Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Oray-orayan Tisna

Tisna Sanjaya tak lelah berhenti bicara tentang seni karuhun. Instalasinya berupa ular-ularan menarik.

19 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hacim... hacim... hacim...!" Bersin sahut-menyahut di ruang pameran lantai dasar Erasmus Huis, Jakarta, Ahad pekan lalu. Serbuk arang, kayu manis, kunyit, cempaka, hingga merica beterbangan di udara, menggelitik hidung penonton. Serbuk-serbuk itu adalah elemen utama dalam seni performance Tisna Sanjaya bersama Komunitas Jeprut asal Bandung.

Tisna dan anggota Komunitas Jeprut, juga beberapa penonton, menari-nari mengelilingi selembar kanvas putih ukuran sekitar 3 x 2 meter, ditingkahi tembang Sunda. Di atas kanvas, terbentang kelambu hitam. Sejumlah lesung tersusun rapi memagari kanvas. Lesung-lesung itu berisi butiran beras, serbuk arang, dan berbagai rempah lainnya.

Mula-mula Tisna melaburkan cat putih di atas kanvas. Tiga pria lalu membuka semua pakaian mereka, kecuali celana pendek, lalu berbaring dalam pose berbeda-beda di atas kanvas. Para penari yang terus bergerak mengitari kanvas kemudian melemparkan serbuk-serbuk dari dalam lesung ke atas kelambu, jatuh ke atas tubuh-tubuh meringkuk itu. Terciptalah lukisan tubuh dengan tekstur dan warna alami: hitam, cokelat, kuning, dan putih.

Seni karuhun atau seni nenek moyang, begitu Tisna menyebut pertunjukan yang jadi pembuka pameran bertajuk "Siklus Abu" itu. Tisna membawa berbagai hasil bumi ke ruang pameran. Rempah-rempah, beras, jagung, ubi, pisang, dan kacang ia pamerkan. Begitu pula hasil kerajinan tangan seperti nyiru, wadah nasi, dan kipas dari anyaman bambu.

Dia membuat dua lukisan, lima etsa, dan empat instalasi untuk pameran yang berlangsung hingga akhir Oktober itu. Pria 60 tahun ini menggantungkan plastik-plastik putih menggelembung di puncak tiang kayu. Tak ada indahnya, hanya plastik pembungkus biasa yang diikat karet di ujungnya. Tapi, di plastik itu, Tisna menggoreskan kalimat "Seni adalah Doa" dan "Agama adalah Helaan Nafas".

Karya Tisna yang paling kuat dan detail dalam pameran itu adalah Oray-orayan. Instalasi ini diberi nama sesuai dengan permainan tradisional ular-ularan yang biasa dimainkan anak-anak Sunda. Tisna membangun sebuah struktur serupa pohon dari galon-galon kosong. Galon tersambung dengan slang pada kendi-kendi tanah liat dan botol air mineral berisi air dari 99 sumber mata air di Bandung Selatan. Tiap botol dilabeli nama tempat air itu berasal: Situ Gunting Mak Oneng RT 03/01, Cibeu­reum Bu Elis, Cigandeweh Hj. Iroh, dan seterusnya. Mata air alami yang jadi sumber hidup masyarakat seolah-olah disedot oleh korporasi minuman kemasan.

Simbol perusahaan-perusahaan pencemar juga dihadirkan lewat bentuk badan dan kepala naga yang membelit pohon itu. Mulut naga yang terbuat dari susunan dandang, kuali, dan kompor dibuat menganga, siap melahap apa saja. Tisna ingat, dulu Bandung Selatan pernah jadi wilayah yang kaya air bersih. Saat mengumpulkan air dari 99 sumber itu, ia menemukan banyak sumur telah mengering dan airnya kotor.

Gagasan Tisna dalam pameran ini tidak baru. Berulang kali ia menampilkan pameran yang merefleksikan kerusakan lingkungan. Ia pernah membawa tiga ton sampah Sungai Cigondewah untuk dipamerkan di University Cultural Center, National University of Singapore, pada 2011. Ke Venice Biennale, ia membawa 10 kilogram jengkol untuk dibuat jadi instalasi yin dan yang. Yang terasa pada pameran ini, konsistensinya untuk masalah ekologi semakin lama memang semakin dalam.

Rumahnya di kawasan industri Cigondewah juga kian asri. Ke rumah itulah Direktur Erasmus Huis Michael Rauner berkunjung. Rauner kagum kawasan industri dengan sungai yang kotor dapat diubah Tisna menjadi pusat kebudayaan yang berdampingan dengan alam. Dia lalu meminta Tisna memamerkan karya di Erasmus Huis. "Karya Tisna mendorong kita menyelamatkan masa depan kita sendiri," ujar Rauner.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus