ATAS anjuran seorang kawan, pada 1974 saya menonton pertunjukan Good Woman of Setzuan di New York. Berbeda dengan suasana Broadway yang gemerlapan, malam itu saya dilemparkan ke dalam ruangan yang sempit. Saya dikejutkan oleh suara seorang wanita yang meminta kepada siapa saja yang sudah mendapat tiket supaya mengikutinya. Kami dipimpin keluar gedung. Kemudian menyusur kaki lima ke ujung jalan, berbelok, berjalan lagi, menyeberang jalan, baru sampai ke gedung pertunjukan. Di situ sudah menunggu rombongan yang lebih dahulu sampai. Tidak ada protes, semua manut, malah tertawa. Saya merasa itu seperti upacara. Ruang pertunjukan kecil, peralatan amat sederhana. Pemain utama wanita malam itu, berasal dari Asia sedang sutradaranya dari Prancis. Meskipun tidak luar biasa, karya Brecht itu terasa sampai pada penonton. Saya sendiri mendapat kesan yang dalam: bagaimana teater tidak lagi dibebani batas warna kulit dan tak kehilangan pamor bila disampaikan secara sederhana. Justru dalam kebersahajaan itu kreativitas benar-benar diuji. Dalam keterbatasan itu, penonton tak lagi disuapi manisan, seperti di Broadway, tetapi juga diajak bermain. Dibiasakan kreatif. Diajak mencipta. Menjadikan tontonan sebagai peristiwa. Saya cemburu. Lama setelah itu, saya baru sadar bahwa saya sudah menonton sebuah pertunjukan di kelompok alternatif off-off Broadway yang disebut La Mama kini berusia 25 tahun. Kelompok ini didirikan oleh seorang wanita hitam bernama Ellen Sterwart, yang kini menjadi salah satu kunci penting di New York. Nama yang konon dikenal hampir oleh semua orang teater di mancanegara, karena usaha-usahanya melibatkan orang-orang dari berbagai negara. Khususnya Dunia Ketiga. Juga karena cita-citanya untuk menembus kebekuan Broadway yang berorientasi pada selera pasar. Dua belas tahun setelah itu, pada akhir 1986, saya kembali ke New York. Tidak lagi sebagai penonton. Saya mengepit sebuah album berisi foto pertunjukan saya di Indonesia, Madison, dan Wesleyan. Dalam udara pagi yang dingin, saya berdiri di ujung jalan di kompleks La Mama, menunggu pukul sembllan, waktu yang dijanjikan Ellen. Saya menemukan diri saya seperti badut yang dungu, seradak-seruduk mencari tempat berpegang. Satu-satunya keinginan saya waktu itu adalah memperkenalkan dlri pada Ellen, lalu memperoleh kesempatan mementaskan di La Mama. Tetapi siapa saya? Di New York, di rimba seniman-seniman kaliber dunia itu saya bukan siapa-siapa. Ellen Sterwart seorang wanita yang amat sibuk, perkasa, keras, pemarah, "edan", tetapi terkenal baik dan tajam intuisinya. Dalam kesibukan dikerubuti banyak orang yang ingin mendapat kesempatan di La Mama, ia masih melayani saya dengan baik. . Ia kenal Indonesia lewat orang seperti Sardono, Rendra, Sal Murgijanto, Wayan Diya, Endo Suwanda, dan Tapa Sudana. Ia tak punya waktu melihat album saya. Ia membungkam saja dengan mengatakan bahwa La Mama tak punya uang untuk produksi sendiri. La Mama tidak tertarik memainkan produksi yang memakai naskah dengan dialog yang melibatkan aktor-aktor, karena itu berhubungan dengan union serikat pemain - yang memiliki persyaratan keuangan yang berat. Gagal. Saya tak berhasil berkenalan, untuk menempatkan nama saya dalam buku alamat di dalam kepala juru kunci itu. Saya mencoba menghibur diri, sudah mencoba, siapa tahu kelak berbuah. Mungkin kami bertemu lagi dipersimpangan jalan. Perlahan-lahan saya gemboskan harapan saya ke La Mama dan meneruskan ngamen dari kampus ke kampus. Membuat workshop Cornell, membaca cerita pendek di Madison, mencari kesempatan menyutradarai. Saya nekat bertahan, tak ingin pulang tanpa membawa sesuatu. Saya banyak belajar dari beberapa mahasiswa Indonesia di Cornell yang datang ke Amerika hanya dengan biaya tekad, tapi mampu menyelesaikan sekolahnya. Musim panas tahun lalu, saya terlempar lagi ke Madison, dalam keadaan gawat keuangan karenatak punya sponsor. Pada suatu malam Sal Murgiyanto menelepon dari New York menawarkan untuk ikut produksi Thunder Bay Ensemble sebagai pemain. Karena tak ada pilihan lagi, saya terima dengan kondisi apa pun. Ini mengantarkan saya bekerja sama dengan suami istri Ed Herbst dan Beth Skinner yang menjadi konseptor dan sekaligus sutradara pertunjukan Song of Refuge. Yang istimewa: pertunjukan itu dilangsungkan di La Mama. Rasanya, seperti sudah diatur. Harapan saya memasuki La Mama bangkit lagi. Pada November tahun lalu, saya dan istri saya, Dewi, berangkat ke New York. Kami sampai tepat pada malam parade Halowen yang gila-gilaan. Taksi ngedrop kami di tengah Jalan dl sekitar Washington Square, bilangan yang paling edan malam itu. Dibebani gendongan kopor dan tetek bengek, kami ketakutan di pinggir jalan melihat orang berteriak dan memakai bermacam pakaian ganjil. Buat kami yang baru meninggalkan Madison yang adem-ayem, itu betul-betul teror. New York malam itu menerkam kami. Kemudian Sal Murgiyanto datang, bagaikan Gatutkaca, menyelamatkan kami dari jepitan pawai yang memacetkan down town Manhattan itu. Esoknya saya berangkat ke desa kecil bernama Otis, di bilangan Negara Bagian Massachusetts. Di situ tinggal suami istri Ed dan Beth. Ed hampir Ph.D. dalam bidang etno musikologi, sedang istrinya Master dalam tari. Keduanya pernah dua kali di Bali belajar musik dan menari dari Pak Kakul. Mereka dekat dengan Sardono, tetapi sama sekali tak punya referensi tentang saya. Keduanya pengagum Peter Schuman, sutradara Bread And Puppet Theater yang tersohor karena boneka raksasanya itu. Di Otis saya menemukan mereka sudah siap dengan topeng-topeng binatang, layar panjang dalam formasi separuh lingkaran serta boneka-boneka dari kaleng bekas. Kami segera dituturi isi skenario beberapa halaman saja. Tanpa dialog blas. Lalu siang malam kami mengerjakan topeng dari kertas dan plastik. Pengalaman yang unik, karena belum pernah sebelumnya saya menyerahkan seluruh hari suntuk mengerjakan teater. Yang paling asing buat saya adalah mencoba lampu-lampu untuk mendapatkan bayangan yang mereka kehendaki, karena pengetahuan saya tentang tata lampu nol. Salju pertama mulai turun. Setelah mempersiapkan berbagai peralatan di Otis hampir 2 minggu, kemudian semua itu kami angkut ke New York. Masuk ke tempat latihan La Mama di jalan Great Jones nomor 47 lantai 3. Kami mendapat kesempatan mempergunakan tempat itu dari pukul sepuluh sampal pukul hma sore selama hampir enam minggu. Kesempatan yang luar biasa, mengingat sulitnya mencari tempat berlatih di New York. Setiap pukul sembilan pagi sejak itu kami berangkat dari pangkalan kami, 350 Central Parl West -- beberapa blok dari tempat kediaman John Lennon - mengangkut segala peralatan: topeng, lampu, membuat wayangan, kostum, dan segala tetek bengek. Sekali-sekali berlatih dengan bayangan dan mempraktekkan peran kami sebagai beruang. Banyak waktu habis untuk diskusi soal teknis. Pada suatu ketika saya terkejut karena Dewi menemukan sebuah gan tungan baju yang memakai label Hotel Indonesia di salah satu pojok ruang latihan. Siapa membawa ke situ ? Sejak itu saya merasa ruang latihan itu seperti rumah saya. Setiap kali datang atau pulang saya dan Dewi selalu menyapu dan mengepelnya. Ruang kotor itu makin lama makin bersih. Atau mungkin kami makin akrab dengan debu di bangunan tua itu. Suasana latihan makin lama terarah pada suasana prakarya pertukangan. Saya nyaris kehilangan kesabaran mengikuti proses yang alot itu. Mau tak mau saya menempatkan diri saya sebagai seorang tukang. Kadangkadang saya masih mencoba menyodorkan ide atau mengemukakan pendapat kalau ditanya. Tapi kemudlan terasa ada perbedaan-perbedaan nilai. Saya lalu membatasi diri sebagai pemain dan pekerja saja. tersebut sempat menimbulkan salah pengertian, sampai satu ketika saya jelaskan kepada mereka bahwa justru karena saya seorang sutradara, saya berhati-hati jangan terlalu banyak ikut dalam pengarahan-pengarahan, karena itu karya mereka. Saya teringat ketika bergabung dengan kelompok sandiwara Swarajdi Ittoen, Kyoto, pada tahun 1973. Waktu itu teater hadir di depan saya sebagai kerja kasar. Tak berbeda dengan buruh angkut karung di stanplat bis, karena tugas saya adalah bongkar pasang segala peralatan dari truk kepanggung. Seni tidak lagi terasa sebagai ekspresi atau keindahan, tetapi beban jasmani yang melelahkan. Saya merasakan itu kembali di New York. Satu-satunya yang saya pelajari dari proses Song of Refuge adalah teknik vokal dari Ed yang menciptakan suara overtore. Suara siulan yang misterius dan indah. Selebihnya beban jasmani. Melihat keadaan itu, Dewi mendesak saya terus-terusan untuk mengenalkan diri kembali pada Ellen Sterwart, dewa La Mama itu. Saya mencoba menelepon, tetapi Ellen selalu sibuk. Pada suatu sore, habis latihan, Ed membawa saya ke depan loket La Mama untuk mencegatnya. Tak, disangka begitu Ellen muncul, dia yang lebih dulu menembak. "Kalian ini mau apa? Aku tahu ada yang mau kalian katakan. Apa, sih?" tanya Ellen dengan suara serak. Terpaksa saya jawab langsung pada soalnya. Bahwa saya mempunyai produksi di Madison pada bulan Mei, kalau-kalau ada kesempatan membawanya ke La Mama. Ellen menggeleng. Dia bilang La Mama tak punya uang mendatangkan satu produksi. Saya mati kutu, tak tahu harus bilang apa lagi. Ed menyambung pembicaraan sehingga tidak patah. Lalu Ellen berkata, "Tapi Maret mungkin kamu bisa main dalam Festival Teater Dunia Ketiga. Berapa anggota rombongan kamu. Ah? Lima belas? Oke kamu bisa pakai Annex, kamu juga bisa pakai wisma kita di sini yang muat sekitar 10 orang. Hee, Nic, tolong catat Putu ini dalam schedule. Kasih dia satu minggu di Annex." Saya dan Ed ternganga tak percaya. Menembus Ellen bukan barang mudah. Mendapat Annex lagi, gedung pertunjukan utama La Mama. Ini gila. "Kalau aku bilang oke, itu artinya oke," katanya tegas. Saya tak bertanya-tanya lagi meskipun masih tak percaya bagaimana segala yang sulit itu akhirnya terlaksana dengan begitu mudah. Ketika saat pementasan ini seminggu, kami harus pindah km , rtunjukan, sementara tontonan yang dipersiapkan belum berwujud. Tampangnya belum jelas, karena baru ketemu beberapa potong adegan. Terus terang saya kecewa. Dewi, yang baru pertama kali ikut kegiatan lapangan, sudah putus asa. Dia yakin pertunjukan akan buruk dan terlalu sederhana. Pementasan kami berlangsung pada 2 s/d 24 Januari. Song of Refuge berbicara tentang lingkungan hidup. Tak bedanya dengan Hutan Plastik Sardono beberapa tahun lalu. Memberi kesaksian bagaimana beruang terdesak pembuatan jalan, menjangan mengungsi karena ulah manusia, serta burung kondor nyaris punah. Pertunjukan kami belum siap. Setiap malam selalu muncul komentar-komentar, yang kemudian menimbulkan pengarahan baru. Selama hari-hari pertunjukan, proses pencarian dan latihan terus berjalan. Walhasil, pada hari terakhirpertunjukan kami baru siap untuk main. Pada malam terakhir Ellen muncul sebagai pembuka pertunjukan dengan klenengan kecilnya yang tersohor itu. "Pemain tamu kita malam ini, seorang pemain yang baru pertama kalinya main di La Mama, namanya, saya tidak keliru membacanya Pu, pu, ah tulisannya kecil sekali...Pu...." "Putu!" kata tuan rumah saya yang juga menonton malam itu. "Putu,' sambung Ellen, tapi kemudian tak mampu melanjutkannya. Kontan Ed dari belakang berteriak, "Putu Wijaya!" Di ikuti oleh Ellen tapi salah ucap "Putu Wijaya, terima kasih, Putu!" Saya latah menjawab, "Terima kasih." Dialog tak terduga itu membuat suasana jadi santai. Hampir tiga bulan menjadi new yorker, saya merasa tergasak dan dipreteli. Di Madison, Wisconsin ketika selama tiga bulan mempersiapkan pcmentasan GEEZ (Gerr), musim semi 1986, saya dibenturkan pada perbedaan nilai, konsep, dan cara kerja. Betapa berbedanya "agem" rohani serta "agem" wadag saya dengan para mahasiswa Amerika itu. Di New York, hal tersebut menjadi persoalan saya sekali lagi. Bagaimana memanfaatkan perbedaan itu bukan sebagai kekurangan, tetapi kekuatan, memerlukan kesaktian. Awal Februari saya tinggalkan New York, untuk mempersiapkan produksi di Madison. La Mama akan saya masuki lagi pada 28 Maret s/d 3 April dengan lakon AUM yang diterjemahkan Michael Bodden menjadi Roar, tetapi akan saya sutradarai sendiri. Mudah-mudahan pementasan itu akan menjadi mantap. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini