Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Citra sosok manusiayang tidak sepenuhnya utuh, dengan wajah tersamarkan oleh cahaya yang datang dari belakanghampir memenuhi bidang kanvas. Lukisan berukuran 150 x 200 sentimeter itu didominasi cokelat tanah dan hitam melalui sapuan besar cat akrilik serta guratan-guratan tajam menggerus latarnya, yang kemudian kita tahu itu dirupakan sebentuk kepala dengan dua tanduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepat di tengah wajah sosok misterius itu menyembul seekor banteng hitam padat, yang dibentuk melalui garis-garis putih halus yang cukup rinci. Pada sudut kanan atas bidang kanvas itu tertulis dua baris kata: "Picasso, Picasso". Karya yang memiliki perpaduan corak berbeda (yang tertib, tenang, dan rusuh) ini merupakan salah satu hasil kerja kolaborasi dua seniman terkemuka, Hanafi dan Goenawan Mohamad. Karya ini sekaligus mewakili kecenderungan teknik dan corak pada hampir semua kerja mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada usia 76 tahun, Goenawan Mohamad (sastrawan, wartawan, dan pelukis) menerima tawaran Hanafi, 57 tahun, pelukis abstrak tersohor, untuk melakukan kolaborasi dalam penciptaan karya-karya seni rupa. Hal yang sangat langka itu disambut Goenawan dengan gembira sekaligus rasa cemas. "Ini pertama dalam hidup saya," ujar Goenawan dalam sebuah perbincangan.
Adapun bagi Hanafi, kolaborasi dengan seniman lain dalam sebuah proyek kesenian bukan hal baru. Hanafi pernah beberapa kali melakukan kolaborasi dengan seniman lintas bidang kesenian, misalnya dengan seniman teater dan tari atau penulis (buku). Tapi agaknya baru kali ini ia melakukannya dengan seniman di bidang yang sama, seni rupa, terutama dalam satu kertas atau kanvas.
Hasil kerja kolaborasi Hanafi-Goenawan sebanyak lebih dari 200 lukisan pada kertas dan kanvas, termasuk karya instalasi, itu rencananya dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, pada minggu ketiga Juni nanti. Hingga kini, keduanya masih berproses menyelesaikan karya bersama itu. Sebagian dikerjakan di Salihara, Jakarta, tempat Goenawan beraktivitas kesenian, sebagian lain diselesaikan di studio Hanafi, di bilangan Depok, Jawa Barat.
Pada acara soft launching pameran kolaborasi yang diberi judul "57 x 76" (menjumput angka dari usia keduanya) itu di Menara Imperium, Jakarta, pertengahan April lalu, terlihat keterpaduan yang unik dari kedua tokoh ini, yang masing-masing memiliki corak yang berbeda. Goenawan-telah empat kali berpameran tunggal-memiliki kecenderungan yang kuat dalam mengekspresikan lintasan pikirannya melalui garis-garis pendek dengan bentuk-bentuk tajam, imajinatif, dan sedikit rusuh.
Pada karya Goenawan bisa kita cermati hadirnya obyek-obyek biomorfisme: manusia, hewan, tumbuhan. Tampak pula di sana benda-benda keseharian di sekitar kita. Tak jarang Goenawan memasukkan unsur kata-kata dalam karyanya, hal yang mengingatkan kita akan gambar-gambar arkeologis pada masa lampau, yang didasari pengamatan yang rinci.
Adapun Hanafi lebih kita kenal sebagai pelukis yang menyerap arus penjelajahan seni lukis abstrak nonfiguratif, dengan sapuan-sapuan warna yang bersemangat menguasai bidang dalam membangun ruang imajinasi kita akan sebuah suasana, tempat, atau benda, yang kemudian memunculkan interpretasi yang kaya dalam diri kita.
Bagi yang telah mengenal karya mereka, tentu tidaklah sulit meraba jejak masing-masing, sekalipun keduanya menyatu dalam kanvas yang sama. Hanafi, yang cenderung meruang, dengan menorehkan blabaran warna, membuat komposisi dalam menguasai bidang. Sedangkan Goenawan mengisinya dengan rincian garis-kadang menghadirkan bentuk yang hanya dengan samar mengingatkan kita pada sosok manusia, hewan, tumbuhan, atau bahkan yang tidak kita kenali demikian.
Kerja kolaborasi ini menarik karena masing-masing tetap membawa coraknya sendiri, tidak menjadi larut atau kehilangan gaya yang telah mereka miliki. Perbedaan keduanya menyatu dalam keserasian dan "hidup" bersama pada bidang kertas ataupun kanvas. Dan memang begitulah proses kolaborasi keduanya berjalan.
Mulanya Hanafi menyodorkan beberapa karyanya yang "belum selesai", kemudian Goenawan merespons dengan menorehkan garis, warna, ataupun teks yang menjadikannya karya yang utuh dan rampung. Demikian pula sebaliknya. Goenawan menyodorkan beberapa hasil goresan atau sapuannya pada kanvas sebagai karya awal, berikutnya Hanafi merespons melalui sapuan warna atau goresan kuas. "Ibarat saya menyediakan cangkir dan Mas Goen yang mengisinya, atau saya yang meracik dan memasak makanan, GM yang menyediakan nampannya," tutur Hanafi.
Bagi Goenawan, kolaborasi seperti itu sejalan dengan proses kreatifnya selama ini. Kerja seni rupa, sebagaimana dalam menulis puisi, lebih semacam persentuhan dirinya dengan dunia luar dan kita melalui pengindraan yang dimilikinya. Berhadapan dengan kanvas, garis, warna, dan bentuk seperti membangun percakapan yang pribadi dengan lintasan pikiran, ingatan, juga pengalaman. Di sanalah proses kreatif bergerak bebas.
Itu sebabnya pada karya-karya kolaborasi ini kita bisa melihat topik atau tema yang tidak terbatas. Lintasan pikiran yang menjadi dasar penciptaan kedua seniman ini tampak dipengaruhi kekayaan referensi dan pengalaman sejarah masing-masing, baik terhadap tokoh maupun peristiwa. Misalnya sosok seperti "Picasso" itu, penari tradisional, wayang, tubuh, dan perempuan.
Bukan hanya manusia dan peristiwa yang mendasari karya-karya Hanafi dan Goenawan. Pelbagai jenis hewan menempati tidak sedikit ruang imajinasi mereka, misalnya sapi, kuda, macan, burung, dan ikan, juga benda-benda keseharian, seperti gitar dan bejana.
Yang menarik dari kerja kolaborasi ini adalah sikap berbagi-yakni berbagi ego kesenimanan. Sejak awal, keduanya telah membuka diri bahwa karyanya diintervensi, sekaligus belajar menghormati antara satu dan yang lain. Goenawan, yang selama ini lebih banyak akrab dengan coretan pensil, tinta, serta warna-warna monokromatik dan cenderung kelam, pada kanvas kolaborasi ini agaknya mulai banyak berteman dengan bidang warna. Dan tentu saja ini pengalaman yang baik, yang bisa mempengaruhi karya-karyanya di masa mendatang.
Bagi Hanafi, sebagian besar karya figuratif dari garis-garis lepas yang dibawa Goenawan sebagai karya awal tentu juga bukanlah persoalan yang gampang untuk direspons. Pada beberapa karya itu, tampak terbaca Hanafi seperti menahan diri agar tak melakukan sapuan kuas pada bidang kertas atau kanvas sebagaimana yang biasa dia kerjakan. Ia tampak lebih hati-hati agar tak malah "merusak"-nya.
Lain halnya pada Tiap Garis Adalah Metamorfosis, yang sangat kentara lebih menampilkan corak kerja Hanafi ketimbang mereka berdua. Blabaran warna, simbol-simbol (+), ataupun bentuk-bentuk yang ada pada kanvas itu lebih sebagai watak rupa pelukis asal Purworejo ini. Dan Goenawan sepertinya sengaja membiarkan karya yang dianggapnya sudah "utuh" ini. Ia tak banyak "mengintervensi"-nya.
Kolaborasi Hanafi-Goenawan ini seperti menegaskan bahwa kerja seni tidak selamanya lahir dan dituntun oleh sebuah konsep yang tunggal dan selesai. Keduanya sepakat mengerjakannya sebagai bagian dari "dorongan bermain": dorongan yang muncul dari dalam akibat adanya stimulan di luar diri yang bersentuhan dengan imajinasi atau sekadar lintasan pikiran yang berlompatan.
Eksperimen kerja sama dalam berkarya ini merupakan sumbangan berharga bagi dunia seni rupa yang terus bergerak.
S. Malela Mahargasarie
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo