Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sebuah planet yang cokelat dan mati

Eksplosi penduduk dan peningkatan konsumsi sumber daya alam yang tak terkendalikan sebagai tumor ganas dalam tubuh bumi. jika penyakit ini tak dapat disembuhkan, bumi akan berubah cokelat, mati dan kotor.

21 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBALASAN alam terhadap ulah manusia, dalam bentuk "efek rumah kaca" serta penipisan atau depresi ozon di daerah Kutub, sedang mengancam kesehatan dan iklim di sekeliling kita. Umumnya, berbagai perubahan nyata yang mempengaruhi kehidupan serta lingkungan di bumi disebabkan oleh proses alam yang tak dapat dielakkan -- seperti seleksi alam, jarak antara matahari dan bumi, perubahan arah angin dan sungai, turbulensi atmosfer dan samudra, ekspansi dan kontraksi tudung-tudung es di daerah Kutub, letusan besar gunung api, dan gerak perkisaran kontmen. Berbagai perubahan alam itu di masa kini dengan cepat dipengaruhi oleh sejumlah deretan perubahan yang bersifat global, yang berasal dari ulah manusia atau proses antropogenik. Perubahan global dalam biosfer dan geosfer dapat dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, penggunaan sumber daya alam per kapita yang meningkat, dan perubahan ekosistem yang sudah mapan. Gejala ini begitu umum dipandang dari sudut antropomorfik, sehingga dianggap sebagai kejadian serba biasa di muka bumi yang stabil. Namun, ditinjau dari sudut geologi, perubahan global kontemporer ini menunjukkan adanya suatu krisis biotik. Contoh: binatang menyusui di Amerika Utara telah mengalami kepunahan 1.000 kali lebih cepat setelah Homo Sapiens menginjakkan kakinya di benua itu -- dibandingkan dengan di masa geologi yang lampau. Tingkat pemunahan itu kelihatannya bertambah secara eksponensial. Produksi energi dan pertanian intensif, serta peningkatan teknologi, pun telah mengubah muka bumi, komposisi air serta tanah, sifat kimiawi air, daerah hutan, serta variasi spesies tumbuhan dan hewan. Tanda-tanda merisaukan telah tampak pada kerugian dalam cadangan global sumber daya alam -- seperti tanah yang subur, air yang dapat diminum, dan pada pengadaan pangan, serta perubahan mencemaskan pada iklim dunia yang disebabkan oleh efek "gas rumah kaca" serta deplesi ozon. Atmosfer, yang lebih kecil dari seperjuta massa bumi, dan hidrosfer yang terdiri dari 0,25% massa, dibentuk oleh suatu evolusi lambat tapi kompleks. Pengeluaran gas-gas dari batuan telah memainkan peranan penting dalam proses ini. Atmosfer purba ini tidak mengandung oksigen. Sebagian besarnya terdiri dari uap air, nitrogen, dan karbondioksida. Radiasi ultraviolet matahari terus-menerus menghujani bumi. Hanya kehidupan anaerobik primitif dapat berkembang. Namun, lambat laun oksigen mulai terakumulasi -- bukan saja karena berbagai proses fisik (misalkan fotolisis molekul air), tapi juga karena aktivitas organisme autropik. Dengan lambat mulai terbentuk suatu perisai, yang terdiri dari ozon yang melindungi permukaan bumi dari radiasi ultraviolet yang intensif. Satu kemajuan berarti dalam evolusi kehidupan terjadi dengan munculnya organisme eucaryotic, sehingga kombinasi genetik menjadi satu kekuatan dominan dalam evolusi organisme. Hewan bersel banyak mulai muncul. Saat itu kadar oksigen atmosfer mulai meningkat dengan cepat tekanan persial karbondioksida dalam atmosfer dan di lautan mulai berkurang dan perisai radiasi dalam bentuk lapisan ozon makin kuat. Tumbuh-tumbuhan mulai menutupi benua -- kira-kira 400 juta tahun yang silam -- diikuti dengan cepat oleh munculnya berbagai hewan yang lebih tahan terhadap radiasi. Waktu manusia mulai muncul, kira-kira dua juta tahun lalu, lingkungan permukaan bumi sudah dapat dihuni flora dan fauna yang jumlahnya makin meningkat, meskipun sewaktu-waktu terdapat periode kemunduran dalam revolusi ini. Selama sejarah yang milyaran tahun itu, bumi mengalami berbagai krisis: periode pembentukan pegunungan yang intensif, kegiatan gunung api yang kuat, periode perluasan padang pasir yang menutupi sebagian besar kontinen, serta periode glasiasi (peng-es-an) besar-besaran. Namun, tak satu pun dari krisis itu yang begitu hebat dan universal sehingga sanggup menyapu bersih seluruh kehidupan dari bumi, meski disana-sini terjadi kepunahan beberapa spesies tertentu. * * * Munculnya manusia sebagai spesies dominan di bumi, serta pertumbuhan cepat suatu masyarakat teknologi global bersamaan dengan gangguan ekologis, telah terjadi karena injinuitas manusia. Awalnya, pertumbuhan konsumsi energi serta teknologi sangat lambat. Nenek-moyang spesies manusia modern, sekitar 5.000.000 sampai 500.000 tahun lalu, menggunakan energi per kapita kurang lebih 2.200 kg kalori (2,5 kilowatt/jam), khususnya berasal dari makanan. Di beberapa daerah terbelakang di dunia, konsumsi per kapita energi masih berada di tingkat ini, sementara di negara maju konsumsi telah meningkat sampai 200 kilowat/jam, malah di beberapa negara industri angka ini telah menjadi beberapa kali lebih besar. Muncul dan mengorbitnya masyarakat teknologi modern dimungkinkan oleh revolusi industi, kira-kira 200 tahun lalu, yang memberi peluang manusia mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya bahan bakar fosil. Perkembangan inilah yang menandai mulainya krisis ekologi masa kini. Namun, penyebab utama perubahan global adalah penggunaan energi yang sudah diproses, terutama pembakaran hidrokarbon dan batu bara, yang menimbulkan dampak pada atmosfer, hidrosfer, dan biosfer. Penggunaan intensif energi termal serta gaya mekanik telah memungkinkan manusia menguasai alam sekitar. Tapi juga telah menyebabkan transformasi yang merisaukan dalam lingkungan hidup, yang terlihat dalam bentuk fisiografi serta keadaan fisik-kimia tata lingkungan. Beberapa bentuk transformasi ini bersifat global serta tak dapat dikembalikan pada keadaan semula, sehingga akan membahayakan masa depan kehidupan di bumi, termasuk spesies manusia. Energi yang dipakai manusia 93% berasal dari bahan bakar fosil. Dari jumlah ini, 59% dari sumber nuklir. Berbagai aktivita energi kini menghasilkan kira-kira 5 gigaton (GT) karbon per tahun dalam bentuk emisi CO2. Perhitungan-perhitungan menunjukkan, dalam tahun 2050 tingkat pelepasan gas-gas ke atmosfer sebagai akibat aktivita energi dapat berkisar antara 2 dan 20 GT per tahun. Jika emisi itu bertumbuh pada tingkat yang sama seperti emisi rata-rata pada periode 1974-1984, jumlah dioksida karbon dalam atmosfer -- yang sekarang ditaksir 340 ppmv -- akan mencapai 540 ppmv di tahun 2060, alias dua kali tingkat emisi di masa praindustri. Bukan hanya CO2 yang memainkan peranan penting dalam pemanasan "rumah kaca". Metan (CH4) adalah zat kedua yang terus-menerus mengotori atmosfer. Gas-gas "rumah kaca" lainnya adalah N2O (oksida nitrogen), yang konsentrasinya meningkat sebanyak 0,2% setahun pada 1976-1980. Di masa depan, emisi N2O akan naik kira-kira 0,25% per tahun bagian besar disebabkan oleh bertambahnya pemakaian pupuk nitrogen dan meningkatnya pembakaran batu bara. Beberapa ahli berpendapat, gas-gas "rumah kaca" secara keseluruhan akan meningkatkan suhu di bumi dari 1,5 sampai 4,5C di tahun 2030. Kalau itu benar, dalam waktu kurang lebih 40 tahun mendatang akan terjadi banjir di daerah-daerah rendah -- seperti Negeri Belanda dan Bangladesh, serta kota-kota besar seperti Paris dan New York -- sebagai akibat pelelehan es besar-besaran di Kutub. Akhir-akhir ini disinyalir pula: gas "rumah kaca" Chlorofluorocarbon (CFC) tidak saja menahan panas dari bumi untuk lolos ke atmosfer tapi juga merusakkan lapisan ozon dalam atmosfer. Penghancuran atau penipisan kontinu lapisan ozon sebagai pelindung itu akan menyingkapkan tubuh manusia bagi radiasi ultraviolet. Studi NASA telah meramalkan deplesi 9% ozon stratosfer dalam 70 tahun mendatang, kalau emisi CFC ke atmosfer berlangsung setara tingkat sekarang. Akibatnya: peningkatan drastis penyakit kanker kulit, dan secara kasar ditaksir, penderitanya di seluruh dunia dapat mencapai jumlah 500 juta orang. Kaitan jelas secara ilmiah belum dapat dibuktikan -- antara deplesi ozon di Antartika dan polusi buatan manusia -- meskipun konsentrasi CFC di atmosfer makin bertambah. Beberapa ahli berpendapat, bukan CFC yang merusakkan lapisan perisai ozon tetapi mungkin proses-proses lain yang belum diketahui. Belum jelas apakah gejala ini disebabkan proses alam atau ulah manusia akankah berulang tiap tahun dan mengapa bersifat musiman. Untuk orang awam, permasalahan yang telah diuraikan berkisar pada kebersihan dan kualitas udara serta air. Tetapi untuk para ilmuwan, faktor-faktor di atas merupakan permasalahan rumit yang menyangkut sifat kimia atmosfer, dinamika tanah, hidrologi biologi, dan sebagainya. Secara optimal perlu diterapkan teknologi mutakhir, seperti satelit, teknik pengindriaan jauh, peralatan canggih dalam geosains laut, komputer besar penyimpan data, analisa isotop stabil, geomagnetik, analisa microprobe, mikro dan makropaleobiologi, dan radar, untuk menyelidiki perubahan global ini. Untuk maksud itu, ICSU (International Council of Scientific Union) telah membentuk suatu studi antardisiplin mengenai perubahan global, yang diberi nama Program Internasional Geosfer Biosfer (IGBP). Hasil studi itu telah dibahas dalam pertemuan 1986 yang diharapkan merumuskan proyek-proyek yang segera dapat diimplementasikan. Program perubahan global ini diperkirakan akan berjalan sepuluh tahun. Pada 1985 telah terbentuk suatu badan tak resmi, yang terdiri dari sejumlah pakar negara maju dan beberapa ahli negara berkembang, dengan nama Komite Koordinasi Lapisan Ozon. Badan ini telah melahirkan suatu konvensi internasional untuk melindungi lapisan itu. Tugasnya: meniadakan sama sekali atau mengurangi produksi tahunan zat-zat kimia penghancur ozon yang ditaksir berjumlah 1 juta ton itu. Zat-zat itu digunakan besar-besaran dalam industri kimia elektronik, kosmetik, dan lain-lain. Pelaksanaan persetujuan di atas masih mengalami kesulitan: terdapat berbagai perbedaan pendapat. AS dan negara-negara Skandinavia ingin dengan cepat mengurangi atau menghentikan sama sekali produksi CFC, sedangkan negara-negara Eropa Barat lebih moderat -- menunggu bukti-bukti yang meyakinkan, benarkah CFC merupakan ancaman terbesar terhadap ozon. Negara-negara berkembang seperti India dan Brasil khawatir larangan produksi CFC akan mematikan industri mereka -- di samping bahaya membanjirnya berbagai bahan subtitusi CFC dari negara industri maju ke negara berkembang. Para ahli lingkungan telah mengibaratkan eksplosi penduduk, dan peningkatan konsumsi sumber daya alam yang tak terkendalikan, sebagai tumor ganas dalam tubuh bumi. Mereka berpendapat, kalau penyakit ini tak dapat disembuhkan, maka dalam waktu tak begitu lama lagi (menurut ukuran manusia) bumi kita akan berubah. Planet yang biru dan cantik akan menjadi sebuah bola yang mati. Sebuah planet yang lampus, berwarna cokelat dan kotor. *) Prof Dr. J.A. Katili adalah Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral pada Departemen Pertambangan dan Energi dan anggota Kelompok Kerja Perubahan Global pada Program Internasional Geosfer-Biosfer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus