Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko Supriyanto bergegas masuk. Berkostum serba hitam, baju lengan panjangnya terbuka tak dikancing. Dalam keheningan dengan sorot lampu biru temaram, di lobi gedung museum dan galeri NuArt Sculpture Park, Bandung—milik pematung kondang Nyoman Nuarta—Sabtu malam, 10 September 2016. Kepalanya tengadah sambil mengangkat tangan kiri secara cepat. Tangan kanannya yang terentang lurus kemudian bertemu dalam sekali ayunan di depan dada.
Selanjutnya, kedua tangan koreografer itu serempak menusuk udara di atas kepala, lalu berkelebat sambil memutar tubuh diikuti gerakan memukul. Sekitar lima menit, Eko mengekspresikan tubuhnya dengan gerakan tari kontemporer yang berbasis gerakan pencak silat.
Setelah itu, enam penarinya yang semua lelaki muncul bergiliran. Awalnya seorang penari dengan gerak perlahan melangkah sambil kedua tangannya seperti menggenggam tongkat panji-panji. Setelah memutar badan, ia jungkir-balik bergulung-gulung sambil kakinya tetap tertekuk dengan posisi duduk bersila. Mengarah ke berbagai penjuru arena, penari itu seperti bola yang menggelinding. Gerakan itu secara bergantian diikuti penari lain. Setelah itu mereka berdiri mematung, lalu bergerak kompak, menari dengan beragam jurus silat.
Gerak langkah penari itu kadang maju, mundur, menyerong, berputar badan, lalu berposisi menyerang. Jika ditarik garis, pola gerakan tari karya Eko yang berjudul tra.jec.to.ry itu membentuk lingkaran. Langkah itu diambil dari jurus silat yang dianut Eko dan keluarganya, yakni Budaya Mataram Indonesia (Bima), yang perguruan silatnya berpusat di Yogyakarta sejak 1953. Agar bisa menerapkan langkah gerakan dengan benar, ada sembilan arah yang membentuk pola melingkar. Gerakan tarian itu diiringi dentuman musik disko modern.
Karya silat Eko itu disajikan dalam sebuah pementasan bertajuk "Pesona Silat Jawa-Minang". Dari tanah Minangkabau yang tampil adalah koreografer Ali Sukri. Ia datang bersama enam orang penari yang semuanya juga lelaki. Menurut Eko, ide pementasan bareng itu berawal dari penata artistik Ali Sukri yang disampaikan ke Eko ketika mereka berbincang di Wisma Seni Surakarta pada 2015. Gagasan itu muncul karena Eko dan Ali punya karya tari berbasis gerakan silat, dan keduanya belajar silat sejak kecil.
Adapun Ali Sukri menyajikan tarian berjudul Tonggak Raso. "Tonggak raso artinya fondasi rasa atau jiwa. Silat itu berbicara dengan rasa agar kewaspadaan tak hilang," katanya. Tonggak Raso memakai properti enam meja berangka besi. Setiap meja dengan total delapan kaki pada dua sisi, berpapan cermin bolak-balik. Sebagian besar kacanya retak dipakai berlatih sehingga banyak ditempeli lakban hitam. "Kaca itu sebuah pantulan bayangan rasa di dalam tubuh," ujar koreografer kelahiran 1978 itu.
Meja kaca tersebut di awal pertunjukan dikelilingi penari yang duduk bersimpuh. Seorang penari kemudian bangkit, pasang kuda-kuda sambil tetap merunduk, tangan telah bersiap menyerang, lalu berdiri tegak sambil melayangkan tendangan kaki kanan ke depan. Meja-meja cermin itu selanjutnya diinjak pada bagian kaki atau kerangkanya, kadang dipasang berdiri seperti cermin lemari. Salah satu keinginan Ali menembakkan bayangan pantulan kaca ke latar belakang area pertunjukan tak jadi dilakukan karena tempatnya kurang luas. Bayangan yang berkelebat itu dijadikan simbol keragaman tari di dunia.
Tarian kontemporer berbasis gerakan pencak silat, menurut Eko dan Ali, bukan menarikan jurus bela diri. Kedua karya itu bertujuan menggali ekspresi tubuh dari hasil mempelajari gerakan silat. Bagi keduanya, gerakan silat yang mereka pelajari sejak kecil telah merasuk dan bisa keluar dengan sendirinya ketika berlatih olah tubuh hingga berkreasi gerakan tari kontemporer. Pengalaman itu dirasakan Eko ketika belajar tari dan melanjutkan studi di Amerika Serikat pada 1998-2001.
Eko belajar silat di perguruan Bima yang dikelola keluarganya di Magelang, Jawa Tengah, ketika sekolah menengah pertama, pada 1981-1982. Karena badannya pendek dan kecil, ia dikelompokkan ke karakter jurus ular. Lalu, ketika sekolah menengah atas, ia mengaku suka berkelahi dan mencari musuh. Ketika mulai belajar menari dan kuliah di kampus Institut Seni Indonesia, karakter Eko berubah. "Saya jadi merasa takut untuk berantem atau melihat darah," katanya. Namun ajaran silat masih mendekam di tubuhnya. Dulu dosen atau teman sebelah tidak berani membangunkannya ketika tertidur di kelas. Sekali disentuh, Eko bisa tergugah sambil refleks memukul.
Ali Sukri, yang belajar silat dari keluarganya sejak sekolah dasar, menyadari pentingnya gerakan jurus untuk dikembangkan sebagai tarian modern pada 2014. Saat itu ia berkesempatan mengikuti American Dance Festival dan ikut pelatihan di sana selama tiga bulan. "Saya pelajari modern dance dan balet. Kenapa tradisi silat ini tidak dikembangkan lagi untuk dijadikan modern?" ujarnya. Sejak itu ia mulai mengemasnya hingga sebagian mulai muncul dalam karya tari berjudul Puisi Tubuh. Sebelumnya, selama ini ia mengaku menciptakan tari modern menurut kesukaan anak muda.
Karena berpijak pada gerakan silat, terhitung jarang muncul gerakan lambat dan bertele-tele pada kedua tarian tersebut. Diiringi musik yang dinamis ataupun rancak, gerakan cepat dan bertenaga mendominasi pertunjukan sehingga tak terasa membosankan. Penonton diajak menikmati paduan gerakan tari yang gemulai dan berformasi dengan kekuatan jurus nan sigap. Pencak silat pun terkesan menjadi sebuah kesenian yang indah.
Latihan menari, menurut Eko, dibutuhkan waktu empat-enam bulan sejak Mei 2016. Fisik para penari digenjot di Sungai Progo ketika air surut. Mereka harus berlari di atas pasir sungai serta melakukan sit-up dan push-up, sejak pukul 2 siang hingga 5 sore. Malam harinya, mereka belajar dasar pencak silat di rumah keluarga Eko di Magelang.
Ali pun mengirim para penarinya berguru silat ke tiga tempat dan menginap di padepokan. Di Solok, mereka belajar Silek (silat) Tuo, Silek Kumango di Batu Sangkar, dan Silek Randai Uluambek di Padang Pariaman. Setelah itu Ali mengajak semuanya masuk ke studio dan merasakan ulang selama tinggal di padepokan silat. "Kemudian diinterpretasikan menjadi bentuk diri, motif-motif tarian yang panjang, dan dikemas sebagai sebuah pertunjukan," ujarnya.
Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo