dan kasus BLBI dengan terdakwa Direktur Kredit South East Asia Bank, Leo Andyanto, dijatuhi vonis bebas oleh hakim.
Gejala serupa terjadi pada berbagai kasus korupsi warisan Orde Baru (lihat Beberapa Kasus yang Mandek di Kejaksaan Agung). Malah pada kasus korupsi dana nonbujeter Bulog senilai Rp 40 miliar, dengan terdakwa Akbar Tandjung, Rahardi Ramelan, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang, Kejaksaan Agung diduga tak hendak mengusut lebih lanjut ke mana sebenarnya dana korupsi itu mengalir. Padahal dana itu diduga bukan untuk proyek penyaluran sembilan bahan pokok, melainkan ke kas Golkar.
Tentu saja jajaran Kejaksaan Agung membantah keras serentet tudingan di atas. Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Udji Santoso, misalnya, menyatakan bahwa tak benar bila koleganya di bawah pimpinan M.A. Rachman dikatakan tak berbuat banyak dalam mengusut kasus korupsi, apalagi kalau dianggap sengaja memetieskan kasus-kasus korupsi. Untuk itu, Udji menyodorkan bukti-bukti (lihat Kasus-Kasus yang Ditangani Kejaksaan Agung).
Menurut Udji, boleh saja orang menganggap instansinya seperti lamban mengusut kasus BLBI. Padahal perkembangan ini tak lain lantaran Kejaksaan Agung harus menyesuaikannya dengan program pemulihan ekonomi yang sedang ditangani Komite Kebijakan Sektor Keuangan. "BPPN juga masih melakukan negosiasi dengan sejumlah obligor itu supaya lebih banyak aset mereka yang bisa ditarik ke kas negara. Tapi penuntasan utang itu tak menutup pengusutan pidananya. Semua kasus sudah kami siapkan. Begitu ada pengutang yang tak kooperatif, kami seret ke pengadilan," kata Udji.
Namun pengacara Sjamsul, Rudjito dari kantor pengacara Adnan Buyung Nasution, berpendapat bahwa Kejaksaan Agung tak perlu sampai memberkas perkara kliennya ke meja hijau. Sebab, katanya, Sjamsul tergolong kooperatif. Sampai kini, pemilik grup bisnis Gadjah Tunggal dan tambak udang Dipasena itu terus mengupayakan negosiasi utang dengan Kejaksaan Agung.
Sementara itu, kuasa hukum Bambang Sutrisno, Dwiyanto Prihartono, memprotes upaya Kejaksaan Agung yang mengajukan kliennya ke persidangan in absentia (tanpa kehadiran terdakwa). "Klien kami bukan buron. Ia benar-benar sedang sakit dan habis dioperasi di Singapura," kata Dwiyanto, yang dulu aktif di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Menurut dia, Bambang menjalani operasi pengangkatan tumor pada kelenjar getah bening di lehernya.
Udji Santoso bisa saja berargumentasi seperti di atas. Begitu pula semacam pleidoi (pembelaan) yang disampaikan Rudjito dan Dwiyanto. Toh, buat Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Hendardi, Jaksa Agung M.A. Rachman terhitung gagal memenuhi aspirasi reformasi hukum. Hal ini, kata Hendardi, karena Rachman, yang kelahiran Sumenep, Madura, 60 tahun lalu, tak berani melibas pelanggar hukum yang didukung dana dan kekuasaan.
Bayangkan saja, yang harus dihadapi Rachman adalah tersangka setingkat bekas presiden Soeharto, Panglima TNI Jenderal Wiranto, hingga konglomerat hitam yang menggerogoti uang negara ratusan triliun rupiah. "Rachman takut menghadapi mereka yang kuat itu. Akhirnya, Kejaksaan Agung justru menjadi salah satu titik lemah dalam pemerintahan Presiden Megawati," ujar Ketua Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki.
Tak aneh bila kasus korupsi tujuh yayasan senilai Rp 1,7 triliun dengan tersangka bekas presiden Soeharto seperti berjalan di tempat. Bahkan kasus korupsi pemipaan di Jawa, yang melibatkan anak tertua Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, dikabarkan akan dihentikan penyidikannya. Menanggapi kabar ini, Kepala Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Barman Zahir, langsung menepisnya. "Tak ada yang kami hentikan. Kasus itu masih terus disidik," ujarnya.
Benarkah begitu? Hendardi masih menunjukkan lagi fenomena betapa Rachman "kalah" dengan kekuasaan lewat proses penyidikan kasus kejahatan hak asasi manusia di Timor Timur. "Kejaksaan Agung telah membonsai kasus hak asasi manusia di Timor Timur, hingga para tersangka yang diajukan ke pengadilan hanya setingkat penanggung jawab lokal," kata Hendardi. Contohnya, Jenderal Wiranto, yang menurut hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia diurutkan sebagai tersangka pertama, ternyata tak ada dalam daftar tersangka yang dilimpahkan Kejaksaan Agung ke pengadilan.
Untuk kasus hak asasi manusia lainnya, seperti kasus pembantaian warga Papua di Abepura, kasus Tanjung Priok, Aceh, Sampit, Trisakti, serta Semanggi I dan II, masih kata Hendardi, Kejaksaan Agung pun telah memangkasnya, sehingga nasib kasus-kasus itu menjadi tak jelas.
Lagi-lagi Barman Zahir menangkis kritik keras Hendardi. "Kalau Wiranto diseret, itu terlalu jauh. Yang terkena, ya, yang bertanggung jawab di lokasi. Karena itu, kami mengajukan komandan kodim dan kapoldanya ke pengadilan," kata Barman. Adapun untuk kasus hak asasi manusia di Tanjung Priok dan Abepura, ujar Barman, Kejaksaan Agung masih terus menyidiknya.
Bagaimana dengan kasus Trisakti serta Semanggi I dan II? Menurut bekas anggota komisi penyelidik kasus Trisaksi serta Semanggi I dan II, Usman Hamid, Kejaksaan Agung hanya mencari-cari alasan untuk menggagalkan pengusutan tiga kasus itu. "Kejaksaan Agung tak berani menyatakan bahwa kasus-kasus itu bukan pelanggaran hak asasi manusia tingkat berat. Padahal kami menemukan indikasi kuat bahwa kasus tersebut kejahatan kemanusiaan," kata Hamid kepada Koran Tempo.
Khusus kasus Soeharto, memang Barman mengakui bahwa instansinya merasa ragu-ragu. "Kemampuan otak Soeharto menurun. Ia cuma mampu berbicara empat kata. Bagaimana di pengadilan nanti kalau ia tak bisa mengingat dan menjawab?'' kata Barman.
Salah seorang pengacara Soeharto, M. Assegaf, buru-buru meminta agar Kejaksaan Agung tak usah ragu. "Hentikan kasus itu. Tak adil bagi tersangka bila statusnya lama mengambang," ujar Assegaf.
Entah bagaimana kelak sikap Kejaksaan Agung terhadap kasus Soeharto: dibiarkan saja ataukah ditutup. Yang pasti, pendapat Hendardi tentang ketidakberanian Jaksa Agung M.A. Rachman dibenarkan oleh Teras Narang, Ketua Komisi Bidang Hukum di DPR. "Jaksa Agung masih belum berani melihat suatu kasus secara hukum semata. Ia masih menoleh ke kiri-kanan. Jadinya tidak jalan," ujar anggota PDI Perjuangan itu.
Sebenarnya, bukan hanya anggapan tak berani yang menerpa Jaksa Agung. Ia juga diisukan "akrab" dengan seorang makelar perkara yang disebut-sebut bernama Suryo Tan. Namun warga keturunan Cina yang berpaspor Singapura ini, sewaktu dihubungi TEMPO, membantah isu tersebut. "Ada orang yang menginginkan Jaksa Agung Pak Rachman jatuh lewat nama saya," katanya.
Menurut guru besar hukum pidana di Universitas Hasanuddin, Makassar, Achmad Ali, buruknya kinerja Kejaksaan Agung boleh dibilang lantaran kekeliruan dulu, yakni keputusan Presiden Megawati memilih M.A. Rachman sebagai jaksa agung. Kata Achmad Ali, yang dulu juga dicalonkan sebagai jaksa agung, Kejaksaan Agung belum waktunya dipimpin jaksa karir. Sebab, institusi kejaksaan justru terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mestinya orang luar yang ahli hukum, berani, dan jujur yang dijadikan jaksa agung untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. "Di Amerika Serikat, jaksa agungnya bukan jaksa karir. Apalagi di Indonesia, yang amburadul penegakan hukumnya," kata Ali. Di negeri ini, tak mustahil banyak figur seperti almarhum Baharuddin Lopa, yang sempat menjadi jaksa agung.
Kalau mutu kejaksaan mau diperbaiki, kata Ali, tak ada cara selain segera mengganti M.A. Rachman. "Kalau untuk memberantas korupsi, menggembirakan rakyat, dan mengembalikan kepercayaan investor asing, kenapa solusi itu tak dilakukan?" katanya.
Ahmad Taufik, Nezar Patria, A. Bramantyo, Eduardus K. Dewanto (TNR)
--------------------------------------------------------------------------------
Kasus-Kasus yang Ditangani Kejaksaan Agung
Korupsi sebanyak 52 perkara: 48 perkara dari penemuan BPK dan BPKP dan 4 perkara penemuan Kejaksaan Agung. Dari kasus-kasus ini:
15 perkara di tahap penyelidikan,
2 perkara dihentikan penyelidikannya,
7 perkara di tahap penyidikan,
1 perkara dihentikan penyidikannya,
22 perkara di tahap penuntutan,
5 perkara belum ditangani karena menyangkut bank take-over.
BLBI sebanyak 52 kasus: 28 perkara diajukan ke pengadilan (sudah diadili sebanyak 22 perkara), 24 perkara di tahap penyidikan.
Kejahatan hak asasi manusia: 12 perkara Timor Timur dengan 18 tersangka (sudah diajukan ke pengadilan), 4 perkara Tanjung Priok dengan 12 tersangka (masih tahap penyidikan), perkara Abepura (masih penyi-dikan), dan perkara Sampit (tak ditemukan pelanggaran hak asasi manusia).
Sumber: Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Udji Santoso
--------------------------------------------------------------------------------
Beberapa Kasus yang Mandek Di Kejaksaan Agung
- Korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim, mantan Direktur Utama Bank Dagang Nasional Indonesia. Kerugian negara sebesar Rp 10,09 triliun. Sjamsul pernah ditahan pada 16 April 2001. Ia kemudian diizinkan berobat ke Jepang hingga 21 Juni 2001.
Keterangan. Sampai kini, Sjamsul, yang dikabarkan dirawat di Singapura, tak kunjung bisa diusut.
- Korupsi BLBI dengan terdakwa Hendra Rahardja, bos PT Bank Harapan Sentosa. Merugikan negara sebesar Rp 2,6 triliun, Hendra buron dari Indonesia sejak November 1997. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonisnya secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa) dengan hukuman seumur hidup. Hendra diberitakan ditahan di Australia. Vonis in absentia-nya menjadi tak berarti lantaran Hendra tak jua bisa diekstradisi ke Indonesia.
- Korupsi BLBI dengan terdakwa Bambang Sutrisno, Wakil Komisaris Bank Surya, yang merugikan negara Rp 1,03 triliun. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga hanya mampu mengadili kursi kosong. Sebab, Bambang mengaku sedang sakit di Singapura. Seperti Sjamsul, Bambang pun tak pernah bisa dibawa ke Indonesia.
- Korupsi BLBI dengan terdakwa Sukamdani Sahid Gitosardjono, mantan Presiden Komisaris Bank Dagang Industri, dan Adriansyah, mantan Direktur Utama BDI. Kerugian negara sebesar Rp 418 miliar.
Keterangan. Penyidikan dihentikan oleh Kejaksaan Agung dengan alasan kasus itu bukan korupsi.
- Korupsi dana nonbujeter Bulog senilai Rp 40 miliar. Terdakwanya Akbar Tandjung, Rahardi Ramelan, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang. Begitu diusut Kejaksaan Agung, Winfried mengembalikan uang tersebut. Akbar hanya dituntut empat tahun penjara oleh jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Keterangan. Kejaksaan Agung bersikukuh pada skenario pengusutan bahwa dana korupsi itu dimanipulasi untuk penyaluran sembako. Tak sedikit pun kejaksaan mengusut dugaan aliran dana tersebut ke kas Golkar.
- Korupsi dalam kontrak bantuan teknis antara Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas senilai US$ 23,3 juta. Tersangkanya Ginandjar Kartasasmita, I.B. Sudjana, serta Praptomo Tjitro Upoyo. Kasus ini pernah mentok di praperadilan gara-gara masalah formalitas penyidikan. Ginandjar, yang sewaktu kasus itu terjadi masih anggota TNI, dianggap hanya bisa disidik oleh tim koneksitas. Tapi putusan ini diralat oleh Mahkamah Agung.
Keterangan. Hingga kini pun Kejaksaan Agung belum terdengar mengusut kembali kasus ini.
- Korupsi proyek pemipaan pengangkutan bahan bakar minyak di Jawa. Siti Hardijanti Rukmana diduga terlibat kasus yang merugikan negara senilai US$ 16 juta ini.
Keterangan. Nasib pengusutan kasus ini tak jelas.
- Korupsi dana reboisasi dalam pembangunan hutan tanaman industri di Kalimantan Selatan. Tersangkanya Probosutedjo, dengan kerugian negara sekitar Rp 38 miliar.
Keterangan. Kasus ini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jakarta, awal Juli 2002, tapi belum diajukan ke pengadilan.
- Korupsi dana tujuh yayasan yang dulu diketuai mantan presiden Soeharto. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 1,7 triliun. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak kasus ini dengan alasan Soeharto sakit berat. Belakangan, tim dokter menyatakan bahwa Soeharto mengalami kesulitan berbahasa dan berpikir.
Keterangan. Agaknya Kejaksaan Agung tetap tak berani mengusut kembali kasus Soeharto.
- Kasus kejahatan hak asasi manusia di Timor Timur. Tiga perkara gelombang pertama kasus ini sudah diputus oleh pengadilan hak asasi manusia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada perkara dengan terdakwa mantan Gubernur Timor Timur Abilio Soares, pengadilan hanya memvonisnya tiga tahun penjara. Sedangkan perkara kedua dengan terdakwa mantan Kapolda Tim-Tim Timbul Silaen serta lima perwira TNI/Polri malah divonis bebas oleh pengadilan. Cuma Abilio yang sudah dihukum ringan. Kasus hak asasi manusia di Timor Timur ini juga tak sedikit pun menyentuh tersangka para jenderal TNI/Polri.
- Kasus hak asasi manusia di Tanjung Priok, Jakarta. Sebanyak 12 tersangka diberkas dalam empat perkara.
Keterangan. Masih disidik.
- Kasus hak asasi manusia di Abepura, 7 Desember 2000. Dikabarkan sebanyak 39 orang ditahan, termasuk sembilan orang wanita. Sudah 73 saksi dimintai keterangan.
Keterangan. Masih disidik.
- Kasus hak asasi manusia pada tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Keterangan. Kejaksaan Agung menganggap hasil penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia belum memenuhi syarat.