HAJI Fauzan Pusposukadgo adalah seorang empu. Orang Solo ini akhir Desember lalu memperoleh penghargaan Upakarti dari pemerintah dalam perkara perkerisan. Kemudian, 27 Januari lalu, Dirjen Industri Kecil Ir. Trisura Suhardi mengajak dia melayani pesanan 100 keris untuk diekspor ke Amerika Serikat. Hasil pembicaraan berikutnya, seperti dituturkan kembali oleh Haji Fauzan: ada kesepakatan. "Saya akan menyelesaikan order tersebut secara perlahan, dan bukan membuatnya sembarangan. Tetapi keris yang diekspor itu nanti tetap berpamor baik. Jangan sampai merusakkan citra hasil budaya bangsa yang sudah agung itu," katanya. Pak Haji ini penting. Karena dialah yang dipercayai Sunan Pakubuwono XII untuk membuat keris khusus. Misalnya seperti yang diberikan kepada panitia pembangunan kembali Keraton Solo--antara lain untuk Menteri Kehutanan Soedjarwo, Jenderal Benny Moerdani, dan Sudwikatmono. Tetapi apa urusan keris dengan orang Amerika, padahal mereka sudah membuat senjata angkasa luar? Rupanya, para bule di sana sekarang ini sudah pula gandrung pada keris Senjata tradisional itu seperti membuktikan tcmbus waktu. Dan terakhir, setelah digemari orang di mancanegara, jadi tak terbatas ruang. Seorang raja boleh kehilangan pamor atau sebut saja mangkat. Sedangkan sebilah keris, sekarang, malah memancarkan wibawanya: menembus tahun dan abad. Maka, jangan heran jika kini orang yang sudah mampu memiliki Mercedes "Baby" Benz, sebagai lambang kejayaan, sebagian tetap tak ragu mengeluarkan puluhan bahkan ada yang melampaui seratus - juta padahal sekadar untuk sebilah keris. "Apalagi keris pusaka. Lantaran nilai historisnya, harganya bisa lebih dari Rp 100 juta," kata Haryono H. Guritno, ahli keris yang sudah kondang itu. "Contohnya, keris Nagasasra, sebagai pusaka terbaik, bahkan bisa dihargai Rp 500 juta." Cuma, keris agaknya memang belum ditakdirkan sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan. Padahal, dilihat fisiknya saja, menurut Haryono, kerisJawa memiliki 60 motif, 120 bentuk, dan kira-kira 60 model pamor. Motif tersebut umpamanya ada yang long kantet, long sriwidodo, long kraton modang, parijoto. "Dibanding batik, motif keris lebih kaya," ujar Haryono. Belum lagi jika ditambah dengan pola ukiran keris Madura atau yang dari Bali. Sudah sejak awalnya jenis senjata tikam yang dijadikan lambang status ini dibuat bukan atas dasar transaksi bisnis. Tetapi, tambah Haryono, lebih' utama karena penghargaan, rasa hormat, atau transaksi simbolis. Seorang empu akan melahirkan keris sakti bagi rajanya bukan lantaran dibayar, namun sebagai penghargaan. Apalagi ketika harus melalui proses pengisian kesaktian. "Pembuat dan pemesannya sama-sama menjalani syarat tertentu. Misalnya puasa," katanya. Rasanya, mustahil meminta orang Amerika yang memesan itu ikut nglakoni, demi senjata kebanggaan orang Jawa itu. Sedangkan kelemahannya scbagai komoditi juga karena proses lembuatannya yang njlimet dan perlu waktu lama. Begitulah keris yang bukan kodian, yang dibikin oleh si pandai besi biasa, lalu dijual belasan ribu rupiah per bilah, dan bisa dibikin sehari satu. Lain dengan keris atau curiga (baca: curigo) buatan empu atau bengkel kerja khusus, seperti milik Haryono di Anjungan Mataram TMII. Yang dari sini biasanya sebulan hanya sanggup dihasilkan sebilah, dan harganya Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta Atau kalau komplet, dengan warangka beremas, harganya Rp 10 juta per buah. Sekelas itu pula kualitas keris buatan Haji Fauzan dan Jeno Harumbrojo, 59 tahun. Yang disebut terakhir ini empu dari Desa Sumber Agung, Sleman, Yogya. Ia keturunan Empu Jokosupo, yang konon dimasa Majapahit dulu dikenal andal. Dalam setahun Jeno maksimal menghasilkan empat keris pesanan - per bilah Rp 1 sampai Rp 2 juta. Proses lama itu karena perlu persiapan panjang. Ingat saja rentetan upacara fisik dan spiritual seperti berikut ini. Pertama, mulai sepisanan. Lalu membakar bahan dasar, yang awalnya harus diiringi bakar kemenyan. Kemudian dilengkapi dengan nasi tumpeng, plus golong alias nasi kepal sebesar bola tems, panggang ayam jantan, tumpeng robyong. Selain yang sudah disebut itu, ditambah lagi dengan sejumlah jajan pasar hingga jumbuhaken raos atau tes "rasa" dan penyepuhan. Perlu penyepuhan? "Ya. Karena itulah proses untuk mengembalikan kekuatan bahannya, yang sudah berkurang lantaran telah mengalami pembakaran 1.100" C pada saat sepisanan," kata Jeno. Jeno, yang mulai melatih kemampuannya sejak usia belasan, ketika ayahnya masih hidup. juga dipercaya Sultan Hamengkubuwono IX - pada 1984 dan 1985 - membuat dua buah keris. Sementara itu, saat ini ia sedang menyiapkan mata tombak. Itu pesanan dari keraton yang sama. Jika dalam setahun tak ada pesanan, maka keris suvenir, yang pembuatannya tak perlu pakai upacara komplet, ia buat pula. Yang jenis ini bisa dibikin maksimal delapan bilah per tahun. Kebanyakan oleh pembelinya dikirim untuk cinderamata, ke AS, Jerman, dan Australia. Beda dengan Haji Fauzan "Membuat keris di zaman sekarang tak ada lagi unsur mistisnya, katanya. "Paling tidak untuk saya. Jika dulu bertapa, gantinya sekarang adalah kerja nggethu atau serius, konsentrasi." Ini butul ketenangan emosi, kekhusyukan. "Sulit untuk diperintah begitu saja," ujarnya. Apalagi dalam proses penempaannya perlu tahapan yang hati-hati, sehingga dari bahan dasar 13 kg besi baja plus 125 gram nikel, untuk tangguh atau gaya Majapahit misalnya, sebilah keris akan jadi dengan berat sekitar 3,5 ons saja - tanpa kehilangan ketegarannya sebagai logam. Bobot keris memang tak selesai pada kekuatan isinya dan kecocokannya dengan si pemilik. Juga tidak pada kelokannya. Atau pamornya. Yang ikut menambah "wibawa" itu juga hiasan di pangkalnya, ukiran di gagangnya, dan selongsongnya. "Seluruh unsurnya bersifat saling mendukung, hingga membentuk keindahannya. Bukan dari satu bagian saja yang menonjol," kata Haryono. Mohamad Cholid, Priyono B. Sumbogo (Jakarta), Kastoyo Ramelan, Rustam F. Mandayun (Yogya) & Saiff Bakham (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini