Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Goyang Jempol bagi Beringin

Bank Bali diambil oper pemerintah. Pejabat dan pengusaha Golkar dikabarkan menerima Rp 550 miliar dari ''Si Jempol".

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOGO jempol di Bank Bali mestinya tak direncanakan untuk merobohkan Beringin. Tapi, siapa nyana, gara-gara keselip uang ''jempol" Rp 550 miliar, Partai Golkar berlambang beringin itu kini gonjang-ganjing tak ketulungan. Saking kerasnya guncangan itu, seorang petinggi Golkar begitu ketar-ketir dengan nasib partainya. ''Gawat," katanya, ''bisa hancur semua." Maklumlah, aktor yang diduga terlibat bukan cuma dari kalangan kelas teri, tapi mereka yang berada di ''langit ketujuh". Kehebohan ini bermula ketika Bank Bali tiba-tiba diambil oper pemerintah, Jumat dua pekan lalu. Alasannya, pemilik Bank Bali gagal menyetor 20 persen tambahan modal, seperti yang disyaratkan. Lo, bukankah Standard Chartered Bank sudah berjanji menggantikan posisi keluarga Ramli sebagai penyuntik modal sekaligus majikan baru di Bank Bali? Memang betul. Tapi Standard Chartered (Standchart) rupanya batal memenuhi janjinya karena kecewa atas kondisi Bank Bali. Dari hasil uji tuntas alias due diligence yang mereka lakukan, Standchart menemukan ada sejumlah aset lancar Bank Bali yang hilang tak tahu rimbanya. Akibatnya, tingkat kecukupan modal (yang dihitung sebagai rasio kapital terhadap aset yang berisiko, atau biasa disebut CAR) Bank Bali anjlok berat, dari semula minus 8,2 persen, kini minus 32 persen. Konsekuensinya, Bank Bali harus menambah modal dua kali lebih banyak dari kebutuhan semula. Menurut uji tuntas itu, Bank Bali mesti disuntik Rp 4,3 triliun, bukan Rp 2,8 triliun seperti sudah dihitung sebelumnya. Dengan kalkulasi baru ini, untuk mengambil 20 persen saham, Standchart harus menyetor US$ 122 juta, bukan US$ 56 juta seperti direncanakan. Kecewa dengan kondisi Bank Bali, Standchart ogah menyuntikkan dana yang dijanjikan. Maka, jadilah Bank Bali diambil oper pemerintah. Mundurnya Standchart memang tak mengherankan. Yang jadi pertanyaan justru adalah mengapa aset Bank Bali menguap begitu cepat. Dugaan muncul simpang-siur. Ada yang bilang, keluarga Ramli telah menjual aset-aset bagus itu sebelum pemerintah masuk menyetor modal. Benarkah? Sayang, Rudy Ramli, pewaris tahta bisnis keluarga Ramli, tak mau berkomentar. ''Saya tak diizinkan ngomong," katanya. Sementara itu, muncul versi lain yang jauh lebih seru. Menurut sumber TEMPO di Badan Intelijen Strategis, raibnya aset Bank Bali berkaitan dengan tagihan bank itu di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Menurut penyelidikan sumber ini, Bank Bali memiliki piutang kepada sejumlah bank yang dibekukan pemerintah, antara lain BDNI, BUN, dan Bank Bira. Nilai piutang itu luar biasa besar, sampai Rp 1,1 triliun. Repotnya, entah mengapa, tagihan interbank ini macet tak tertagih. Adalah Djoko S. Candra, pemilik Grup Mulia, yang melihat persoalan bank Bali itu sebagai sebuah peluang. Kepada para pejabat Bank Bali, Djoko menawarkan diri untuk jadi ''jembatan". Dengan sejumlah syarat dan kompensasi, Bali setuju. Deal! Untuk memulai tugasnya, Djoko lalu melobi sejumlah pemain kunci yang dekat dengan Presiden Habibie. Pengusaha Manimaren Sinivasan dan Setya Novanto, keduanya wakil bendahara DPP Golkar, termasuk yang disebut-sebut membantu kiprah Djoko. Dengan aura RI-1 inilah, kata sumber Bais tadi, Djoko dan Setya menemui Pande Lubis, Wakil Ketua BPPN yang mengurusi kewajiban bank-bank yang sudah dibredel. Untungnya, Pande juga bukan kenalan baru mereka. Eksekutif yang dulu bekerja untuk kelompok usaha Bakrie ini dikenal dekat dengan Menteri Tanri Abeng, salah satu anggota ''tim sukses" Habibie. Singkat kata, barisan ini berhasil mencairkan tagihan Bank Bali di BPPN, pada 2 Juni lalu. Tak semuanya memang, ''cuma" Rp 900 miliar. Hanya sehari setelah itu, pada 3 Juni, Bank Bali mengirimkan empat cek sebagai upeti. Rinciannya, satu cek Rp 120 miliar untuk Setya Novanto dan tiga cek lagi untuk Djoko S. Candra. Total jenderal, keempat cek itu bernilai Rp 550 miliar. Yang lebih mengagetkan, dari cek-cek itu, Rp 400 miliar di antaranya disetor ke rekening Presiden Habibie, Rp 100 miliar diserahkan ke kas Golkar, dan sisanya dibagi untuk tiga perantara yang telah ''babat alas" tadi. Cerita seru ini memang belum mendapatkan konfirmasi. Pengecekan TEMPO ke sejumlah sumber dari jalur yang berbeda memang menunjukkan kesamaan cerita. Tapi, Jimly Asshidiqie, salah satu penasihat Presiden Habibie, menolak memberi komentar. Ia mengaku tak tahu-menahu kasus ini. Para penghubung juga tak bisa ditemui. Hanya Manimaren Sinivasan yang bisa dimintai konfirmasi. Pengusaha garmen ini membantah keras keterlibatan dirinya dan menilai kabar ini fitnah semata. ''Pembukuan Golkar jelas dan transparan. Lagi pula, kami sudah diaudit Komisi Pemilihan Umum," katanya. Namun, Marzuki Darusman, salah satu petinggi Golkar, mengakui, tak tertutup kemungkinan terjadi pengumpulan dana di luar garis resmi partai. Selain itu, ia juga mengaku telah mendengar kasus ini sejak sepekan lalu. Penyelidikan internal pun sudah digelar. Hanya saja, langkah para petinggi Beringin itu kalah cepat dengan media massa. ''Sekarang, masalahnya jadi makin rumit," katanya. Ia berjanji, Golkar akan secepatnya menyelidiki keterlibatan awaknya. Sebenarnya, menurut sejumlah sumber TEMPO, Bank Bali ini bukan korban yang pertama. Sebelum ini Bank Internasional Indonesia (BII) juga ikut terserempet soal yang mirip-mirip. Aktor dan modusnya praktis sama. Yang berbeda cuma angka dan penggunaannya: BII kabarnya cuma kebobolan Rp 400 miliar. Dana ini dipakai sejumlah pengusaha untuk menutup sebagian utang Hotel Mulia yang macet di Bank Rakyat Indonesia. Di mata ahli hukum perbankan, Pradjoto, skandal Bank Bali ini membuktikan begitu banyak celah di BPPN. Lembaga yang menangani aset super-raksasa ini ternyata bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok orang. ''Ini sangat menggelisahkan," katanya. Ia menekankan perlunya kolusi-kolusi semacam ini dibongkar tuntas. Pradjoto memahami, BPPN punya sederet pertimbangan untuk membayar piutang satu bank dan tak membayar tagihan yang lain. Tetapi, ia bilang kepentingan seperti itu tak layak bila digunakan untuk menekan bank. Jika akhirnya bank yang guncang, rakyat lagi yang harus memikul berkali-kali lipat ongkos perbaikan. Mardiyah Chamim, Iwan Setiawan, IG.G. Maha Adi, Wens Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus