Rangkulan Subentra dengan MPEAA mendorong insan film ke DPR. Importir baru pesaing Subentra, konon, dari kubu yang sama. TIGA buah bis berisi sekitar 150 insan film yang tergabung dalam KFT (Karyawan Film dan Televisi), Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia), dan alumnus serta mahasiswa IKJ (Institut Kesenian Jakarta) Jurusan Film, memasuki halaman Gedung DPR-MPR, Kamis pekan lalu. Mereka datang untuk mengadu, dengan hati panas tapi kepala tetap dingin. "Ini menunjukkan, perfilman Indonesia tidak emosional, seperti yang selama ini dituduhkan. Anda lihat, tidak ada spanduk, tidak ada nyanyi-nyanyi," kata Eros Djarot, yang berjalan di barisan depan bersama Sophan Sophiaan dan Slamet Rahardjo. Bintang-bintang yang nampak antara lain Ami Prijono, Widyawati, Rini S. Bono, August Melaz, dan pelawak Tarzan. Mereka diterima Fraksi Karya Pembangunan. Hanya, FKP tak menyangka akan sebanyak itu warga film yang datang, sebab ruang fraksi di lantai enam, yang cuma punya kapasitas 40 kursi, jelas tak muat. Rombongan lantas disalurkan ke ruang pleno DPR, yang lebih luas. Wakil Ketua Komisi I Theo Sambuaga dan Marzuki Darusman pun terpaksa meninggalkan hearing Komisi I dengan Bakin. Begitu pula Krissantono dan Oka Mahendra. Setelah menunggu hampir 50 menit -- jadwal semula pukul 11.00, karena mencari tempat dan menunggu lampu menyala -- akhirnya sidang dibuka oleh Krissantono. Maka, Eros pun tampil sebagai juru bicara. Dalam makalah berjudul "Penjelasan Pemikiran dan Usulan Bersama KFT dan Parfi tentang Perfilman Nasional" -- menurut Eros disusun hingga pukul 03.00 dini hari -- sekali lagi diungkap soal kemelut perfilman nasional, akibat monopoli. Monopoli mengakibatkan budaya sinema Indonesia rapuh dan kehilangan fungsi serta peran sebagai media perjuangan kebudayaan. Film nasional bukan jadi tuan di negeri sendiri, tetapi justru terekayasa jadi tamu. Sebab itu, mereka mengajukan tujuh usulan, antara lain pembinaan film dan televisi mendapat porsi dalam penyusunan GBHN mendatang. Dan mendesak agar praktek monopoli dihapuskan. "Jika DPR bisa membuktikan adanya monopoli, karena de jure lain dengan de facto, itu sebuah prestasi besar," kata Eros bersemangat. Dialog berjalan tertib dan lancar. Dalam tanggapannya, Krissantono mengatakan, melihat masalah perfilman nasional, harus ada persepsi yang sama. "Deppen sering berbeda pandangan, sehingga menimbulkan persoalan, katanya optimistis, jika UU Perfilman yang akan dirancang mulai Agustus mendatang sudah selesai, perbedaan persepsi bisa dieliminir. Jika betul ada monopoli, FKP akan maju ke Deppen. "Kami mesti menegakkan aturan main politik di negeri ini. Monopoli, kecuali dilakukan Pemerintah, tak mendapat tempat di sini," ujar Marzuki Darusman seraya melambai kertas tentang skema monopoli AIF (Asosiasi Importir Film), yang diserahkan Eros sebelum sidang. Aktris Christine Hakim tak ketinggalan angkat bicara. Ia menyorot perlakuan bioskop yang menganaktirikan film nasional. Contohnya, kata Christine, film Buah Hati Mama, yang fully booked di Malang, cuma kebagian putar dua hari. Alasan pemilik bioskop, karena sudah ada jadwal pemutaran film lain. Begitu juga nasib film Tjoet Nya' Dhien. "Jadi, kalau film-film kelas bawah justru bisa main lebih lama, semestinya ini diwaspadai, sebab proses pembodohan sudah menjalar sampai ke pelosok-pelosok daerah," kata pemeran Tjoet Nya' Dhien itu dengan suara bergetar. Pemerintah, menurut Krissantono, tak boleh memihak, agar bisa menjadi wasit yang baik. "Masyarakat bukan bebek-bebek. Maka, jika perkataan dan perbuatan Pemerintah tidak sama, daya kritis masyarakat akan timbul," ujar Krissantono, seperti mengingatkan. Pemerintah, lewat Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kamaruzaman Algamar sudah mengadakan perundingan dengan USTR (United States Trade Representative) yang mewakili pemerintah Amerika, Jumat pekan lalu. Tapi tak banyak hasil. Mulanya Algamar cukup optimistis dapat menggunakan amal baik Indonesia yang mengalah di bidang film untuk memperbaiki kuota tekstil Indonesia di Amerika Serikat. Tapi ternyata Indonesia belum memenuhi janji pada pertemuan bulan April lalu. Nama importir baru sebagai pesaing Subentra yang diharapkan oleh pihak Amerika nyatanya belum ditunjuk oleh Departemen Penerangan. Memang, sebelumnya terdengar kabar angin akan muncul PT ACE, sebagai importir film baru. Barangkali karena itu, Menteri Penerangan Harmoko sempat menegaskan, kalangan perfilman Indonesia tak perlu resah. "Yang penting, bagaimana meningkatkan produksi film nasional. Tidak ada monopoli. Baik asosiasi maupun GPBSI, sudah ada aturannya sendiri-sendiri," ujarnya. Benny Suherman dari Subentra sendiri, ketika ditanya "kemonopoliannya" setelah berangkulan dengan MPEAA, mengingatkan bahwa MPEAA-lah yang menunjuk Subentra sebagai mitra. "Bukan Pemerintah yang menunjuk kami," ucapnya. "Dan yang saya tahu, MPEAA belum menggunakan option-nya untuk memilih importir lain di luar kami. Kami sih nggak apa-apa dia mau grup mana pun. Saya nggak tahu dan nggak perlu tahu. Toh semuanya akan main di bioskop saya juga." Pertemuan insan film dan para wakil DPR usai pukul 14.30. Kata Eros, bekal mereka adalah semangat maraton. "Artinya, kami akan sabar menunggu hasil kerja nyata DPR," ujarnya. Eros masih yakin, apa yang dituntut akan tercapai. Tetapi jika buntu, mereka tak segan melakukan tindakan inkonstitusional. Misalnya, dengan turun ke jalan. "Habis, jalur konstitusional tak tembus? Unjuk rasa kan tidak dilarang, selama itu berjalan tertib?" katanya dengan penuh tekad. Sri Pudjiastuti R. Wahyu Muryadi, Leila S. Chudori (Jakarta), dan Bambang Harymurti (Amerika)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini