Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kabar Wong Cilik dengan Persoalan Besar

Linda Christanty adalah sebuah perjalanan. Dia adalah potret perempuan penulis yang terlibat. Seseorang yang terus berjalan dan mencatat. Tentang kehilangan, ajakan menanggungnya bersama, permintaan maaf kepada siapa pun yang mengalaminya, dan pesan perdamaian (hlm. 66). Begitulah salah satu paragraf di esai Seekor Burung Kecil Biru di Naha, yang kemudian menjadi judul buku ini.

3 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kabar Wong Cilik dengan Persoalan Besar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judul: Seekor Burung Kecil Biru di Naha
Pengarang : Linda Christanty
ISBN:9789799108265
KPG: 901150940
Halaman :145 halaman

Linda Christanty adalah sebuah perjalanan. Dia adalah potret perempuan penulis yang terlibat. Seseorang yang terus berjalan dan mencatat. Tentang kehilangan, ajakan menanggungnya bersama, permintaan maaf kepada siapa pun yang mengalaminya, dan pesan perdamaian (hlm. 66). Begitulah salah satu paragraf di esai Seekor Burung Kecil Biru di Naha, yang kemudian menjadi judul buku ini.

Paragraf tersebut diilhami dari puisi Yoko Ono, Forgive Us ketika Linda membaca surat kabar The International Herald Tribune, musim dingin 14 November 2006, di Akasaka, Tokyo. Paragraf tersebut, bagi saya, adalah benang merah dari 13 tulisan di buku kumpulan esai ini. Kesetiaan Linda pada fakta pergulatan kehidupan manusia dan kemanusiaan kembali ditegaskan lewat seluruh tulisannya.

Di tengah banjir berita-berita tentang huru-hara para elite politik sampai artis yang melancong ke luar negeri, Linda datang dengan kabar yang menyentak. Nada bertuturnya halus, penuh kesabaran, dan setiap peristiwa ditulis dengan detail yang memukau. Setelah kumpulan esai yang disarikan dari perjalanan jurnalistiknya, Dari Jawa Menuju Atjeh (KPG, 2010), Linda kembali datang dengan kabar berbeda. Kabar tentang orang "kecil" dengan peristiwa kecil, tapi membawa persoalan besar: pergulatan manusia dan kemanusiaan yang selama ini sengaja dilupakan.

"Ingatan manusia terbatas" (hlm. 24). Begitulah kata ibunda Linda dalam esai "Rumah bagi Mereka yang Tua". Esai ini dimulai dari cerita tentang kondisi keluarga Linda, terutama menyorot soal sang ibunda yang ditinggal anak-anaknya merantau. Kemudian penulis beranjak pada model ikatan keluarga orang-orang di Amerika. Akhirnya dia berbicara soal nasib orang-orang jompo di kota-kota besar. Buku ini bagai memberi kesadaran akan terbatasnya ingatan, maka mencatat adalah ikhtiar mengabadikan ingatan tersebut. Sejarah kemanusiaan dengan suka dan duka di dalamnya tidak boleh hilang bersama lupa.

Esai-esai dalam buku ini membuat kita lagi-lagi tidak bisa mengelak, demokrasi dan kemerdekaan tidak menjamin setiap manusia menaruh rasa hormat pada kemanusiaan. Kekerasan dan pembantaian 1965, mahasiswa aktivis yang hilang saat reformasi, konflik politik yang berimbas luas di Aceh, politisasi agama dan etnis berujung kekerasan di Maluku, hingga sejarah pulau Bangka Belitung. Kesemuanya dituturkan dengan bahasa tulis yang lancar, anggun, penuh sentuhan detail sastrawi, serta tentu semuanya berangkat dari fakta dan riset historis yang kuat. Kemampuan menulis yang tidak diragukan, ditambah kecermatan melihat peristiwa, membuat manusia-manusia dalam esai Linda tergali luar-dalam.

"Rok saya sampai begini," kata Nurhaida, memperagakan roknya yang melorot di masa itu (hlm. 5). Nurhaida, perempuan korban konflik di Aceh, dibayang-bayangi trauma psikis karena melihat kekejaman militer menyiksa warga, hingga badannya kurus kering. Detail gerak-gerik luar setiap sosok ditulis Linda dengan rapi. Detail gerak-gerik luar itu disatukan dalam narasi yang membantu kita merasakan kedalaman inti kemanusiaan setiap sosok.

Entah model pendekatan seperti apa yang digunakan Linda saat melakukan wawancara. Lihatlah, dia berhasil membuat seorang transgender, Wanda Kalalo, menceritakan perjalanan hidupnya, bahkan sampai pengalaman seksnya yang pertama kali (hlm.17). Bukan hal mudah membuat transgender, yang di negeri ini masih mengalami diskriminasi habis-habisan, bersedia menceritakan perjalanan hidupnya.

Tidak hanya peristiwa dalam negeri, pembaca juga diajak menyusuri tempat-tempat yang jauh. Dari suasana gelar musik di kota-kota Amerika Selatan, militerisme, gerakan mahasiswa dan kehancuran partai komunis di Thailand, globalisasi dalam makanan dan nasib pertemuan lajang di Jepang, perayaan Asyura, hingga akar konflik di India. Dia juga bercerita tentang petinggi Nazi, Rudolf Hezz. Seseorang yang dingin dan kejam, tapi memutuskan bunuh diri dalam penjara karena tak tahan menjalani masa hukuman (hlm 82-83).

Sebagai penulis, Linda seolah-olah bersudut pandang netral. Kepentingannya hanya satu, yakni melawan penindasan, sikap fasis, kekerasan, dan segala rupa laku manusia yang melukai. Nyawa esai-esai dalam buku ini adalah penghormatan kepada setiap manusia. Kekejaman serta penjajahan terhadap bangsa apa pun tidak boleh lagi terjadi hari ini (hlm. 69).

Buku ini mengajak pembaca terus mengingat dan kembali belajar: hubungan antarmanusia sangat dinamis dan penuh pengecualian. Dalam setiap esai, terbaca bagaimana manusia menjalani kehidupan yang kompleks. Sementara dalam laku keseharian, disaksikan kian banyak individu maupun kelompok masyarakat yang melihat kehidupan sebagai pasangan antagonistik A vs non-A, suci vs hina. Setiap individu maupun kelompok sering mendaku diri paling benar dan suci. Kehidupan dijalani penuh kebencian, urusan kemanusiaan digeser oleh motif-motif politik dan ekonomi. Akibatnya, terjadi laku intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap mereka yang memiliki pilihan berbeda.

Linda mengajak kita menyusuri sejarah pergulatan manusia yang penuh konflik, tragedi, tapi ada yang tidak lelah membuka pintu rekonsiliasi. Membacanya adalah mengasah rasa kedalaman sekaligus kerumitan kehidupan manusia. Kita yang hidup tenang dan penuh kenyamanan diajak membayangkan suasana kehidupan orang-orang yang penuh pergulatan tersebut.

Tetapi Linda tentu tidak menginginkan pembaca mengalami kemanusiaan hanya dengan membayangkan. Seperti esai-esai dalam buku ini yang ditulis berdasarkan keterlibatan jurnalistik, begitu juga kemanusiaan adalah keterlibatan. Bukankah begitu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus