Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Keindahan antara Cinta dan Berahi

Beberapa puisi Jawa terkemuka diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Syair-syair Jawa kuno ini membicarakan tentang keseimbangan hubungan lelaki dan perempuan.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BLOSSOMS OF LONGING

Ancient Verses of Love and Lament
Penerjemah : Thomas M. Hunter
Penerbit : Yayasan Lontar, 1998

CINTA, berahi, dan keindahan itu adalah satu. Ketika belum manunggal dalam keindahan, cinta dan berahi pun berjalan dalam keterpisahan. Kalau demikian, cinta menjadi terlalu ilahi dan halus, sementara berahi menjadi terlalu insani dan kasar. Hanya dalam keindahan, cinta yang ilahi dapat dirasakan dengan nikmat insani, dan berahi yang insani terasa sebagai kehalusan ilahi.

Itulah kesan yang terbersit dalam Blossoms of Longing, Ancient Verses of Love and Lament, yang diterbitkan Yayasan Lontar, Jakarta (1998). Buku ini berisi terjemahan petikan kidung-kidung cinta dari khazanah sastra Jawa kuno, yakni kakawin Krishnayana, Arjunawiwaha, Ghatotkacasraya, Parthayajna, Sumanasantaka, dan Bhasa Tanakung. Kakawin adalah syair-syair Jawa kuno yang mendasarkan diri pada sastra India (Sanskerta). Tapi dalam kakawin itu terasa sekali rasa sastra Jawa, seperti keseimbangan antara alam dan manusia, mikro dan makrokosmos, lelaki dan wanita, berahi dan cinta.

Cinta adalah saat ketika unsur-unsur yang saling bertentangan dalam alam dan hidup manusia berada dalam titik keseimbangan. Petikan-petikan dalam buku Blossoms of Longing ini mengutarakan, alangkah bahagia jika manusia boleh menikmati keseimbangan itu. Sebaliknya, alangkah menderita jika manusia terputus dari keseimbangan itu.

Keseimbangan adalah suatu nikmat estetis. Dengan bercinta, manusia mengalami nikmat estetis itu. Karena itu, kata kakawin Krishnayana, tak ada saat yang lebih nikmat selain ketika manusia boleh bermesraan dengan kekasihnya. Seorang wanita tak kan bosan dengan perbuatan cinta yang dilakukan kekasihnya dari malam ke malam. Kainnya terlepas, harum dengan minyak wangi. Keharuman itu adalah sisa yang tertinggal setelah mereka selesai bercinta. Bekas cinta lainnya adalah rasa sakit di buah dada sang wanita, tempat tertinggal bekas goresan kuku kekasihnya.

Waktu pun takluk ketika cinta menunjukkan kuasanya. Waktu tak lagi membatasi manusia. Ia hanya menjadi penunjuk bagi apa saja yang diperoleh cinta. Pagi menjadi penuh berahi, sinar lembut matahari membuka mata manusia akan kain yang terlepas karena perbuatan cinta di malam hari.

Ketika hari mulai petang, badan mereka yang bercinta menjadi hangat; bercucuranlah tetes-tetes keringat. Tiada yang lebih nikmat bagi sang wanita selain menyeka keringat di leher kekasihnya. Hari beranjak menuju malam, dan ketika bulan datang bersinar, mereka pun mencapai puncak perbuatan cinta.

Kuasa cinta atas waktu menunjukkan bahwa cinta itu abadi dan berada di luar waktu. Karena itu, dalam kakawin Arjunawiwaha, sang pujangga berkisah, cinta seorang kekasih itu tak kan pernah mati. Ia bisa senantiasa menjelma. Suatu saat cinta itu akan menjadi gemerlap kilat yang memberi cahaya lamat-lamat saat bulan purnama. Demikianlah, kekasih yang ditinggalkannya menjadi ingat akan saat dulu mereka bercinta.

Lelaki yang akan pergi berpesan kepada kekasihnya, "Jika kelak kau merindukan aku, lihatlah ranting bunga asana. Di sanalah aku berada. Atau lihat burung-burung yang datang dan pergi. Di sanalah kau menemukan kerinduanku akan kamu."

Bagi pujangga sastra Jawa kuno, cinta dibayangkan sebagai suatu kenikmatan estetis. Namun, bayangan mereka tentang keindahan cinta tidaklah platonis. Plato membayangkan keindahan cinta sebagai sesuatu yang bertangga-tangga. Makin tinggi tangga itu, makin indahlah cinta. Mula-mula cinta adalah nafsu, kemudian persetubuhan ragawi, lalu cinta adalah pengetahuan tentang yang indah, kemudian cinta membebaskan diri dari itu semuanya, menjadi ide keindahan. Bukan begitu bayangan pujangga sastra Jawa kuno. Bayangan mereka lebih mirip dengan bayangan Goethe. Seperti Goethe, mereka menerima bahwa cinta itu terkandung dalam keindahan yang terluhur. Tapi, agar cinta dapat dirasakan, keindahan itu harus ditarik turun, dalam pengetahuan, dalam nikmat tubuh, dan dalam hasrat nafsu. Itulah sebabnya dalam sastra Jawa kuno, cinta menjadi indah justru karena ia bisa merasakan nikmatnya rasa berahi. Keindahan cinta karena berahi manusiawi itulah yang dapat kita nikmati ketika kita membaca buku Blossoms of Longing ini.

Sindhunata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus