Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Monumen buku raksasa yang dipancang di lapangan Friedrichsplatz (Friedrich Square) Kassel, Jerman, itu merupakan replika dari kuil tua Parthenon di puncak Bukit Akropolis, Athena, Yunani. Judulnya The Parthenon of Books. Ukuran dan skalanya persis sama dengan Parthenon kuno. Pilarnya ada 46 buah, masing-masing setinggi 10 meter. Sementara Parthenon asli terbuat dari marmer, yang satu ini dari konstruksi besi. Dan seluruh pilarnya ditempeli ribuan buku yang pernah disensor.
Inilah karya utama Documenta, perhelatan seni rupa akbar lima tahunan di Kassel, Jerman. Monumen ini dibuat seniman sepuh Argentina, Marta Minujin, 74 tahun, sebagai simbol kemerdekaan berpikir. Parthenon asli adalah bangunan pada pertengahan abad kelima sebelum Masehi (SM) dari zaman Perikles, Wali Kota Athena, Yunani kuno. Perikles dikenal sebagai administrator publik yang tangguh. Ia merehabilitasi Athena yang rusak akibat serangan Persia pimpinan Darius dan Xerxes. Pada 440-430 SM, ia membangun banyak kuil besar.
Dibantu pematung Phidias sebagai penasihat, Parthenon diresmikan Perikles pada 432 SM. Parthenon adalah lambang dari pemerintahan demokratis Perikles. Kini Parthenon yang tersisa tinggal pilar-pilarnya. Dan Marta Minujin memilih 170 judul buku yang pernah dilarang oleh berbagai rezim. Ia dan pemerintah Kassel membuka pintu kepada publik untuk mendonasikan 170 buku sebagai pengganti buku yang kena sensor. Mereka akhirnya bisa mengumpulkan lebih dari 10 ribu buku. Buku-buku itu dibungkus plastik, dilekatkan ke kolom-kolom Parthenon versinya.
Mendekati pilar-pilar The Parthenon of Books, kita bisa menyaksikan buku-buku karangan Rosa Luxemburg, Bertolt Brecht, Milan Kundera, Sigmund Freud, Nikos Kazantzakis, George Orwell, Boris Pasternak, Mario Vargas Llosa, Thomas Mann, Anne Frank, James Joyce, dan lainnya ditempelkan. Semua ini adalah buku-buku yang dilarang di zaman Hitler.
Pada 1983, Marta Minujin pernah menampilkan monumen Parthenon of Books di tengah kota Buenos Aires untuk merayakan jatuhnya diktator militer Jorge Rafael Videla di Argentina. Saat itu jumlahnya hanya sekitar 25 ribu buku. Di zaman junta militer itu, buku-buku kiri disensor. Kini monumen tersebut ditaruh di lapangan Friedrichsplatz, dan ini bukannya tanpa alasan. Di situlah pada 19 Mei 1933 Nazi membakar lebih dari 2.000 buku. Pada 1941, tatkala Sekutu menjatuhkan bom ke Kassel, perpustakaan Fridericianium--letaknya di samping lapangan Friedrichsplatz--terbakar. Lebih 350 ribu buku koleksinya hangus.
Di Lapangan Friedrichsplatz inilah karya utama Documenta biasanya ditempatkan. Pamerannya rata-rata kontroversial. Pada Documenta 12 tahun 2007, seniman Kroasia, Sanja Ivekovic, misalnya, menanami lapangan Friedrichsplatz dengan bunga opium. Mendadak sontak, lapangan Friedrichsplatz menjadi ladang opium dengan bunga-bunganya yang mekar merah. Ivekovic adalah aktivis perempuan yang membela para perempuan Afgan korban perdagangan haram opium. Di Friedrichsplatz yang penuh opium itu, ia memasang loudspeaker yang menyuarakan paduan suara perempuan Afgan dan Zagreb, Kroasia.
The Parthenon of Books dipilih menjadi karya utama Documenta 2017 karena untuk pertama kalinya Documenta diadakan di dua kota di dua negara: Kassel (Jerman) dan Athena (Yunani). Kurator asal Polandia, Adam Szymczyk, yang terpilih menjadi Direktur Artistik Documenta 2017, memberikan terobosan berani. Tema Documenta 2017 yang dirumuskannya adalah "Learning from Athens". Szymczyk dikenal sebagai kurator anti-neoliberal. Ia ingin merefleksikan krisis ekonomi Yunani ke dalam seni rupa.
Kita ketahui, negara Zeus ini terbelit utang. Tatkala pada 2001 bergabung dengan Uni Eropa dan menggunakan mata uang euro, diprediksi ekonomi Yunani bakal tumbuh. Tapi yang terjadi di Yunani pada 2008 sebaliknya: kebangkrutan. Sejak 2010, Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa (yang didominasi Jerman), dan Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan pinjaman kepada Yunani sekitar 240 miliar euro--dengan syarat pemerintah menaikkan pajak dan memotong tunjangan pensiun warganya.
Pada tenggat yang ditentukan, yaitu 2015, Yunani gagal membayar kepada IMF. Yunani menjadi negara maju pertama yang dinyatakan default. Dipimpin Perdana Menteri Alexis Tsipras, Yunani mengadakan referendum untuk memilih: tetap meneruskan utang atau tidak. Hasilnya di luar dugaan: masyarakat menolak.
Adam Szymczyk melihat banyak hal bisa dipelajari dari Yunani. Ekonom liberal umumnya memprediksi Tsipras akan membawa Yunani pada kehancuran total. Pilihan warga Yunani saat referendum dianggap tak rasional serta merupakan langkah keputusasaan yang bakal meningkatkan pengangguran dan kasus bunuh diri. Namun Szymczyk agaknya melihat: dua tahun ini Yunani cukup mampu bertahan dari kehancuran.
Sampai sekarang, pemerintah Yunani masih terlibat sejumlah negosiasi alot agar utang bisa didapatkan tanpa harus menaikkan pajak dan menyunat dana pensiun. Szymczyk melihat daya tahan Yunani cukup kuat. Bahkan warga Yunani masih menerima wilayahnya menjadi pintu masuk imigran Suriah ke Eropa. Szymczyk memandang situasi sosial-politik demikian akan bisa menstimulus penciptaan karya-karya seni rupa yang menarik.
Documenta dianggap sebagai salah satu tolok ukur perkembangan seni rupa dunia. Dimulai pada 1955, Documenta merupakan perhelatan seni rupa tertua ketiga di dunia--setelah Biennale Venesia yang dimulai pada 1895 dan Biennale Sao Paulo 1951. Karya-karya yang disajikan di sini lebih mengedepankan unsur pemikiran daripada menuruti selera pasar. Penyelenggaraan Documenta yang lima tahunan dipandang mampu memunculkan karya perenungan yang lebih matang.
Pendirian Documenta pun memiliki alasan sosial-politiknya sendiri. Documenta dibentuk hanya 12 tahun setelah Kassel luluh-lantak. Pada 22 Oktober 1943, Sekutu menjatuhkan bom di Kassel, dan lebih dari 80 persen bangunan di Kassel hancur lebur. Dalam tempo 20 menit, lebih dari 10 ribu orang tewas. Adalah seniman Arnold Bode (lihat boks: "Arnold Bode, Circa 1955") yang memiliki inisiatif ikut membangun kembali jiwa kotanya dengan membuat sebuah perhelatan seni rupa internasional.
Bila mengunjungi Stadtmuseum Kassel, kita bisa melihat sebuah maket besar yang menampilkan bagaimana seluruh sudut Kassel pada 1943 rusak parah. Merinding membayangkan hari nahas itu. Foto-foto hitam-putih yang disajikan buku dokumentasi Die Zerstorung Kassels im Oktober 1943 yang dijual di museum itu memperlihatkan wajah-wajah warga yang putus asa dan tumpukan ratusan mayat berjajar di mana-mana.
"Bayangkan pada waktu Documenta 1, Arnold Bode berhasil mengundang seniman besar seperti Picasso ke kota kecil ini," kata Mark Christian von Busse, redaktur budaya Hessische/Niedersachsische Allgemeine (HNA). "Sangat berisiko mengadakan Documenta pada 1955," ujarnya. Pada Documenta 2 tahun 1959, Bode berhasil mendatangkan seniman-seniman mutakhir Amerika, seperti Willem de Kooning, Mark Rothko, Jackson Pollock, dan Robert Rauschenberg.
Warga Kassel akhirnya turut membanggakan Documenta. Kini Documenta bukan hanya peristiwa seni rupa biasa, tapi sudah menjadi peristiwa sosial. Kassel dikenal sebagai tempat kelahiran Grimm bersaudara, dua anak yang suka menghimpun dongeng-dongeng Eropa. Sebuah museum khusus dipersembahkan kepada Grimm bersaudara. Warga Kassel sangat mencintai Grimm, juga menyayangi Documenta kemudian. Bahkan, bila warga menyukai sebuah karya yang dipamerkan di Documenta, mereka kerap patungan membeli karya tersebut agar tetap berada di Kassel.
Silakan berjalan-jalan di Kassel Auepark, yang letaknya di belakang Grimmwelt--Museum Grimm. Di antara pohon-pohon rindang, terdapat sebuah pohon perunggu yang cabang-cabangnya menangkup sebuah batu besar. Pohon itu seolah-olah mengeram sebuah telur batu. Itulah karya seniman Italia, Giuseppe Penone, berjudul Ideas of Stone, yang dibuat pada Documenta 13 (2012). "Warga suka sekali pada karya ini. Warga lalu patungan untuk membeli," kata Mark Christian von Busse.
Datanglah juga ke stasiun lama Kassel. Di depan stasiun, Anda bisa melihat terdapat sebuah tiang fiberglass setinggi 25 meter yang miring. Dan, di kemiringan itu, ada patung seseorang sedang berjalan menuju langit. Itulah karya Jonathan Borofsky: Man Walking to the Sky pada Documenta 9 tahun 1992. Waktu itu karya ini dipasang di lapangan Friedrichsplatz dan menjadi favorit warga. Setelah Documenta 9 selesai, karya ini dijual seharga 690 ribu Deutsche mark. Namun publik kemudian patungan sampai berhasil mengumpulkan 585 ribu DM--perusahaan Telekom kemudian menambahkan 100 ribu DM untuk menutup sisanya. Karya ini akhirnya dipindahkan dan diletakkan permanen di depan stasiun lama Kassel (Kassel Hauptbahnhof). Jika kita mendongak, terlihat patung itu seperti melakukan akrobat--meniti naik di kemiringan dan sedikit lagi mencapai puncak.
Ada lagi karya Horst Hoheisel berjudul Aschrott Fountain di depan City Hall Kassel. Pada 1908, Sigmund Aschrott, pengusaha kaya berdarah Yahudi di Kassel, menginginkan Kassel memiliki penanda kota. Pada 1908, ia memerintahkan arsitek City Hall membuat air mancur setinggi 12 meter. Namun, pada April 1939, aktivis sosialis nasionalis atau Nazi menghancurkan air mancur itu.
Pada 1986, Horst Hoheisel mendapat komisi untuk Documenta 8 tahun 1987 merehabilitasi air mancur Aschrott yang musnah tersebut. Yang gila, Hoheisel memang membuat ulang air mancur setinggi 12 meter itu, tapi ia mendirikannya terbalik ke dalam tanah. Jadi, ketika kita berada di depan City Hall Kassel, kita tak akan melihat wujud air mancur itu karena keberadaannya di dalam tanah. Hanya ada penanda sebuah lingkaran seperti kelopak bunga yang menunjukkan bahwa tepat di bawah titik itu terdapat air mancur terbalik setinggi 12 meter. Jika berdiri tepat di tengah lingkaran, kita akan mendengar bunyi seperti gerojokan air.
Adalah lumrah jika pada 2017 ini Documenta direncanakan dibagi dua: di Kassel dan Athena. Mulanya warga Kassel ragu akan keputusan ini. Adam Szymczyk pun, dalam catatannya di buku The Documenta Reader 2017, mengakui beberapa organisasi di Kassel, seperti Christian Democratic Union, menentangnya. Mereka menyerukan slogan kepada warga: 100 gute Grunde fur den Wechsel-damit die documenta in Kassel bleibt atau meminta warga memberikan 100 argumentasi agar Documenta tetap berada di Kassel. Mereka menganggap Szymczyk berlebihan menarik paralel kesamaan tragedi antara Kassel pada 1955 dan krisis ekonomi Yunani sekarang. Kalangan intelektual di Yunani pun mulanya waswas. Ketidakmampuan Yunani mengadakan perhelatan budaya skala besar menjadikan kekhawatiran utama. Mereka mengingatkan Szymczyk bahwa krisis ekonomi Yunani diawali ketika Yunani menyelenggarakan Olimpiade 2004 di Athena secara besar-besaran.
"Mantan Menteri Ekonomi Yunani, Yanis Varoufakis, mengkritik keras Documenta di Athena," kata Lou Forster, salah seorang anggota tim kurator Documenta di National Museum of Contemporary Art Athena, dengan jujur. Dalam sebuah wawancaranya yang dimuat di situs Art Agenda dengan kurator Iliana Fokianaki berjudul "We Come Bearing Gifts", Yanis Varoufakis dengan sinis menelanjangi penyelenggaraan Documenta di Athena. Dikenal sebagai pemikir kiri radikal, Varoufakis justru berpendapat Documenta di Athena menyedot sumber daya ekonomi Yunani. Ia melihat banyak sektor publik dan swasta, seperti maskapai penerbangan Aegean Airways, hotel-hotel, gedung-gedung milik pemerintah, dan The National Museum of Contemporary Art, Athens, yang memberikan diskon besar-besaran untuk kepentingan Documenta. Yunani, menurut Varoufakis, akhirnya lebih banyak memberi daripada menerima.
Yanis Varoufakis, yang lima tahun belakangan ini melakukan negosiasi-negosiasi alot utang Yunani dengan para kreditor Eropa, melihat Documenta imperium yang tidak netral. "Mengadakan Documenta di Athena sama dengan orang kaya Amerika melakukan safari turistik ke kawasan miskin Afrika atau tur wisata ke favela (kampung-kampung miskin) di Brasil," ujarnya dalam wawancara lain dengan majalah Spike Art.
Bagi Varoufakis, apa yang dilakukan kurator Adam Szymczyk adalah sebuah paradoks. Szymczyk berusaha mengkritik neoliberalisme, tapi tidak tahu duduk persoalannya. Alih-alih memblejeti neoliberalisme, Szymczyk justru memberi legitimasi bagi kebijakan neoliberalisme Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, dan IMF. Daripada memecahkan problem utang Yunani, menurut Varoufakis, Documenta justru menjadi bagian dari problem utang. Ia bahkan secara tajam menyebut datangnya Documenta di Athena sebagai gagasan neokolonial.
Tapi kritik menyengat ini agaknya tidak mematahkan semangat Adam Szymczyk. Ia mempersiapkan Documenta 2017 selama kurang-lebih empat tahun. Sejak 2015, ia bersama Marina Fokidis, kurator Yunani yang memiliki majalah South, membuat edisi khusus Documenta di majalah itu. Menurut Marina Fokidis, Documenta juga mengangkat kesetaraan antara kawasan selatan, south (Yunani, Spanyol, Portugal), dan utara (Jerman, Prancis, Belanda) di Eropa. Polarisasi selatan-utara ini adalah sebuah konstruksi ideologi ekonomi yang harus ditengahi dengan dialog kebudayaan.
Memasuki Kota Athena, banyak sudut dinding-dinding kota ini yang penuh coreng-moreng dengan graffiti. Kita yang tak bisa membaca huruf-huruf Yunani menduga-duga apakah coret-moret itu menyuarakan perlawanan terhadap "penindasan" kreditor Eropa atau kritik terhadap Perdana Menteri Alexis Tsipras. Kendati begitu, terasa bahwa graffiti itu bernada kemarahan dan maki-makian. Di Athena, Documenta digelar di 47 lokasi resmi. Mencakup museum, kampus, taman-taman, concert hall, pusat kesenian, Greek Archive Film, bahkan kuburan.
"Hampir di seluruh Athena ada pameran Documenta," kata Orestis Mavroudis, seorang warga. Situs-situs arkeologi, seperti Agora (pasar lama Yunani kuno), juga menjadi lokasi Documenta. Lyceum, bekas Aristoteles mengajar, yang sekarang hanya berupa hamparan remah-remah, misalnya, menjadi tempat beberapa komponis bereksperimen--termasuk Benjamin Patterson, salah satu dedengkot Fluxus Eropa. "Di sini dulu Aristoteles mengajar. Mulai pukul 8 pagi sampai 8 malam, di sini Anda dapat mendengar suara-suara komposisi yang dibuat kelompok Postcommodity," kata seorang perempuan bernama Kardina Marianthi, yang membagi-bagikan leaflet Postcommodity A Four Act Opera di jalan masuk ke situs.
Adapun di Kassel, lokasi Documenta lebih relatif berdekatan. Pameran utama Documenta ada di sekitar Friedrichsplatz. Pameran disajikan di Museum Fridericianum, Naturkundemuseum Im Ottoneum, Documenta Halle, Orangerie, Palais Belleuve, dan Neue Galerie. Lokasi pameran "terjauh" (yang bisa dicapai hanya beberapa menit dengan trem dari Friedrichsplatz) di sekitar kampus University of Kassel. Di kawasan yang banyak menjadi tempat tinggal imigran Turki dan Asia ini, Documenta berlangsung di Nordsternpark, Gottschalk Halle, Neue Neue Galerie, Glass Pavilions, sampai Tofupabrik--bekas sebuah pabrik tahu.
Beberapa seniman menyajikan karya, baik di Athena maupun Kassel. Ada karya yang baru bisa dipahami kaitannya bila kita telah mengunjungi dua kota tersebut. Di Athens Conservatoire (Odeion), seniman Bukares, Daniel Knorr, menyajikan proses pembuatan art book bikinannya, yang kertasnya berbahan daur ulang sampah-sampah Athena. Berjudul Materialization, ia membawa gunungan botol dan barang bekas. Ia menghadirkan video "penggilingan" barang rongsokan tersebut. Buku-buku itu dijual 80 euro ke publik sebagai dana bagi karyanya yang "menghebohkan warga" Kassel.
Disebut menghebohkan karena karya Daniel Knorr di Kassel sempat membuat panik warga setempat. Berjudul Expiration Movement Manifest, ia membuat puncak menara di Fridericianum seperti terbakar. Dari Friedrichsplatz, kita bisa menyaksikan sejak pukul 9 pagi sampai 9 malam asap putih tebal terus-menerus muncul dari menara Fridericianum. "Sewaktu pertama kali asap itu keluar, warga Kassel mengira ada kebakaran betulan. Sampai puluhan warga menelepon polisi dan pemadam kebakaran. Meski dijelaskan itu karya, mereka tetap tidak percaya dan mau mengecek sendiri," kata Mark Christian von Busse.
Seniman asal Minneapolis, Dan Peterman, membikin proyek di Athena dan Kassel berjudul Ingot Project, yang merefleksikan brutalnya limbah industri. Dari sebuah tempat di Athena, ia mengumpulkan aneka besi dan logam buangan pabrik-pabrik. Ia lalu mencairkan dan mencetak kembali rongsokan besi itu menjadi ribuan besi cor berbentuk bundar. Dan, di Kassel, ditebarkan mulai di rel-rel yang tak terpakai di stasiun lama sampai dipamerkan di showroom kaca Glass Pavilions yang letaknya di tepi jalan besar Kurt Schumacher.
Karya bernada kritik memang tak terelakkan. Sebelum pameran digelar, di lobi National Museum of Contemporary Art Athena, sudah ada video Marta Minujin (seniman Argentina yang membuat instalasi Parthenon of Books di Kassel) berjudul Payment of Greek Debt to Germany with Olives and Art. Dalam video itu, kita bisa melihat Minujin duduk berhadapan dengan Perdana Menteri Angela Merkel, dikelilingi para pengunjung galeri. Mereka tampak berargumentasi.
Di lantai 4 juga ada karya konseptual Maria Eichhorn, Building Unowned Property, yang merefleksikan langsung krisis Yunani. Di Athena sekarang banyak gedung dijual. Bila berjalan-jalan di daerah Syntagma, kita melihat beberapa toko di lantai dua kumuh dan kosong. Maria Eichhorn bermaksud membeli sebuah bangunan tua yang kosong di Jalan Staurupouldo, pusat kota Athena, yang dijual broker seharga 140 ribu euro. Ia ke sana-kemari mencari modal. Swiss Migros Museum akhirnya memberinya dana pembelian. Dia dan Swiss Migros Museum menginginkan rumah itu menjadi tempat apa saja, dari tempat pameran atau bahkan untuk tidur para homeless, gelandangan Athena. Surat-menyurat Eichhorn dengan Swiss Migros Museum, juga dengan Direktur Artistik Documenta 2017, Adam Szymczyk, dan akta pembelian itu dipamerkan.
Documenta juga menampilkan karya kuat yang bertolak dari arsip dan sejumlah riset. Di Athens School Fine Art, kita bisa melihat dokumen lengkap foto dan kegiatan hari per hari dari 24 hari lokakarya eksperimental mengenai tubuh dan lingkungan yang diprakarsai oleh koreografer Amerika, Anna Halprin, di San Francisco pada 1968. Halprin termasuk pionir seni ekologis. Melalui foto-fotonya, kita bisa membayangkan bagaimana para peserta telanjang bulat dan melakukan eksplorasi di sungai-sungai. Akan halnya Yannis Tsarouchis, dia melakukan riset sungai-sungai di Athena, seperti Sungai Kifissos, Ilissos, dan Eridanos, serta Sungai Fulda di Kassel. Ia mengumpulkan plastik dari sungai-sungai itu dan menciptakan sebuah spesies baru yang tercipta dari plastik.
Beberapa instalasi yang berkaitan dengan musik juga menarik. Di Galeri Nasional Athena, kita bisa melihat partitur-partitur yang dibuat seniman serba bisa Rusia, Anseny Auramov. Ia adalah komponis di balik film-film sutradara besar Rusia, Dziga Vertov dan Sergei Eisenstein. Selama ini dia tak begitu dikenal sebagai pelopor musik atonal--Arnold Schoenberg dari Jerman lebih tersohor. Dia juga memiliki kredo menarik: kebisingan bagian dari musik. Dan, musik demikian cocok dengan film Dziga Vertov dan Sergei Eisenstein, yang sering menampilkan kekerasan dalam kehidupan buruh pabrik. Dalam pameran, diperdengarkan garapan musik Auramov yang penuh suara derum dan ledakan pistol.
Di Athens Conservatoire (Odeion), karya Emeka Ogboh dari Nigeria juga membuat kita termenung. Di sebuah ruangan yang berbentuk amphitheater, ia memasang 12 loudspeaker mengelilingi panggung. Tak ada apa-apa di panggung, kecuali di dinding ada sign berjalan yang menampilkan gejolak angka-angka bursa saham. Pengeras suara itu memperdengarkan paduan suara Pleiades Female, yang komposisinya dibuat Ogboh setelah meriset krisis finansial. Menatap panggung kosong, kita bisa hanyut terbawa musik paduan suara itu.
Kassel sendiri adalah kota kecil yang sejuk. Musim panas pada akhir Juni lalu, matahari tidak terlalu menyengat seperti di Athena. Masih sedikit ada angin dingin berembus. Kota kecil ini memiliki landmark patung Hercules. Patung ini didirikan di Wilhelmshohe Mountain Park, yang merupakan wilayah kastil Wilhelmshohe. Patung Hercules diletakkan pada 1717 oleh keluarga Landgraf Karl Wilhelm di puncak bangunan berbentuk oktagon yang merupakan bagian atas sebuah air mancur. Dari ketinggiannya, seolah-olah Hercules dapat memandang seluruh Kota Kassel. Dijadikannya Hercules sebagai ikon Kassel menandakan warga kota ini sejak dulu akrab dengan mitologi Yunani.
Dalam Documenta di Kassel, seperti juga di Athena, karya-karya tak hanya terbatas di dalam gedung. Di sebuah ruas jalanan utama Wilhelmshoher Allee, perupa Ghana, Ibrahim Mahama, membungkus gedung Torwache dengan karung-karung boyak. Penjahitan karung ini dilakukan bersama dengan publik. Penampakan gedung itu seketika menjadi lain. Berjudul Whispering Campaign, seniman Pope L. membuat sebuah instalasi suara berupa sebuah loudspeaker yang membisikkan kalimat-kalimat tentang problem-problem rasial. Loudspeaker ini disembunyikan di taman, di museum, dan di jalanan. Pengunjung yang lewat hanya mendengar bisikannya.
Karya-karya kuat Documenta bertema sosial-politik terdapat di Museum Fridericianum. Di sini, kita dapat menyaksikan karya-karya memakai bahan gulungan kawat berduri pagar sampai sebuah ruangan luas yang dipenuhi sofa empuk yang kulit sofanya didesain loreng-loreng militer. Para pengunjung santai tidur-tiduran di atas sofa-sofa militer itu. George Hadjimichalis, perupa Yunani, menyajikan Cross Road: Where Oedipus Killed Laius. A Description of the Journey Thebes, Corinth, Delphi and Return to Thebes. Ia menyusuri lagi perjalanan Oedipus dalam naskah Sophocles dan menampilkan sebuah meja sangat panjang setinggi dada orang dewasa. Di permukaannya, dihamparkan peta hitam.
Di Fridericianum, banyak seniman merefleksikan sejarah kelam Jerman sendiri. Yang mencolok adalah karya Piotr Uklanski berjudul Real Nazi. Ia memajang 203 (chromogenic color prints) wajah para pejabat Nazi dan tokoh-tokoh publik Jerman yang ada sangkut pautnya dengan Nazi. Nama-nama mereka disebut. Banyak pengunjung Jerman tercenung, menatap satu per satu wajah kaki tangan Nazi itu di dinding. Di Neue Galerie, Maria Eichhorn di sebuah rak yang tinggi menumpuk buku-buku yang pernah disita Berliner Stadtbibliothek pada 1943 dari rumah-rumah keluarga Yahudi. Adapun di Palais Bellevue, Regina Jose Galindo, seniman kelahiran Guatemala, menampilkan video hitam-putih The Shadow di layar lebar. Seorang perempuan mengenakan rok hitam dikejar-kejar tank Leopard. Ke mana saja ia lari, tank itu mengikutinya. Ia terengah-engah.
Di Stadtmuseum, di samping maket yang memperlihatkan kehancuran Kassel pada Oktober 1943, seniman asal Irak, Hiwa K., membuat sebuah video yang meng-close-up miniatur bangunan-bangunan runtuh di maket itu, tapi dengan teks yang menyuarakan pengungsi Irak. Mereka berusaha mengingat lagi dusunnya, tapi tak bisa lantaran tak ada lagi di peta. Di sebuah lorong stasiun lama Kassel yang kosong di seberang rel yang tak terpakai, seniman kelahiran Kolkata, Nikhil Chopra, memasang tenda. Dan, di dalam tenda, ia menyetel sebuah video yang menampilkan perjalanannya ke Kassel melewati Gurun Sharjah, Rusia, Bulgaria, Bratislava. Di Neue Neue Galerie, Dan Peterman memasukkan ribuan batangan ingotnya ke puluhan karung putih. Karung-karung itu ditata memenuhi sebuah ruangan. Seolah-olah ingot ini siap diekspor ke negara-negara lain.
Di Athena dan Kassel, tampak tim kurator di bawah Adam Szymczyk banyak memilih karya perupa Afrika. Mungkin sejak 2002, tatkala Documenta 11 ditangani kurator Okwui Enwezor asal Nigeria, perhatian terhadap seni rupa kontemporer Afrika meningkat. Dan memang beberapa di antaranya menggigit.
Di Museum Benaki Athena, ditampilkan ratusan lukisan dengan berbagai ukuran karya Tshibumba Kanda Matulu (almarhum). Lukisan itu berupa diari Matulu tentang eksekusi kekerasan serta korupsi sehari-hari di Kongo. Tshibumba Kanda Matulu sendiri hilang pada 1981 pada usia 34 tahun. Diperkirakan dia dibunuh. Di Odeion, Athena, juga disajikan Letter from Biafra, karya menarik Olu Oguibe. Pada 1967-1970, di Biafra, Nigeria, terjadi perang saudara. Lebih dari sejuta orang tewas karena penyakit dan kelaparan. Karya ini menghadirkan semua buku mengenai Biafra dari sastrawan, seperti Chinua Achebe, Ben Okri, dan Frederick Forsyth, serta laporan majalah penjuru dunia yang mereportase Biafra. Masuk ke ruang pameran seperti masuk ke toko buku kekerasan.
Sedikit sekali seniman Asia Tenggara yang diikutsertakan di Documenta. Dalam catatan saya di Kassel, hanya ada dua. Khvay Samnang, seniman Kamboja yang di Naturkundemuseum Im Ottoneum menampilkan video besar seorang penari bereksplorasi di sebuah air terjun masyarakat adat Chong di lembah Aren Kamboja. Satu lagi Arin Rungjang di Neue Neue Galerie Kassel dan Museum Benaki Athena. Dia menghadirkan dokumen-dokeumen dan video berdasarkan arsip long march massal dari Thammasat University, Bangkok, pada Oktober 1973 yang memprotes junta. Anggota tim kurator Documenta 2017 memang melakukan perjalanan riset ke Asia Tenggara meski tidak mampir ke Indonesia. "Saya datang ke Vietnam, Kamboja, dan Filipina," kata Hendrik Folkert, asisten kurator.
Padahal, apabila sempat mampir, ia bisa mengusulkan buku-buku di The Parthenon of Books karya Marta Minujin ditambah buku-buku yang dilarang di zaman Orde Baru, seperti novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Parthenon karya Minujin adalah lambang bahwa pemikiran bebas tak bisa dibungkam. Betapapun demikian, tetap ada kritik tajam: menjadikan Parthenon di zaman demokrasi Euripides sebagai metafora daya tahan krisis adalah glorifikasi sebuah nostalgia.
Tapi, memang, dilihat sudut mana pun dari kejauhan, kuil tersebut tampak tetap tegar meski tinggal pilar-pilarnya saja. Apalagi jika Anda naik ke Bukit Lykavitos, yang posisinya lebih tinggi daripada Parthenon. Dari situ, Anda bisa membayangkan bagaimana sejak zaman kuno, Persia, Romawi, dan Turki mengancam Athena melalui laut. Sesungguhnya pilar-pilar Parthenon itu mengelilingi aula besar tertutup. Ruang itu di zaman Perikles digunakan untuk aula kudus penyembahan dewi Athena. Bertubi-tubi serangan di abad-abad selanjutnya meluluhlantakkan aula suci itu.
Tatkala Romawi menaklukkan Athena pada Abad Pertengahan, hall itu dijadikan gereja. Saat Turki pada abad ke-17 menduduki Athena, tempat pemujaan dewi Athena itu dijadikan masjid dan gudang mesiu--yang kemudian diledakkan pasukan Venesia pada 1687 hingga dinding hall Parthenon hancur. Toh, Parthenon tetap tegak sampai sekarang. Hal itulah mungkin yang membuat kurator Polandia, Adam Szymczyk, pada Documenta kali ini berani memilih tema mengagetkan sekaligus menjengkelkan para ekonom neoliberal: "Learn from Athens".
Seno Joko Suyono (Kassel dan Athena)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo