Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mesin-mesin telah mendorong perluasan praktek artistik para seniman, menciptakan pendekatan baru pada produksi karya seni rupa. Mesin mencetuskan citra kemodernan dan kemajuan. Sejak 1960-an—setidaknya tampak di Barat—sejumlah seniman bahkan tertarik pada citÂra mekanik dan gerak automaton, lalu melirik ke gugusan kemajuan teknologi yang makin berpengaruh pada kehidupan sehari-hari.
Di museum Jean Tinguely, salah seorang dedengkot ragam seni ini, di Basel, Swiss, misalnya, orang memperoleh bukti meyakinkan mengenai panorama baru hubungan seni-mesin seperti itu. "(Karya) seni adalah mesin," kata seÂorang seniman. Seni yang memasuki hubungan semacam itu tak bisa lagi menjadi seonggok benda yang diam atau statis. Seni pun memproduksi dan menjelajahi gerakan-gerakan fisik.
Salah seorang perupa Indonesia yang boleh jadi menyadari dan mengagumi relasi baru seni-mesin di abad lalu—seperti ditunjukkan secara masif oleh Tinguely—agaknya adalah Heri Dono. Ia mengawali debutnya sebagai seniman yang melanglang buana setelah merampungkan residensi internasional pertamanya di Basel, 1990-1991. Dapat diduga, di masa itulah agaknya terjadi perjumpaan—yang tak pernah terang-terangan terungkap—antara sang seniman dan isi museum Tinguely.
Dalam pameran Motion/Sensation: Indonesian Kinetic Art Exhibition di Edwin’s Gallery, Jakarta Art District, pekan lalu, muncul karya Heri Dono yang hingga kini dapat dianggap paling ikonik. Itulah Watching the Marginal People (2000). Praktek instalatif mekanik-seninya cukup unik. Obyek-obyek serupa patung yang mencitrakan monster-monster ganas ditautkan dan dihidupkan dengan aneka rupa elemen mekanik, gerak, dan bebunyian menjadi kesatuan karya yang khas.
Umumnya Heri mereka ulang teknologi pemutar musik kaset untuk menciptakan sensasi gerak-gerak kecil pada bagian tertentu karyanya. Satuan mesin kecil itulah, misalnya, yang menggerak-gerakkan sepasang bola mata bikinan seraya memproduksi bunyi mencericit. Ihwal menarik lain pada karyanya adalah citra magis mesin-mesin serta barang-barang daur ulang. Citra ketidaksempurnaan, keringkihan, dan penerapan teknologi rendah menunjukkan khazanah idiosinkratis Heri Dono yang bermuara pada keanehan-keanehan dalam karyanya.
Kesan gombal, kotor, dan darurat juga tampak pada karya Handiwirman di pameran ini (Tuturkarena, 2011). Ia mengusung kepala mesin jahit Butterfly yang sudah berumur, mencantelkan tuas kecil berbalut kain gombal hitam dengan jahitan sembarang pada putaran mesin itu, untuk memompa air pada tabung kecil yang terpasang tak kentara. Interaksi penonton dibutuhkan untuk menendang air di tabung, memuncratkan dua percikan kecil melalui lubang jarum pada obyek yang menyerupai raut wajah. "Benda-benda yang saya buat merupakan tokoh rekaan yang bercerita," kata Handiwirman.
Barang-barang tua yang terkesan kusam dan suram tapi menyimpan kehidupan dan tuturan juga muncul, misalnya, pada karya "spesialis koper" Hardiman Radjab, 6.3 Scala Richter dan NATO (2011). Hardiman menampilkan obyek koper butut berukuran besar, dengan tanda-tanda perjalanan, terguncang-guncang oleh sesuatu yang menabrak dinding dari sisi dalam, mengikuti tempo tertentu, disertai derau yang melahirkan kebisingan di ruang pameran. Adapun NATO adalah sebuah koper kecil yang memiliki asosiasi seperti rahang makhluk hidup yang membuka dan menutup karena ayunan beban pendulum di belakangnya.
Lihat juga pekerjaan merakit seniman muda Bagus Pandega (Autism Spectrum, 2011). Seniman ini merangkai peranti musik, seperti pelat rekaman jadul, equalizer, amplifier, pengeras, mikrofon, dan sensor, untuk menciptakan getaran serta memendarkan cahaya lampu dan derau tak nyaman melalui sensor suara.
Lebih bebas dari "kinetik-isme" yang menyimpan tuturan, kita menjumpai hasil rakit-merakit yang lebih rumit pada karya Edwin Rahardjo (Floating Fleets #1, 2011) berupa konvoi sosok robotik bersayap yang digantung oleh temali. Dengan interaksi penonton yang menekan tombol tertentu, robot-robot itu bergerak naik-turun dan mengeÂpakkan sepasang sayap besinya.
Akan halnya Ade Darmawan melalui karya The Organ of Wealth (2011) menampilkan jejeran gerakan mekanis sejumlah mainan yang lazim ditampilkan di dekat mesin kasir di toko sebagai simbol peruntungan. Ade mencopot kepala "robot" kucing dan menempatkannya pada sebuah kotak berdinding cermin, menciptakan bayangan tak terhingga. Yuli Prayitno menciptakan sebuah kursi berbahan karet silikon yang salah satu kaki depannya tak henti bergetar karena tenaga mekanik di bawah permukaan (Kemarin, Kini dan Besok/Kursi Goyang, 2011). Lie Fhung menggantung sejumlah sayap tipis berwarna emas yang saling terhubung oleh tali dan berayun-ayun.
Agus Suwage menyajikan potret sang seniman yang bisa "memuntahkan" gulali melalui gerakan "mesin" yang tak tampak di dalam mulutnya (Gulali, 2004). Wiyoga Muhardanto menyajikan semacam konseptualisme, kecenderungan yang makin kentara dalam karyanya belakangan. Setumpuk dokumen tertulis untuk pameran ini disajikan, diberi lubang, menandai bagian teks-teks yang berputar.
Rudi Hendriatno (Wood Engine, 2011) menampilkan sebuah blok mesin, seluruhnya dari bahan kayu, yang dikerjakan dengan teknik bubut yang cermat, seakan ingin mengingatkan kita akan alam yang berdaulat seperti mesin. Tenaga alam juga yang agaknya dibayangkan oleh Deden Sambas untuk menggerakkan gulungan-gulungan plastik transparan, berwarna-warni, yang menggelinding karena tiupan angin, pada rekaman video karyanya, Kinplasnetik (2011).
Karya seni rupa kita kini tak asing dengan segi kinetik. Namun penjelajahan dan pencanggihan aspek motion yang tak sekadar menampilkan gerak bergoyang-goyang agaknya masih perlu dilakukan oleh perupa kita yang tertarik pada ragam seni rupa ini.
Hendro Wiyanto, kurator seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo