Seperti bom, audit Standard Chartered terhadap Bank Bali mengejutkan banyak kalangan. Tak ada yang menduga, bank yang dikenal hati-hati itu tenggelam dalam kubangan kerugian yang begitu besar. Kalaupun kabar raibnya Rp 550 miliar itu tak benar, banyak analis menilai, kondisi Bank Bali jauh lebih buruk dari yang diduga.
Tapi, apa betul kondisi Bank Bali separah itu? Ekonom Lippo Securities, Martin Panggabean, menyangsikannya. Menurut Martin, dengan situasi perekonomian yang mulai membaik, suku bunga turun, kurs rupiah menguat, dan arus modal asing mulai mengalir masuk, ''Tak ada alasan bagi Bali untuk terkoyak begitu hebat."
Ia menunjuk kejanggalan ongkos rekapitalisasi yang ditanggung Bank Bali. Menurut hitungan Bank Indonesia, untuk mendongkrak CAR dari minus 8,2 menjadi 4 persen—naik 12 satuan—dibutuhkan dana Rp 2,8 triliun. Sedangkan Standchart menilai perlu Rp 4,3 triliun untuk memompa CAR sampai 36 satuan—minus 32 menjadi 4 persen. Dengan selisih CAR yang begitu jauh, kata Martin, angka rekap versi Standchart mestinya tiga kali lipat dibandingkan dengan angka BI.
Gambaran ini, bagi Martin, mencerminkan kemungkinan Standchart sengaja menjatuhkan citra Bank Bali. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk membanting harga Bali. ''Bisa saja mereka memakai kriteria uji tuntas yang amat ketat," katanya. Seorang analis perbankan di sekuritas asing juga memastikan, Rudy Ramli tak mungkin bermain-main dengan menjual aset-aset yang bersih. ''Ia hanya melepas aset yang jelek, seperti membersihkan baju kotor," katanya.
Ada yang menduga, Standchart merasa terancam dengan manuver pemilik Bank Bali menjual 14 persen saham kepada Deutsche Bursa AG dengan harga pasar. Standchart, kabarnya, khawatir transaksi dengan lembaga kliring Jerman ini bisa menaikkan patokan harga saham Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini