Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Aceh

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka membunuh lagi di Beutong Ateuh. Siapa yang menangis untuk Aceh adalah menangis untuk sesuatu yang lebih luhur. Tetapi di desa-desa itu orang tak cuma menangis. Mereka mencatat. Bukan cuma angka, tapi dengan saksama nama-nama. Daftar yang panjang sekali. Ada yang tahu siapa yang dibunuh dan siapa yang membunuh, ketika tentara datang menumpahkan darah dan menyebarkan teror. Tentara. Orang-orang bersenjata, berseragam. Aparat. Trauma itu akan membekas dengan kuat. Tapi trauma itu tidak sekadar sesuatu yang gelap dan payau. Di tengah-tengah rasa marah dan tak berdaya menghadapi kejahatan dan kekerasan itu, catatan itu ingin menyelamatkan ingatan dari waktu; waktu tidak bisa lagi menghapus atau mengacau-balau. Catatan itu juga sebuah perlawanan, seakan-akan menegaskan, ''Kami menolak kekejaman ini ditutupi." Catatan itu juga sebuah harapan tentang suatu hari ketika si lemah bisa menuntut yang kuat. Siapa yang menangis untuk Aceh adalah menangis untuk sesuatu yang lebih luhur. Catatan pembunuhan di dusun-dusun itu adalah jari yang menunjuk, yang tak mengacu ke siapa saja dan apa saja. Kesaksian itu berbicara secara spesifik. Kejahatan itu bukan tanpa wajah. Ia mempunyai sosok: korban tidak bisa dipertukarkan, juga si jahat tak bisa diganti. Tetapi mereka tentara, mereka aparat, mereka berseragam. Kejahatan siapakah ini? Kejahatan sebuah organisasi—yang bernama alat negara—atau bahkan negara itu sendiri? Kadang-kadang dendam bisa sesat. Terutama ketika yang jahat bukan sekadar nama-nama, tetapi nama-nama yang mengatasnamakan ''negara", dan dibiarkan terus-menerus oleh ''negara" itu. Dendam bisa sesat karena ada definisi yang kabur mengenai siapa yang harus dibalas dan siapa yang tidak, dan kita menghukum mereka yang tak bersalah. Catatan di dusun-dusun Aceh itu ingin berbicara tentang siapa yang secara persis bersalah, dan kepersisan itu adalah sebuah sikap yang adil. Tetapi bisakah kita persis ketika kita berhadapan dengan sejumlah orang yang akan bisa mengatakan bahwa pembunuhan itu adalah sebuah ''tugas" dan harus dijalani? Ada sebuah percakapan yang pernah direkam dari Cile ketika rezim militer menangkap, menyiksa, dan membantai orang-orang kiri. Ini adalah percakapan di sebuah sel, antara Giorgio, seorang tahanan yang disiksa, dan Solimano, seorang penyiksa. ''Jika kau temukan aku di luar, Giorgio, apa yang akan kau lakukan padaku?" ''Tidak kulakukan apa-apa. Aku seorang dokter, aku menolong orang." ''Kau lihat, kan? Aku melakukan ini karena profesi. Seperti kau juga." Tentara. Orang-orang berseragam. Aparat. Mereka, seperti Solimano, akan berbicara seakan-akan mereka bukan nama-nama, bukan wajah, yang tidak bisa digantikan—dan sebab itu sebenarnya punya otonomi. Otonomi itu berarti kebebasan untuk menentukan nilai. Mereka sudah memilih tatkala mereka membantai dengan sebuah dalih. Mereka anggap dalih itu sah. Di sini ada soal nilai dan penilaian. Tetapi orang seperti Solimano berbicara seakan-akan ''profesi", atau ''tugas", adalah sesuatu yang menyebabkan nilai tidak ada. Nama mereka tidak penting. Wajah, otonomi, dan tanggung jawab mereka tidak relevan dalam kekejaman. Tidak adil, kata mereka, jika Solimano sang penyiksa dan serdadu-serdadu itu disalahkan. Tapi ada perbedaan antara kesewenang-wenangan dan keadilan. Keadilan bukan sekadar menuntut balas, bukan sekadar ''sebiji mata dibalas dengan sebiji mata, sepotong gigi dibalas dengan sepotong gigi"—sebuah aritmatika yang mengerikan. Keadilan menjadi kesewenang-wenangan ketika orang membunuh dan ia menemukan damai. Sebab itu seorang yang melawan kezaliman dengan keras, seorang pemberontak, tidak pernah berhenti bertanya apakah dia adil. Sang pemberontak, seperti dikatakan Albert Camus, ''tak pernah menemukan damai." Ia tahu apa yang baik, namun di luar niat dan tujuannya, ia berbuat jahat. Problem ini menyebabkan ia menyadari bahwa nilai yang mendukungnya tak pernah datang (katakanlah ''diberikan") kepadanya sekaligus. Sang pemberontak "harus berjuang untuk menegakkannya, tanpa henti". Tanpa henti adalah kata kunci di sini. Sang pemberontak, yang terdorong oleh keadilan, tak berpretensi bahwa ia wakil Tuhan; pretensi itu adalah pretensi sang penindas. Ketika kekerasan tak lagi terusik oleh pertanyaan awal itu (''Sejauh mana tindakanku adil, sebetulnya?"), sang pelaku akan menjadi sejenis mesin represi Represi yang menindas dengan sasaran yang persis memang sesuatu yang brutal, tetapi ada yang lebih iblis: aparat yang membunuh secara acak, mungkin untuk membalas dendam, mungkin untuk mendapatkan uang operasi dan mendapatkan kenaikan pangkat. Seperti ketika daerah operasi militer diberlakukan tanpa alasan yang cukup, dan akhirnya seperti yang mereka lakukan di Beutong Ateuh itu: satu pasukan TNI memasuki wilayah itu, menembak Teungku Bantaqiyah dan sekitar 100 orang lain, mungkin murid-murid di pesantrennya. Setelah pembantaian selesai, pasukan itu menguburkan jasad para korban di sebuah jurang yang dalam. Seakan-akan semua selesai di sini. Seakan-akan perkara sudah bisa ditutup dengan efisien dan efektif. Yang mati (sebagaimana yang membunuh) seakan-akan telah berhenti menjadi wajah-wajah yang tak tergantikan. Tetapi di Aceh orang punya catatan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus