Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Impian (mafia) amerika

Pemain : warren beatty, annete bening penata artistik : dennis gassner, dan nancy haigh penata kostum : albert wolsky sutradara : barry levinson resensi oleh : bambang bujono.

16 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENJAMIN Hymie Siegel memang bukan Henry Ford atau Rockefeller. Sejarah Amerika pun tak akan mencatatnya sebagai penyulap padang pasir menjadi lokasi hiburan beromset ratusan juta dolar. Tapi, sebagaimana film ini bertutur, si Ben inilah yang pertama kali "melihat" padang pasir menjadi lampu-lampu warna-warni, berdesirnya meja rulet, berdatangannya turis dan penjudi kelas kakap. "Inilah jawaban untuk impian Amerika," katanya sambil berlari dari tengah padang menuju mobilnya yang ditunggui oleh pacar dan sahabatnya. Inilah salah satu adegan menarik. Dalam perjalanan pulang ke Los Angeles dari Las Vegas, Ben bertengkar seru dengan pacarnya. Si penaik darah ini pun seketika menghentikan mobilnya di tepi jalan, di tempat yang sejauh mata memandang hanyalah padang-padang kosong. Lalu "Bugsy" Siegel ini meloncat turun dan berlari ke tengah padang sambil terus mengomel. "Mau apa dia?" tanya Virginia Hill, si pacar, pada rekan Ben. "Mencari tempat untuk kencing," jawabnya. Suasana kocak itu mendapatkan kontrasnya ketika tiba-tiba Ben berlari balik, sambil berteriak kegirangan. Rupanya, pada saat ia marah, dari tafril yang kering dan kosong itu tiba-tiba saja ke dalam kepalanya meloncat gagasan bahwa di wilayah Negara Bagian Nevada yang menghalalkan judi itu ia bisa membangun sebuah hotel yang gemerlap dengan segala fasilitas hiburan: dari sekadar musik sampai seks dan judi. Upaya keras Ben mewujudkan impian Amerika itulah yang menjadi fokus cerita film ini. Inilah memang sebuah film epik mafia dengan adegan dan akting yang kaya dan tang kas, yang mencampurkan kekerasan, cinta, seks, glamor, dan ambisi besar. Dengan editing yang menjiwai watak yang hendak di tampilkan: perubahan-perubahan yang kadang kontras, dari lembut ke kasar atau sebaliknya, tanpa nuansa. Coba lihat, sehabis Ben menghajar dengan sadistis seorang pemilik sebuah perjudian karena mencoba menggelapkan penghasilan, lalu begitu saja mengajak makan malam pacarnya, lalu begitu saja si Virginia merangkul Ben yang sedang sibuk di meja makan, menciuminya, dan mereka pun bercinta. Semua itu diawali dengan adegan-adegan awal yang sungguh mirip laporan wartawan televisi, seolah untuk meyakinkan penonton bahwa film ini mencoba bertutur sebagaimana riwayat sebenarnya. Warren Beatty, pemeran Ben dan salah seorang produser film ini, mengaku melakukan wawancara dengan sejumlah orang sebelum menyimpulkan watak peran yang akan dibawakannya. "Ia (Ben Siegel) benar-benar seorang yang berkepribadian ganda. Ia bisa sangat sopan dan tak bicara kasar. Tapi di sisi lain sebaliknya -- ia seorang pembunuh," kata Beatty. Tapi Ben tak cuma terjebak dalam dua kepribadian. Ia pun terjebak atau menjebakkan diri dalam dua dunia. Lihatlah bagaimana sutradara Barry Levinson (filmnya antara lain Rainman yang meraih Oscar) menyuguhkan adegan ulang tahun anak kedua Ben, suatu hari. Di tengah ia sibuk menulis di kue ulang tahun, tiba-tiba komplotannya bertamu, sekadar minta pertanggung jawabannya mengapa sebuah kasino di Las Vegas ia tutup. Lalu si buklah Ben, masih dalam pakaian seorang koki, bolak-balik antara ruang tamu dan dapur. Akhir adegan ini adalah sebuah sepi: Ben tertidur di kursi dengan kepala di meja, dan di meja itulah tergeletak utuh kue ulang tahun anaknya dengan lilin-lilin yang sudah habis nyalanya, tinggal asap. Tapi, di luar beberapa adegan yang liris, di luar permainan Beatty dan Annette Bening sebagai Virginia Hill, rasanya memang ada yang tak muncul dari film yang mendapat 10 nominasi untuk Oscar tapi akhirnya cuma meraih piala untuk tata artistiknya ini. Bugsy rasanya kurang menyentuh perasaan, lebih berbicara pada pikiran. Mungkin Levinson si buk dengan detail, dan agak menyampingkan kesan keseluruhan. Barangkali inilah risiko sebuah epik. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus