Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan bagi seorang wartawan yang berani di Indonesia memiliki implikasi yang jauh melampaui ruang sidang di Jakarta. Menjelang pemuatan artikel ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan menjatuhkan vonis dalam kasus Bambang Harymurti, Pemimp in Redaksi Tempo, majalah berita terkemuka Indonesia, serta dua rekan lainnya dari majalah yang sama.
Saya berharap pengadilan mampu menggunakan nalar di pengadilan, dan tuduhan ini—yang semestinya tidak perlu diajukan—akan dicabut. Namun, kenyataan bahwa kasus ini sudah diajukan ke meja hijau saja sudah merupakan ancaman terhadap kebebasan dan demokrasi yang telah dinikmati Indonesia sejak jatuhnya pemerintah Soeharto.
Pemerintah Indonesia telah menuduh Bambang melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Tuduhan itu berasal dari sebuah artikel di majalah Tempo, yang melaporkan dakwaan-dakwaan bahwa kebakaran yang mencurigakan di suatu pasar di Jakarta pada Februari 2003 mungkin berkaitan dengan rencana untuk menjadikan daerah itu sebuah pusat belanja komersial yang mewah. Rencana itu boleh jadi dihubungkan dengan seorang pengusaha kaya Indonesia bernama Tomy Winata.
Winata menuntut atas pencemaran secara perdata dan, anehnya, pemerintah menjerat Bambang dan kedua rekannya dengan tuduhan pidana pencemaran berdasarkan undang-undang masa penjajahan Belanda dan tahun-tahun awal kemerdekaan. Para jaksa telah menuntut hukuman dua tahun dan—lebih aneh lagi—telah meminta agar Bambang segera ditahan, yang berarti memperlakukannya seperti penjahat berbahaya, yang tidak diperbolehkan berkeliaran.
Demi keterbukaan, harus saya katakan bahwa saya sudah mengenal Bambang selama hampir 20 tahun. Saya mengenalnya dengan sangat baik pada akhir tahun 1980-an, ketika saya menjadi Duta Besar AS di Jakarta. Saya masih mengenalnya sebagai wartawan yang memiliki integritas tinggi; seseorang yang memperlakukan tanggung jawabnya dengan serius, sehingga dia tahu bahwa wartawan tidak hanya wajib menyiarkan kebenaran, tetapi juga tidak menyiarkan kebohongan.
Namun keprihatinan saya mengenai kasus ini jauh melampaui kekhawatiran saya tentang nasib seorang sahabat. Saya percaya seluruh dunia mempertaruhkan keberhasilan demokrasi di Indonesia. Jika negara berpenduduk hampir 240 juta dengan jumlah umat Islam melebihi negara mana pun—sesungguhnya, di atas 15 persen dari penduduk muslim dunia—bisa menunjukkan kapasitasnya untuk mengembangkan lembaga demokratis, meski tengah menghadapi kesulitan ekonomi, Indonesia akan menjadi contoh berharga bagi seluruh dunia.
Hal ini terutama karena tradisi kuat kerukunan agama Indonesia dalam tubuh bangsa yang terdiri dari hampir 90 persen muslim ini juga menjadi panutan penting di dunia pasca-11 September.
Menantang segala hambatan
Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam pengembangan lembaga-lembaga demokratis, meski pemerintah baru telah mewarisi kondisi ekonomi yang gawat dari pemerintah Soeharto. Negara ini berhasil menyelenggarakan pemilihan presiden yang jujur dan adil pada 1999; pemilihan anggota parlemen bulan April lalu, dan melaksanakan pemilihan putaran kedua untuk melengkapi pemilihan presiden yang demokratis. Semua ini bukanlah prestasi kecil.
Bila dua pemilihan presiden yang jujur dan adil secara berurutan merupakan pertanda kemajuan demokrasi, ujian demokrasi yang sebenarnya adalah bagaimana sistem ini mampu melindungi hak-hak warga negaranya.
Deklarasi Kemerdekaan (di AS) tidak menyebut soal pemilihan umum, tetapi lebih menekankan soal hak-hak umat manusia atas sesuatu ”yang tidak bisa dihilangkan”, khususnya atas ”kehidupan, kebebasan, dan pencarian kebahagiaan”.
Karena itu, aturan hukum adalah salah satu dari tiang pokok masyarakat demokratis. Sebuah negara demokratis memiliki beberapa macam kekuasaan yang sama besarnya dengan wewenang untuk menuntut warga negaranya sendiri berdasarkan hukum. Dan ada beberapa hal yang merupakan ancaman terhadap demokrasi sejati, di antaranya penyalahgunaan kekuasaan penuntutan itu.
Salah satu cara terburuk yang dilakukan dalam penyalahgunaan kekuasaan itu adalah merampas kebebasan pers dan dengan demikian menghilangkan salah satu mekanisme terpenting untuk menjamin penghormatan pemerintah atas hak-hak warga negaranya. Sebagaimana dikemukakan Bambang dalam pembelaannya di pengadilan pada Agustus lalu, runtuhnya demokrasi pertama yang singkat dalam tahun 1950-an berawal dengan ”usaha untuk merongrong kebebasan pers domestik melalui kriminalisasi para wartawan”.
Di bawah pemerintahan Presiden Sukarno, ada sekitar 60 kasus pers diajukan ke pengadilan negeri khusus pada September 1957 saja. Seperti dikatakan Bambang, ”Kereta api dunia sudah lama berpacu meninggalkan stasiun, sementara karya jurnalistik masih terkena kriminalisasi. Kita seharusnya termasuk dalam gerbong kemajuan masyarakat dunia, bukannya tertinggal di stasiun keterbelakangan, yang lebih cocok untuk dipamerkan dalam sebuah museum dan bukan untuk tempat tujuan.”
Kedua calon dalam pemilihan presiden putaran kedua telah menyatakan keprihatinan atas kasus ini. Salah satu dari mereka berharap bahwa bukan sekadar pembebasan Bambang dan rekan-rekannya dari tuduhan kriminal, tetapi juga Indonesia yang (mampu) mengambil langkah-langkah guna menjamin dihentikannya intimidasi terhadap pers bebas ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo