Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumpukan kayu itu dibuat melingkar dengan diameter sekitar 2 meter. Di tengahnya ada sosok manusia kecil berduri. Berjudul Menganyam Sendi-sendi Diri, instalasi ranting pohon karya Andrita Yuniza Orbandi itu begitu menarik perhatian. Di dinding, sebuah layar televisi menayangkan prosesi pengumpulan sekaligus penumpukan kayu-kayu tersebut. Bukan di ruang pamer, melainkan di sebuah tempat yang memperlihatkan suasana kebun atau hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti karya-karya lain dalam pameran bertajuk "Indonesian Women Artist: Into the Future" di Gedung A Galeri Nasional Indonesia itu, Andrita pun menyertakan narasi kreatifnya yang ditempel di dinding. "Hidup seperti mengulang 24 jam yang persis sama sampai kesempatan habis. Satu-satunya perbedaan hanyalah apa yang kita lakukan dalam 24 jam tersebut," demikian salah satu potongan kalimat yang ditulis dalam narasi itu. Dalam kalimat lain, Andrita menulis: "Hidup hari ini seperti di belantara."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada 21 perupa perempuan yang menyajikan karya dalam pameran yang berlangsung pada 26 Februari-16 Maret 2019 itu. Mereka adalah Andrita Yuniza Orbandi, Ayu Arista Murti, Cecilia Patricia Untario, Dita Gambiro, Elia Nurvista, Erika Ernawan, Etza Meisyara, Fika Ria Santika, Irene Agrivina, Kinez Riza, Maharani Mancanagara, Maradita Sutantio, Natasha Tontey, Octora, Prilla Tania, Restu Ratnaningtyas, Sanchia Tryphosa Hamidjaja, Syagini Ratna Wulan, Tara Astari Kasenda, Theresia Agustina Sitompul, dan Yaya Sung. Dalam pameran itu juga diluncurkan buku Indonesian Women Artists: Into the Future.
Karya-karya para perupa itu dikurasi oleh Carla Bianpoen, jurnalis sekaligus kurator, dan Citra Smara Dewi, kurator di Galeri Nasional. Mereka memilih 21 perempuan perupa muda yang menurut mereka mewarnai dunia seni rupa Indonesia dalam 15 tahun terakhir.
Menurut Carla, karya-karya yang ditampilkan menuangkan roh perempuan yang menekankan sense dan sensitivitas khas perempuan. Mereka menghadirkan karya dalam beragam medium, bahkan menyinergikan karya dengan video art, sound art, LED light, photo media, coding, hingga penggunaan bakteri. "Ada torehan identitas, frustrasi, kegetiran, harapan, cara pandang, cara pikir, kedukaan, kritik, keprihatinan yang intens mengenai keadaan sosial dan lingkungannya," ujar dia.
Dari ranting kayu, misalnya, Andrita Yuniza Orbandi menginginkan kebebasan seperti burung yang tinggal dalam perdamaian dan kebahagiaan. Sarang dari ranting dipakai sebagai pelindung kebebasan dan batin.
Instalasi lain yang menarik perhatian adalah karya Cecilia Patricia Untario berjudul Silent 2. Ia menjajarkan pipa kaca replika kondom dengan segala modifikasinya. Lewat tabung-tabung kaca yang halus dan indah itu, Cecilia ingin menunjukkan pentingnya pendidikan seksual. "Di Indonesia masih saja tabu dalam membicarakan seks, terutama pentingnya pendidikan seks pada anak," demikian Cecilia menulis dalam narasi yang ditempel di dinding.
Instalasi yang memadukan seni, teknologi, dan sains dihadirkan Irene Agrivina. Dari perangkat lunak open source dan perangkat keras untuk membuat pakaian, ia mengembangkan material yang melindungi tubuh perempuan dari polutan dan bahaya yang biasanya muncul dari industri fashion modern. Air tajin (sari pati) dibuat menjadi selulosa, kemudian ditambahkan sejumlah bakteri dan bunga bakteri dari alat kelamin perempuan.
Perupa lain, Prilla Tania dan Elia Nurvista, mencoba mengeksplorasi karya yang berhubungan dengan urusan pangan. Prilla menggunakan konsep partisipatoris dalam karya Demokratisasi Karbohidrat dengan karung-karung goni. Sedangkan Elia dengan karya video art berjudul Fruchtlinge, yang menggambarkan buah tropis di mesin penyortir, menyentil isu pengungsi dan pekerja migran. Ia bertolak dari pengalaman personalnya di sebuah permukiman di Berlin yang mencerminkan ambiguitas. Para pendatang di satu sisi dibenci, tapi di sisi lain hasil bumi, seperti buah-buahan, yang mereka petik atau hasilkan dianggap keren.
Pengunjung juga bisa melihat lembaran-lembaran kain perban dengan lukisan sosok perempuan yang melakukan gerakan seperti menanam dan menabur karya Theresia Agustina Sitompul berjudul Menabur Benih. Dia melukiskan rasa luka dan bagaimana perempuan mengobati luka itu. Karya tersebut dia buat dari cetakan kayu dengan teknik cukil. "Kain perban biasanya untuk menutup luka, ini yang saya pakai sebagai simbol," ujar dia.
Suasana kontemplatif bisa kita lihat dalam karya Etza Meisyara yang menyuguhkan tebaran pasir dikelilingi sajadah putih. Di dinding, pengunjung akan melihat beberapa pelat besi yang dipenuhi korosi dengan motif seperti pusaran air. Dalam karya lain terlihat korosi pada pelat baja yang meleler. Sebuah video memperlihatkan sang seniman sedang mencelup pelat besi. Karya itu mungkin akan mengingatkan kita pada karya-karya Tisna Sanjaya.
Mungkin Etza secara tak sadar mencerap apa yang sehari-hari dilihat dari Tisna, sang ayah. Karya itu menunjukkan empati dan simpati Etza ketika mendengar kabar tsunami dan likuefaksi menghantam dan meluluhlantakkan Palu. Kala itu, ia tengah menjalani residensi di Prancis. "Kerusakan saya munculkan dari efek oksidasi korosi pada logam dari amoniak, logam, garam," kata dia kepada Tempo di sela-sela pameran.
Hampir sama dengan Etza, seniman muda Octora menyapa pengunjung dengan karya yang merujuk pada peristiwa kelam tragedi kemanusiaan 1965. Dalam karya Kuburan Kata, di sebidang dinding, dia menempelkan deretan ubin keramik bertulisan kata kunci yang merujuk pada peristiwa 1965. Di seberangnya ia menempel dua logam oval yang juga berkarat dalam karya berjudul Puisi untuk Masa Depan. Sekilas dari jauh mirip kaca yang buram. Seolah-olah menunjukkan betapa buruknya gambaran masa lalu peristiwa ini, tanpa penyelesaian dan keadilan. Sementara itu, karya logam merefleksikan harapan.
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo