PASANG SURUT PENGUSAHA PEJUANG, Otobiografi Hasjim Ning Dituturkan kepada: A.A. Navis Penerbit: PT Pustaka Grafitipers, Jakarta, 1986, 392 halaman BUKU ini dibuka dengan menceritakan silsilah Hasjim Ning, lebih dari 40 halaman. Sesudah itu baru dicatat bahwa ia dilahirkan pada 22 Agustus 1916, di Padang. Yang menarik, dan barangkali menandai watak orangnya, ialah Hasjim Ning ternyata dilahirkan setelah 11 bulan dalam kandungan ibundanya. Itu pun, ketika si jabang bayi lahir, kepalanya terbungkus selaput yang tebal. Ada yang mempercayai: bayi yang lahir dalam keadaan "terbungkus" itu kelak akan jadi "orang". Dan, nyatanya, memang demikian. Hasjim Ning, belakangan, muncul sebagai tokoh bisnis tiga zaman, seorang manajer berbakat. Ia merupakan prototype pengusaha sukses yang meniti karier dari bawah, kemudian sempat dijuluki "Raja Mobil" atau "Henry Ford Indonesia". Dialah perintis industri permobilan di Indonesia. Ia mendirikan Indonesian Service Company yang "berdasarkan cita-cita nasionalisme bangsa Indonesia", kemudian menjadi perusahaan perakitan mobil pertama di Indonesia (halaman 337). Namun, setelah tampil sebagai entrepreneur, Hasjim Ning tak lagi peduli dengan cerita "bungkus selaput tebal" itu. Bahkan ia berkata, "Aku tidak pernah merindukan menjadi orang penting. Yang selalu aku rindukan ialah... menjadi orang berarti." Kisah hidup "orang berarti" seperti Hasjim Ning, sesungguhnya, merupakan salah satu penggalan yang menarik dari sejarah politik dan ekonomi Indonesia yang panjang. Dan Hasjim Ning bukan saja berjuang di kancah bisnis, melainkan juga berperan dalam panggung politik. Dan ia, konon, dalam bilah menentukan. Hal itu, mungkin, lantaran adanya kaitan darah antara Hasjim Ning dan Bung Hatta. Karena itu, mau tak mau, orangtua Hasjim Ning ikut pula terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Lalu, berlanjut dengan cerita hubungannya yang pertama dengan Bung Karno, misalnya, membuat kisah ini makin menarik. Ketika itu, Bung Karno diasingkan oleh Belanda ke Bengkulu. Saat itulah pemuda Hasjim Ning diperintahkan oleh ayahandanya untuk menemui pemimpin tersebut dipembuangannya -- untuk menanyakan gerangan apa yang bisa dibantu untuk keperluan keluarga Soekarno. Kontak itu tidak berhenti sampai di situ. Tapi berlanjut di zaman Jepang, di awal revolusi bersenjata, sampai ketika presiden pertama RI itu dikenai karantina politik dan berdiam di Wisma Yaso, yang kini menjadi Museum ABRI Satria Mandala. Ning bahkan salah seorang yang diminta berperan meredakan ketegangan politik, menjelang meletusnya PRRI. Ia diutus Presiden Soekarno menemui Ahmad Husein, salah seorang komandan resimen di Sumatera Barat, yang waktu itu salah seorang tokoh penting yang kurang serasi dengan pemerintah pusat (halaman 142-144). Hasjim Ning juga punya peran penting di belakang dunia militer (halaman 165-166). Suatu pagi, Hasjim Ning bersama Dasaad, pengusaha sukses lainnya, diundang makan pagi oleh Jenderal Gatot Soebroto. Keduanya diminta menyampaikan pesan kepada Bung Karno, agar Nasution diangkat jadi KSAB, Yani jadi KSAD, sementara Gatot sendiri ingin pensiun. Itulah barangkali yang diimpikan Hasjim Ning, selain bisa jadi "orang yang berarti", sekaligus jadi "orang penting" pula. Meski sudah jadi "orang", terutama sebagai boss, Hasjim Ning, yang pada usia 20 tahun memulai kariernya dengan bekerja di sebuah bengkel, juga masih sempat berpikir mengenai ulah pengusaha yang dinilainya tidak profesional . Bacalah misalnya: Aku sangat prihatin kepada importir bangsaku yang tumbuh menjamur dan mendapat fasilitas yang menguntungkan dari pemerintah. Mereka memang memperoleh untung banyak. Tapi mereka tidak menggunakan untungnya itu untuk membangun usahanya. Mereka lebih suka memenuhi "angan-angan Melayu" dengan membeli rumah gedongan mobil mengkilap, dan beristri muda. Dan ketika terjadi perubahan kebijaksanaan impor pemerintah untuk menghemat devisa negara, pada masa Kabinet Wilopo, umumnya para importir itu menjadi bangkrut (halaman 303). Buku ini penting dibaca oleh siapa saja. Inilah sebuah otobiografi yang memaparkan cerita sukses salah seorang putra Indonesia -- meskipun katanya tak ingin jadi orang penting, toh akhirnya ia penting dan turut berarti bagi bangsanya. Tamsil ibarat yang kita hirup dari cerita seperti ini sungguh sangat bermanfaat. Cuma, sayang, cara Hasjim Ning meniti karier dari bawah sampai ke puncak kurang mendapat gambaran yang jelas, tak terbuka membelah. Salah cetak dalam buku ini, sayang, cukup banyak. Hampir tak bisa dipercaya bahwa penerbit yang selektif dalam memilih buku ini juga masih terpeleset dengan salah cetak seperti itu. Anehnya lagi, penuturan A.A. Navis, dalam buku ini, datar saja. Bahkan ada kalimat yang kurang enak dicerna, selain ada kisah-kisah berlapis ulang. Padahal, proses penulisan Navis cukup tekun, disertai "eksplorasi yang gigih" -- seperti disebut pada kulit belakang buku ini. Apalagi, selain masih berkerabat dengan Hasjim Ning -- dan itu memudahkan menggali bahan dan penulisan -- Navis dikenal sebagai seorang sastrawan yang licin dan jenaka dalam bercerita. Soebagijo I.N.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini