Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo seharusnya berani melakukan moratorium terhadap hukuman mati. Di tengah masih amburadulnya penegakan hukum, hukuman mati sangat mungkin salah sasaran. Setelah vonis itu dieksekusi, tak mungkin lagi mengoreksinya.
Kasus yang menimpa Zulfiqar Ali merupakan contoh betapa berbahayanya hukuman mati. Warga negara Pakistan itu nyaris ditembak mati pada 29 Juli lalu bersama gembong narkotik Freddy Budiman dan kawan-kawan. Padahal Zulfiqar bukan kurir atau pengedar narkotik. Pada 2004, dia diciduk polisi hanya karena berteman dengan Gurdip Singh dan membelikan tiket pesawat Jakarta-Surabaya. Penjelasan resmi Patrialis Akbar, saat itu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia—pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—bahwa Zulfiqar tak bersalah, juga percuma.
Rasa keadilan kita terusik, mengapa aparat penegak hukum (dari masa pemerintahan Yudhoyono sampai Jokowi) bisa begitu gegabah dalam kasus Zulfiqar. Pedagang tekstil di Tanah Abang, Jakarta, itu diciduk polisi tiga bulan setelah Gurdip pada Agustus 2004 tertangkap tangan membawa 300 gram heroin saat terbang ke Surabaya. Karena siksaan polisi, Gurdip asal menyebut heroin itu didapat dari Zulfiqar. "Nyanyian" Gurdip itulah yang menyeret Zulfiqar ke penjara. Tak ada secuil alat bukti lain yang menguatkan tuduhan itu.
Pada awal persidangan, karena tanpa penasihat hukum, Zulfiqar tak bisa membongkar rekayasa kasus yang menimpanya. Sampai akhirnya Mahkamah Agung pun menjatuhkan hukuman mati itu. Saat diajukan permohonan peninjauan kembali pun para hakim tutup mata atas fakta yang ada. Kesaksian Gurdip di depan notaris pada 2007, yang menyatakan bahwa heroinnya bukan berasal dari Zulfiqar, diabaikan begitu saja.
Hakim juga tak melirik sedikit pun hasil tim investigasi bentukan Menteri Patrialis Akbar pada September 2010. Padahal kesimpulan Menteri Patrialis begitu gamblang: Zulfiqar tak pernah berurusan dengan narkotik sepanjang hidupnya. Kasusnya juga dipaksakan serta penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Vonis serampangan yang nyaris mencabut nyawa Zulfiqar itu kemudian menjadi sorotan publik. Presiden RI ketiga, B.J. Habibie, sampai mengirim surat ke Presiden Jokowi. Pemerintah Pakistan baru-baru ini juga meminta Indonesia menganulir hukuman mati itu.
Jokowi seharusnya mengambil langkah berani, mendorong penghapusan hukuman mati. Jika eksekusi mati dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera, fakta menunjukkan jumlah pelaku kejahatan terus bertambah. Banyak bandar narkotik dikirim ke regu tembak, tapi jumlah mereka malah bertambah. Hukuman mati tak menjadikan orang jeri.
Yang terjadi malah banyak salah sasaran vonis mati. Apalagi hukum kita masih centang-perenang dan aparat mudah disogok. Selain kasus Zulfiqar, ada sejumlah kasus lain. Tim pencari fakta kasus Freddy Budiman menemukan kasus itu. Tim ini mendapati bahwa pemerintah salah menjatuhkan hukuman mati atas kasus Teja.
Teja, yang tak tahu-menahu urusan narkotik, terseret setelah diminta Freddy menemui seorang lelaki dan harus mengaku sebagai Rudi. Saat kasus kepemilikan 1,4 juta pil ekstasi milik Freddy terkuak, Teja ikut diusut. Mula-mula dia cuma saksi, lama-kelamaan statusnya berubah menjadi tersangka dan akhirnya divonis mati.
Jokowi semestinya sadar bahwa banyak kerawanan dalam pelaksanaan hukuman mati. Hukuman mati tak sepantasnya diterapkan. Manusia tak punya hak berperan sebagai Tuhan. Apalagi bila hukuman mencabut nyawa terpidana kasus narkotik ini digunakan sebagai alat kampanye politik demi popularitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo