NAGA BONAR Pemain: Deddy Mizwar, Wawan Wanisar Cerita/Skenano: Asrul Sani Sutradara: M. T. Risyaf BAGAIMANA pahlawan revolusi lahir? Agaknya, inilah pertanyaan yang menggoda Asrul Sani ketika menyiapkan cerita dan skenario Naga Bonar. Ternyata, pahlawan itu adalah orang biasa, seperti yang kita kenal sehari-hari, yang terseret arus dahsyat revolusi. Di antara mereka ada Naga Bonar (Deddy Miwar), seorang bekas pencopet dengan pendidikan seadanya juga ada Lukman (Wawan Wanisar), lepasan sekolah Belanda serta Murad, bekas tukang kopi dan bujang yang bekas gelandangan. Di luar kuasai orang-orang seperti Naga dan Lukman inilah keadaan tiba-tiba berubah, dan terjadilah suatu kondisi yang kita kenal sebagai revolusi. Maka, ini adalah film Indonesia pertama yang berkisah tentang revolusi tanpa heroisme tanpa romantisme Naga Bonar -- bekas pencopet itu -- bahkan tidak segera terbebas dari profesi lamanya, juga ketika ia mengangkat diri menjadi jenderal. Dalam suatu perundigan dengan musuh, ia masih sempat mencopet arloji tentara Belanda. Ketika memikirkan hari depannya setelah revolusi -- Naga berkeinginan jadi polisi. Tapi, kalau pencopet jadi polisi, apa nanti tidak kacau? Dan Naga Bonar tidak nenemukan pemecahan teka-teki itu. Bagi Asrul Sani, Naga Bonar adalah personifikasi orang kebanyakan yang terlibat revolusi. Tapi bukan cuma Naga, sebab ada juga Lukman, seorang yang tampaknya merupakan potret kaum intelektual. Dengan memperolok-olok kaum cerdik cendekia ini, Asrul Sani jelas sekali amat bersimpati kepada Naga Bonar. Hanya, cara melukiskan simpati itu kurang proporsional, sehingga karakterisasi Naga Bonar menjadi kurang utuh. Naga Bonar sebenarnya tidak berpendidikan, pengetahuannya terutama diperoleh dari film-film Amerika yang sempat ditontonnya. Ia tidak tahu bagaimana mengorganisasikan tentara, sistem kepangkatan, apalagi politik, yang salah satu pelaksanaannya ialah lewat perundingan. Semua soal ini diurus Lukman yang lulusan sekolah Belanda itu. Ketika laskar Naga Bonar harus berunding dengan Belanda, timbul gagasan Lukman agar mereka juga memakai tanda pangkat supaya kelihatan hebat. Mula-mula, Lukman menyarankan agar Naga Bonar memakai pangkat marsekal medan (terjemahan dari field marshall). Tapi Naga Bonar ingin pangkat marsekal medan Lubukpakam, karena ia kelahiran Lubukpakam. Akhirnya, ia memilih pangkat jenderal dan Lukman memilih jadi mayor -- dengan syarat dialah yang mengurusi bidang logistik. Ketika berunding dengan Belanda, Naga Bonar tiba-tiba tampil sebagai ahli strategi perang yang cemerlang. Karena tidak percaya kepada Belanda, ia merahasiakan lokasi pasukannya pada saat garis demarkasi akan dibuat Lukman, yang selama ini menjadi penasihat sang jenderal, menjadi berang. "Kalau aku kasih tahu posisi kita, sebentar lagi bom-bom akan berjatuhan di atas kepala kita," kata Naga Bonar menjelaskan strateginya. Dan Lukman pun mendadak kelihatan blo'on. Naga Bonar sebenarnya film komedi ala Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Sayangnya, Sutradara M.T. Risyaf kurang mempunyai persiapan dalam menggarap skenario Asrul. Ia tampaknya menaruh hormat yang berlebihan terhadap skenario itu, hingga hampir tidak punya sikap terhadap cerita yang digarapnya. Kesetiaan berlebihan, yang dibatasi oleh kemampuan teknis dan keterbatasan biaya telah membuat film ini tidak mencapai keseimbangan antara cerita yang amat menarik dan cara penyajian yang amat miskin. Contoh kemiskinan itu terlihat jelas dalam adegan-adegan pertempuran, yang mengingatkan kita pada sandiwara anak sekolah setiap peringatan 17 Agustus. Untunglah, Deddy Mizwar bermain amat bagus, meski pada beberapa bagian kelihatan berteriak-teriak. Tapi yang terakhir ini tampaknya hanya merupakan akibat penggunaan sistem rekaman langsung. Rekaman itu sendiri membuat film lebih hidup, tetapi para pemain khawatir kalau-kalau suara mereka tidak terekam. Hal yang demikian tentulah bisa dicegah jika sutradara cukup cermat dan membina kerja sama yang baik dengan juru suara. Di tengah-tengah arus film komedi yang sangat fisik dan konyol, Naga Bonar tampil membawa kesegaran. Film ini, di samping mengajak kita menengok kembali zaman revolusi dengan kaca mata yang lebih realistis, sekaligus juga menyuguhkan permainan yang cantik dari beberapa aktor. Selain beberapa hal yang telah saya kemukakan tadi, awal cerita sebenarnya bisa lebih menolong. Sebagai penonton, kita tidak diberi tahu bagaimana Naga Bonar bisa dengan mudah menjadi komandan laskar. Apakah keahlian mencopet saja sudah cukup ? Yang juga bisa mengganggu ialah set tempat cerita berlangsung. Cerita yang aslinya berlangsung di Sumatera Utara ini, akhirnya, memang dibuat di Jawa Barat. Untuk itulah dibuat set yang mahal dalam bentuk rumah-rumah panggung, sebagai layaknya di Sumatera. Sayangnya, direktur artistik Rajul Kahfi kurang bekerja keras, hingga yang tampil adalah sekumpulan rumah baru -- dan bukan desa gerilya yang terpencil. Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini