Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Jejak Lasem Oh Hong Boen

Di Can’s Gallery, F.X. Harsono alias Oh Hong Boen menampilkan karya-karya instalasi, foto, dan lukisan yang memotret perempuan Tionghoa dan jejak Tionghoa di Lasem.

6 November 2022 | 00.00 WIB

Lukisan FX Harsono berjudul “Jejak Nenek Moyang” yang dipamerkan di Can’s Gallery, Jakarta. Agus Dermawan T
Perbesar
Lukisan FX Harsono berjudul “Jejak Nenek Moyang” yang dipamerkan di Can’s Gallery, Jakarta. Agus Dermawan T

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DI ruang pameran Can’s Gallery, Jalan Tanah Abang II nomor 25, Jakarta, F.X. Harsono—yang bernama asli Oh Hong Boen—memajang gaun pengantin Eropa. Busana sutra putih model 1950-an itu digantung menjumbai di depan deretan 30 foto keluarga Tionghoa tempo doeloe. Di dua sisi gaun dan deretan foto tersebut ter-display patung kepala rusa. Lalu, lihatlah, di lantai dekat situ tertata enam koper kuno yang “menyembunyikan” neon sign berbentuk tulisan: “Walau-Sulit-Keadaan-Kita-Tetap-Setia”.

Seni instalasi cantik yang berjudul Jejak Pengantin ini tentulah pengkontemporeran tradisi kuno yang membawakan perkawinan adat Tionghoa. Upaya pengkontemporeran itu dimanifestasikan lewat bentuk-bentuk yang diberangkatkan dari kebebasan penafsiran dan penyimbolan. Mengingat F.X.—begitu masyarakat seni rupa memanggil—adalah seniman yang hidup dengan kaki yang (dipaksa) menjejak dua wilayah kebudayaan. Ia hidup dalam kebudayaan Tionghoa lama yang diam-diam ditawarkan sebagai warisan dan kebudayaan Indonesia Orde Baru yang pernah 32 tahun terang-terangan mengajaknya untuk melupakannya.

Namun, sejauh-jauh penafsiran, F.X. mampu mengaitkan ciptaannya dengan ingatan tradisional. Jajaran foto sephia nenek moyang mengajak kita mengetahui bahwa dalam tradisi Tionghoa perkawinan bukan semata bentuk upacara kulminasi asmara, tapi juga perwujudan dari xiao atau rasa bakti anak kepada orang tua dan leluhur. Ihwal itu ditegaskan lewat sepasang patung kepala rusa, lambang kesetiaan yang membawa kebahagiaan. Dalam tradisi aslinya, rusa ini disebut sebagai shuangxi, atau double happiness.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Lukisan FX Harsono berjudul “Jejak Tradisi #2” yang dipamerkan di Can’s Gallery, Jakarta. Agus Dermawan T

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Adapun enam koper berisi cahaya itu boleh dibaca sebagai sangjit atau seserahan yang biasanya diberikan oleh pihak pengantin lelaki kepada pengantin perempuan. Apabila biasanya sanjit berupa kain, pakaian, sendal, sepatu, angpau, dan buah-buahan, koper sangjit F.X. berisi cahaya petuah yang menguatkan.

Seni instalasi Jejak Pengantin ini hadir menghibur, baik secara visual maupun konten, terutama bagi yang pernah melihat instalasi F.X., Pengantin Mei. Karya itu menggambarkan tubuh pengantin perempuan tidur melayang dengan jarum-jarum yang menghujani dari langit. Sebuah gambaran metaforis tentang pengantin Tionghoa yang dihunjam tragedi sosial-politik Mei 1998. Ada pula seni instalasi Ranjang Hujan yang menawarkan cerita teatrikal: kenyerian pelaminan pengantin Tionghoa. Ranjang anggun itu menyimpan citraan hujan darah di balik kelambunya.

Maka karya F.X. yang acap diwarnai cerita suram dan ditaburi rasa geram seperti dipulas ceria lewat pameran ini. Semua karya yang dipajang tampil gembira, bahkan dengan ornamentasi nan manis. Di dalam pendekorasian itulah FX menyiratkan pesan dengan mengaitkan jejak historis.

Instalasi “Jejak Pengantin” karya FX Harsono yang dipamerkan di Can’s Gallery, Jakarta. TEMPO/Magang/Daffa Sidqi

Lukisan Jejak Tradisi #2, misalnya, yang menggambarkan seorang perempuan muda sedang bersembahyang dengan hio. Di belakangnya tampak dua perempuan lain sedang melakukan aktivitas yang berbeda. Wajah mereka bahagia. Kita pun membaca lukisan itu sebagai titipan pikiran: betapa kini tradisi Tionghoa sah untuk setiap saat berkelindan. Pada Jejak Nenek Moyang, F.X. memunculkan karya parodi yang melukiskan seorang nenek mendadak menjadi muda dan cantik sekali, lalu berpose seperti Raden Ajeng Kartini.

Pameran tunggal bertema “Jejak” ini, yang digelar sampai 13 November, diberangkatkan dari ketergugahan F.X. saat membaca buku Geger Pacinan: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC (Daradjadi, 2013). Terutama pada bab “Perang Kuning” yang menguak fakta pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia pada 1740. Dalam buku dikisahkan bahwa sebagian yang selamat dari pembantaian brutal itu lari ke Lasem, Jawa Tengah. F.X. pun melongok Lasem. Di kota ini memang ditemukan banyak rumah kuno bergaya Cina milik orang Tionghoa. Ia pun melacaknya. Dari yang banyak itu mengerucut menjadi tiga, yang lantas dijadikan sumber inspirasi karya F.X., yaitu Roemah Oei, pabrik tegel milik Nyonya Liu, dan rumah keluarga Frida Tan Bwan Nio.

Diketahui bahwa para perempuan yang menghuni rumah kuno itu berusaha menjaga artefak warisan leluhur dengan sekuat tenaga. Walau mengikuti perjalanan waktu, artefak itu tidak semurni-murninya menjunjung adat budaya Tionghoa, karena juga menyerap adat budaya Jawa. Budaya kolonial pun diserap, terbukti dari gaun pengantin Eropa yang dipresentasikan dalam Jejak Pengantin. Dengan demikian, gaun cheongsam merah sebagaimana tradisi oleh kalangan Tionghoa sekali-sekali tersisihkan.

Beberapa lukisan “Jejak Tionghoa” karya FX Harsono yang dipamerkan di Can’s Gallery, Jakarta. Agus Dermawan T

Namun ada satu karya yang melompat dari Lasem, Nama dari Penyintas Terakhir. Visual karya ini sederhana: kebaya encim yang menutup samar foto wajah perempuan tua dan sebidang merah bertempel taplak renda bersulam tulisan “Tjoa Er Ries”. “Nyonya Tjoa ini tinggal di Wonosobo dan wafat pada Juli 2022. Dia penyintas dari peristiwa pembunuhan orang Tionghoa yang dilakukan oleh Lasykar pada 1948-1949 di Wososobo. Seram ceritanya,” ucap F.X.

Dalam pengantar kuratorial, Alia Swastika menguak sejarah dan latar belakang terjadinya pengimpitan posisi perempuan Tionghoa dan menghubungkannya dengan kreasi F.X. Ia menulis: “...tema ‘perempuan Tionghoa’ ini harus dilihat dalam posisinya yang kritis dan dikaitkan dengan pembacaan politik identitas. Serta dengan kesadaran bahwa ada konstruksi sosial-politik yang membuat tubuh perempuan dilihat dalam kategori dan identifikasi tertentu melalui tatapan luar”.

Terkait dengan pengantar itu, saya mengartikan bahwa karya-karya F.X. yang menggali ihwal “perempuan Tionghoa” adalah sebuah upaya menjadikan perempuan Tionghoa tegak menjadi subyek, setelah begitu lama hanya dianggap obyek. Ini merupakan perlawanan kesekian ribu kali dari anggapan klasik yang menyebutkan perempuan hanya kata-kata, sedangkan perbuatan adalah pria. Ini bagai pengulangan penyair metafisis Inggris abad-17, George Herbert.

Potret diri FX Harsono alias Oh Hong Boen. Agus Dermawan T

“Karena itu, dalam karya saya kali ini perempuan Tionghoa tidak hanya diangkat kembali ke posisinya yang mulia, tapi juga dipertunjukkan perannya, dan diperkenalkan dimensi sejarahnya,” tutur FX, penerima Anugerah Adhikarya Rupa (Indonesia), Prince Claus (Belanda), dan Joseph Balestier (Singapura).

Lalu di sehamparan dinding terpampang lukisan berjudul Jejak Perempuan Tangguh #1. Lukisan akrilik ini menggambarkan seorang perempuan Tionghoa di kala remaja dengan berhias topi jelita, di kala sudah menjadi ibu dengan sarung dan kebaya, sampai sesudah ia menjadi emak-emak. Perjalanan hidup itu dilewati dengan wajah teguh dan diakhiri dengan senyum di ujung usia. Nama Frida Tan Bwan Nio lantas tertera di atas sulaman renda. Adapun pada Jejak Perempuan Tangguh #2 terlihat seorang perempuan muda sedang menjahit dalam setting merah jambu. Kemudian si perempuan menjadi tua, punya anak, dan si anak menjadi dewasa. Sejauh zaman dilewati, sang perempuan tangguh itu tetap saja orang Tionghoa.

Pameran juga menyuguhkan satu ruang untuk pemutaran video yang berisi percakapan antara Bernie Lim (lahir 1940-an) dan Anne Sakka (lahir 1980-an). Dua perempuan itu mengobrol santai mengenai posisi keduanya sebagai perempuan Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia. Jejak nasib keduanya memang sangat berbeda.

F.X. Harsono lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 1949. Ia satu-satunya perupa Indonesia yang serius meneliti dan mempresentasi jagat Tionghoa Indonesia dalam seni rupa. Ia melakukan penelitian itu kapan saja. Meski tanpa bantuan ahli kwamia atau dukun penghitung hari baik, hasilnya selalu menarik bagi yang menggemari sejarah, bahkan bagi yang masa bodoh terhadap sejarah. Masih kurang percaya? Baca saja buku FX Harsono: Sebuah Monografi susunan Hendro Wiyanto. Buku ciamik bertebal 532 halaman tersebut juga dipajang dalam pameran ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Agus Dermawan T

Agus Dermawan T

Pengamat seni

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus