Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jose Carosta di Masa SBY

Ken Zuraida menyutradarai Mastodon dan Burung Kondor. Masih relevankah naskah Rendra yang mengundang kontroversi pada 1970-an ini?

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teolog Th. Sumartana pada 1973 pernah menyebut Jose Carosta mirip Yesus. Tokoh utama dalam lakon Mastodon dan Burung Kondor itu adalah anak muda karismatis yang menentang rezim militer, sedangkan Kristus melawan Pilatus. Sementara Kristus tak setuju dengan cara pemberontakan berdarah melawan penjajahan Romawi yang dilancarkan kaum Zealot dan Barnabas, Jose Carosta menolak mahasiswa anarkistis yang hendak menggulingkan pemerintah dengan jalan revolusi.

Jose Carosta adalah pemuda kontroversial pada 1970-an. Beberapa pengamat menyebut pandangannya terlalu Katolik. Atau agak spiritual kejawen. Ia, misalnya, tak menyerukan mahasiswa berorganisasi, mengawasi pemilu, mendirikan institusi demokrasi, tapi mengajak anak-anak muda gondrong kembali ke alam, membangun komunitas-komunitas underground. Membangun kantong-kantong eksperimen yang tak mematuhi negara. Membangun subkultur.

Dan hampir 40 tahun kemudian, Ken Zuraida ingin menghidupkan sosok Jose Carosta yang bak nabi itu. Naskah ini, entah mengapa, hampir tak pernah dipentaskan oleh kelompok teater kita. Ken tidak mencoba merombak dan mengkontekstualkan naskah dengan masa kini. Ia hanya mengganti tokoh Pedro Aros yang oleh Rendra dimainkan lelaki menjadi Dolores Aros (perempuan). Ken agaknya mencoba mengetes apakah naskah ini masih tajam taringnya, apakah visi-visi Jose Carosta masih menggedor.

Tentunya Ken mafhum bahwa naskah itu bagian dari spirit zaman saat itu. Masa itu adalah masa flower generation. Di jagat perteateran Amerika, semenjak 1960-an muncul Living Theater—teater radikal yang dipimpin pasangan Julian Beck dan Judith Malina. Mereka mendeklarasikan bahwa teater sesungguhnya adalah bentuk pernyataan politik, bukan sekadar pertunjukan salon atau pentas komersial Broadway.

Pada zaman itu muncul pula drama musikal Hair, kisah anak-anak muda hippies yang menolak kemapanan, perang, dan mengusung ide pasifis, environmentalis. Pasti, saat kuliah di Amerika, Rendra menyerap semua gagasan pembangkangan kultural tersebut. Sebab, suasana seperti itulah yang meresapi Mastodon dan Burung Kondor. Ia tentu juga menyerap informasi-informasi gerakan teologi liberal yang bergolak di Amerika Latin. Tak mengherankan bila setting Mastodon dan Burung Kondor adalah Amerika Latin.

Dan malam itu Ken memasrahkan peran Jose Carosta kepada aktor muda asal Bandung, Totenk Mahdasi Tatank. Totenk langsing, tinggi, berambut panjang. Ia mengenakan celana jins lusuh yang brodol di lutut. Ia mengenakan syal yang dililitkan ke leher. Ia berusaha gagah. Namun gayanya kerendra-rendraan. Caranya menyampaikan khotbah kebudayaan mengingatkan kita kepada gaya sang Burung Merak pada saat deklamasi.

Aku percaya jalannya perubahan berdasar perkembangan kematangan kesadaran. Perubahan yang mendadak yang ditimbulkan revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu. Perubahan yang mendalam selalu makan waktu. Perubahan yang dilakukan dengan paksa akan menimbulkan sakit jiwa masyarakat.

Kita tahu kalimat-kalimat itu sesungguhnya adalah keyakinan-keyakinan pribadi Rendra. Jose Carosta adalah perwujudan Rendra itu sendiri. Pikiran Carosta adalah pikiran Rendra sendiri. Bila dibawakan oleh aktor lain yang tak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Rendra, hal itu pasti akan mengingatkan orang kepada sang penyair. Dan itulah yang terjadi. Totenk seakan-akan tidak menjadi dirinya atau menjadi Jose Carosta dengan karakter lain.

Apalagi beberapa kritik terasa kesiangan. Manakala Jose menyerang pembangunan, kita tahu semua itu sudah menjadi pengetahuan umum. Ketika para mahasiswa mengobarkan semangat aksi, kita tahu saat reformasi semua itu telah mencapai puncaknya. Pada 1973, sehabis menonton Mastodon, Emha Ainun Nadjib menulis di koran Berita Buana. Ia merasa unek-unek sosialnya terlepas semua. Kita tentu saja tidak. Banyak problem baru yang tak disentuh naskah itu. Krisis kenegaraan kita telah mengarah ke dimensi lain yang lebih pelik karena berjalan di atas rel demokrasi. Dari korupsi Nazaruddin sampai penodaan agama. Kritik yang disampaikan Mastodon menjadi terlalu general. Toh, beberapa bagian tetap menarik, terutama keyakinan-keyakinan antikekerasan masih terasa awet.

Saya bukan Rendra. Ini versi saya. Saya tidak mau mengkopi atau mencontoh dia, kata Ken. Ken mengaku mengalami perenungan-perenungan ganda untuk menggarap lakon ini. Bagi saya, hubungan saya dengan Rendra sangat rumit. Saya hanya menyerap spiritnya.

Untuk pementasan ini, Ken tak kenal lelah mengumpulkan sekitar 60 anak muda gabungan aktor dan pemusik. Sebagian pernah menjalani kehidupan di Bengkel Teater dan kemudian tercerai-berai. Hanya ada dua aktor senior yang ikut, yaitu Awan Sanwani dan Iwan Burnani. Iwan adalah satu-satunya aktor yang pernah ikut pentas Mastodon pada 1973. Zaman Iwan dulu, Bengkel Teater berproses satu tahun, sedangkan teman-teman sekarang hanya dua setengah bulan, ujar Ken. Ken menggembleng mereka dengan workshop dari pukul setengah enam pagi hingga sepuluh malam setiap hari. Tapi baru dalam dua setengah minggu terakhir formasi pemain dapat lengkap.

Ken mengatakan banyak yang mengundurkan diri di tengah jalan. Pemeran Jose Carosta, misalnya. Itu sampai empat kali ganti. Totenk Mahdasi dianggap Ken cukup kooperatif dan adaptif. Saya pernah mendapat calon aktor pemeran Jose Carosta dengan vokal yang bagus, tubuh tinggi tegap. Tapi dia hanya bertahan satu bulan. Menghilang di tengah latihan.

Musik dipercayakan Ken kepada S. Lawe Samagaha. Pada 1970-an, musik yang digarap Max Palaar hanya dengan iringan gitar dan snare drum. Mulanya, Ken menginginkan komponis Wayan Sadra yang menangani musik, tapi Sadra keburu pulang ke rahmatullah. Di tangan Lawe, drama ini kemudian diiringi lagu-lagu berbau Amerika Latin. Guantanamera, No Volvere, sampai El Condor Pasa yang dipopulerkan oleh Simon dan Art Garfunkel disenandungkan. Satu lagu Max Palaar yang syahdu berjudul Kuda Putih dipertahankan untuk ending.

Skenografi juga berubah total. Menurut Ken, pada zaman Rendra dulu, set sangat sederhana, hanya berupa tumpukan level kayu. Sedangkan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, penata artistik Aidil Usman membuat set seperti konstruksi-konstruksi bangunan yang tidak selesai. Ia membuat panggung dua tingkat dengan undak-undakan. Border-border pada sayap kiri dan kanan panggung Graha semuanya dilepas hingga membuat panggung terkesan luas. Set buatan Aidil mampu membuat pergerakan dan bloking pemain yang turun-naik enak dipandang.

Sayangnya, tidak sedari awal energi pertunjukan meledak. Baru ketika Awan Sanwani yang berperan sebagai Kolonel Max Carlos berpidato, intensi permainan terangkat. Bagian tercantik adalah adegan ketika mahasiswa berikrar sembari menyalakan obor-obor. Yang masih saya pertahankan dari pertunjukan Rendra dulu adalah pemakaian obor oleh mahasiswa-mahasiswa itu, kata Ken.

Iwan Burnani ingat bagaimana ia pada 1973 terlibat dalam pentas Mastodon. Usianya masih 19 tahun. Awal mula Rendra menulis naskah ini adalah ketika Rendra membuat perkemahan kaum urakan di Parangtritis pada 1971. Mas Willy tidak sekali jadi menulis ini, kata Iwan. Naskah Mastodon menurut dia bukan naskah utuh yang sudah lengkap dramaturginya. Ia ingat Rendra menulis dialog satu per satu, terus dibagikan kepada anggota teater. Kami diberi satu per satu. ‘Hafalkan dialog ini,’ begitu katanya, tutur Iwan. Menurut Iwan, ia dan teman-temannya hanya menerka-nerka bagaimana alur ceritanya nanti. Begitu semua pemain bertemu, menyambungkan dialog demi dialog, baru ketahuan alur ceritanya.

Pada masa Soeharto, pentas Mastodon diakui Iwan sangat berani. Tajam. Drama itu dilarang ditampilkan di Universitas Gadjah Mada, tapi bisa dipertunjukkan di Sport Hall Kridosono, Yogya, dan Istora Senayan, Jakarta, dengan jumlah penonton ribuan. Drama ini membikin heboh sampai Panglima Kopkamtib Sumitro turun tangan. Pementasan ini kemudian dianggap ikut memicu meledaknya kerusuhan Malari. Pada 15 Januari 1974, mahasiswa menggalang demo menentang masuknya modal asing. Pada saat bersamaan, terjadi pembakaran gedung oleh massa di beberapa sudut Jakarta. Diketahui, tokoh Malari, Hariman Siregar, akrab dengan Rendra.

Walhasil, dialog-dialog di Mastodon membuat kita tetap bisa merenung, di setiap periode sejarah selalu terjadi pertempuran antara anarkisme dan dogmatisme. Dan di antara dua kutub ekstrem itu selalu terdapat kerinduan-kerinduan untuk menemukan jalan alternatif yang mencerahkan. Di tengah kebanyakan pentas teater akhir-akhir ini yang cenderung dangkal dan banyak mengumbar tawa, pertunjukan ini meski kurang gereget tapi terasa lain.

Pertunjukan pada malam itu akhirnya seperti pentas untuk membaca ulang jalan pikiran Rendra yang terus dipegang sampai titik hayatnya. Kita diajak menyelami pikiran-pikiran kebudayaan Rendra yang mungkin bagi kalangan ilmu sosial atau politikus dipandang terlalu kurang strategis.

Di akhir tulisannya pada 1973 itu, Th. Sumartana menulis bahwa keyakinan-keyakinan Jose Carosta demikian memikat tapi naif dalam merumuskan sikap. Ia terlalu murni. Ia terlalu antilembaga. Mungkin Sumartana benar. Tapi, di tengah zaman ketika lembaga dan partai politik kehilangan kepercayaan publik seperti sekarang ini, ide Carosta meski romantik tetap perlu.

Seno Joko Suyono, Ismi Wahid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus