PROF. Donald W. Wilson tampaknya sadar betul bahwa bukunya tentang Indonesia bakal mengundang kritik. "Orang boleh mengkritik. Saya terbuka untuk dialog," katanya. Guru Besar Universitas Pittsburg ini bakal terbang lagi ke Jakarta untuk menghadiri seminar, Juni mendatang, dan dia siap menjawab kritik-kritik di situ. Jumat malam pekan lalu, wartawati TEMPO Sandra Hamid mewawancarai Wilson di kantornya lewat sambungan telepon internasional. Sebagian dari wawancara itu: Berapa kali Anda bertemu dengan Presiden Soeharto untuk mempersiapkan kedua buku itu? Lebih dari lima kali. Pertemuan biasanya di kantor presiden atau di Istana Merdeka. Pernah juga di rumahnya. Kesan Anda dari pertemuan itu? Pak Harto itu hangat, sopan, dan terbuka. Hal lain yang ingin saya tekankan adalah : Presiden Soeharto tidak sekalipun menekan saya agar menulis atau tidak menulis tentang sesuatu. Kritisi buku mengatakan Anda mengagumi Pak Harto. Boleh saja dikatakan bahwa saya memang pro-Soeharto dan pro-Orde Baru. Tapi anda harus ingat, saya punya pengalaman tinggal di Indonesia tahun 1949-1955. Ketika itu keadaan sangat tidak stabil. Dalam perjalanan Bandung-Jakarta, mobil yang saya tumpangi dihentikan di tengah jalan. Dalam situasi semacam itu, negara tak akan bisa tumbuh. Dunia bisnis perlu stabilitas. Saya tak mengatakan Presiden Soeharto dan Orde Baru sempurna. Namun, saya yakin keberadaan Soeharto dan Orde Baru mempunyai hubungan sangat erat dengan keberhasilan Indonesia dalam 25 tahun terakhir ini. Mungkin saja Anda katakan, bila orang lain yang berkuasa keadaannya akan lebih baik. Tapi pernyataan itu sungguh hipotetis. Bagaimana tentang suksesi? Presiden sadar akan kritik masyarakat. Ia berkata bahwa pada saat yang tepat nanti ia akan mundur. Ia bukan presiden seumur hidup. Dalam perkiraan saya, ia akan terpilih sekali lagi dan ia akan turun dalam masa jabatan itu. Anda tak ingin berspekulasi tentang calon penggantinya? Saya rasa ada sekitar 30 orang yang berkemampuan menggantikannya. Namun, dalam perkiraan saya, calon yang bakal tampil nanti haruslah seorang militer, Jawa, dan Islam. Orang itu juga harus punya hubungan dengan kebangkitan Orde Baru. Anda kabarnya masih ingin menulis buku ketiga? Ya. Mungkin isinya tentang masa transisi suksesi, peranan keluarga presiden dalam masyarakat, dan persiapan Indonesia menghadapi abad 21. Mudah-mudahan awal tahun depan buku ketiga ini selesai. Apa yang ingin anda katakan tentang keluarga presiden? Saya mengganggap keluarga presiden harus sangat hati-hati, terutama dalam menjalankan bisnisnya. Masalah kepatutan menjadi hal yang sangat penting, kendati keluarga presiden tak melakukan hal-hal yang melawan hukum. Di lain pihak, masyarakat juga harus mengakui bahwa keluarga presiden juga memiliki hak menjalankan bisnisnya. Soalnya, hal-hal apa saja yang dianggap sah dan patut. Ukurannya sulit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini