Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bak sosok yang sakti mandraguna. Ia tampak berani mengambil keputusan yang tak sesuai dengan amanat Presiden Joko Widodo dalam salah satu rapat kabinet terbatas. Luhut nekat meneruskan kebijakan mereklamasi pantai utara Jakarta.
Langkah itu tidak sejalan dengan sikap Presiden Jokowi yang amat berhati-hati dalam soal reklamasi. Presiden menekankan bahwa kelanjutan proyek raksasa reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta harus menunggu kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Luhut rupanya tidak cukup sabar menanti kajian yang akan rampung pada Oktober ini. Mengandalkan kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta Perusahaan Listrik Negara, ia menyetujui kegiatan pengurukan sebagian laut Teluk Jakarta.
Tergesa-gesa, mengejutkan, tapi, lebih dari itu, ia telah mengabaikan otoritas tertinggi di negeri ini sekaligus melecehkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Mei lalu. Putusan PTUN yang mengabulkan gugatan para nelayan jelas memerintahkan penundaan proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Gugatan ini ditujukan kepada izin reklamasi yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta pada 2014. Sebulan setelah putusan PTUN, Menteri Koordinator Kemaritiman saat itu, Rizal Ramli, memerintahkan menyetop seluruh kegiatan reklamasi sekaligus mengkaji lagi kebijakan tersebut.
Menteri Luhut Pandjaitan telah menutup mata terhadap proses moratorium yang tengah berjalan. Alasan Luhut sungguh sulit dimengerti. Menurut dia, semua aspek dampak berbahaya bagi lingkungan, nelayan, juga pembangkit listrik, ternyata tak ada. Padahal faktor itulah yang menjadi pertimbangan majelis hakim PTUN Jakarta dalam mengabulkan gugatan terhadap Surat Keputusan Gubernur Jakarta Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang izin pelaksanaan reklamasi. Surat keputusan itu diberikan kepada PT Muara Wisesa Samudra, pengembang Pulau G. Hakim menilai reklamasi di pulau itu secara nyata berdampak terhadap lingkungan dan aktivitas perekonomian nelayan setempat.
Luhut juga mengutarakan alasan yang memancing rasa curiga. Ketidakpastian, kata dia, akan merugikan investor dan itu akan berdampak pada reputasi negara di mata investor, baik dalam negeri maupun asing. Tentu saja kepercayaan investor penting. Namun pertimbangan kesehatan lingkungan harus diletakkan di atas kepentingan bisnis yang berorientasi mencari untung semata. Pembangunan yang berkelanjutan akan terwujud jika dalam membangun tidak meninggalkan permasalahan kepada anak-cucu kita kelak.
Paul Krugman, kolumnis internasional The New York Times, mengatakan, memasuki era pemanasan global seperti sekarang ini, pembangunan akan berhasil jika konsisten dalam memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Begitu pula usaha atau bisnis: hanya pengusaha yang peduli terhadap kerusakan lingkungan yang akan bisa bertahan.
Sampai saat ini belum ada ukuran yang bisa dijadikan acuan untuk menghitung secara komprehensif dampak negatif dan keuntungan dari sebuah reklamasi pantai atau pulau. Padahal sebulan lagi hasil kajian Bappenas, yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, rampung. Belum jelas mengapa Luhut sampai memutuskan untuk potong kompas, mengabaikan putusan PTUN. Kendati putusan ini belum berkekuatan hukum tetap, hal yang menyangkut perintah penghentian reklamasi seharusnya dipatuhi.
Presiden Jokowi perlu bertindak tegas mengenai hal ini. Yang terang, Luhut telah memberikan contoh buruk tentang penegakan hukum sekaligus menimbulkan ketidakpastian kebijakan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo